Dirga tersenyum, "dia sangat manis, seperti ibunya. Dan dia keras kepala seperti aku 'kan, Ma?" ucap Dirga kemudian. "Lekaslah sembuh, Ma. Dan aku ingin tahu alasan Mama melakukan ini, memisahkan aku dengan...." Ucapan Dirga terhenti saat terdengar derap langkah kaki mendekat. Cahaya masuk dan berdiri di samping Dirga, lalu meletakkan gelas yang baru di atas nakas. "Beristirahatlah, aku akan tetap di sini." titah Dirga.Cahaya mengangguk, wanita itu lalu menuju sofa dan duduk di sana. Kamar itu menjadi sepi "Tadi, kamu bawa Mama kemana? Dan kalian pulang jam berapa?" tanya Dirga bermaksud membuka obrolan. Tapi, menurut Cahaya itu seperti tengah mengintrogasi dirinya.***Pagi harinya, seperti biasanya. Selesai memasak dan membersihkan rumah, Cahaya mengajak mantan ibu mertuanya keluar untuk berjemur. Cahaya lagi-lagi memeriksa ponselnya. "Apa dia baik-baik saja?" gumam Cahaya. Wanita itu seketika mengangkat wajah ketika mendengar suara mobil berhenti di depan gerbang, kemudian ter
"Jangan mimpi," ejek Dirga, "sampai kapanpun, Cahaya hanya akan menjadi milikku," lanjut Dirga di dalam hati. Gilang pun pergi dari rumah Dirga, pria itu lalu meminta Cahaya menutup pintu gerbang dan menguncinya. Tiara dan Cahaya mengekor langkah Dirga yang melangkah masuk kedalam rumah, "ngapain sih," Tiara yang kesal dengan Cahaya mendorong bahu Cahaya. Membuat Cahaya terjatuh, "aaa!!" Dirga yang mendengar suara Cahaya berteriak segera menoleh dan berlari mendekati Cahaya. "Minggir," katanya seraya mendorong bahu Tiara dengan bahunya, membuat mulut Tiara melongo tidak percaya. Dirga mendudukkan Cahaya di sofa, "kamu tidak apa-apa?" tanyanya penuh dengan rasa khawatir. Cahaya mengangguk, "hanya pantat saya yang sakit," jawab Cahaya. Namun, mampu membuat wajah Dirga memerah. Dirga lalu bangkit dan merogoh ponselnya yang dia simpan di saku celana, lalu menghubungi Roni dan memberitahu jika dia tidak bisa pergi ke kantor hari ini. Tiara menatap tajam Cahaya, sedang wanita
Dirga menoleh pada pengasuh Tasya, "dimana kunci kamar Nyonya?" tanyanya kemudian. "Di kamar Non Tasya, Tuan." Jawab pengasuh Tasya, Dirga mendengus lalu berbalik arah menuju kamar Tasya. Pengasuh Tasya pun mengekor, "di mana?" tanya Dirga lagi. "Mama simpan kuncinya di lemari itu," Dirga mendengus lagi. Kenapa begitu repot dan ribet sekali cuma ingin masuk ke kamar wanita yang sudah melahirkan putri. Dirga membuka lemari yang Tasya maksud, dan di sana ada kotak yang Dirga kenal. Kotak yang selalu Cahaya gunakan untuk menyimpan barang barang penting. Dirga menatap lama kotak yang di sandi dengan nomer tersebut, lalu tatapannya beralih pada putrinya. "Tasya tahu kodenya?" Tasya menggeleng, Dirga lalu menoleh pada pengasuh Tasya. Bermaksud bertanya apakah dia juga tidak tahu. Ternyata dugaannya benar. Pengasuh Tasya tak tahu nomer yang Cahaya pakai. Dirga yang merasa kesal dan tidak sabar lalu membawa kotak itu keluar kamar Tasya dan membawanya ke ruang tamu. "Tuan mau mi
“Kamu benar-benar percaya padanya, Mas Dirga? Itu hanya trik murahan!” Tiara berteriak, suaranya menusuk malam yang sunyi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajah Dirga. Kebimbangan yang biasanya meliputi sorot matanya kini menghilang, digantikan oleh tekad yang kuat. “Cukup, Tiara,” ujar Dirga tegas. “Aku sudah cukup dibutakan oleh kebohongan selama bertahun-tahun. Aku ingin mendengar kebenaran, bukan kebohongan lagi.” Tiara terdiam, rahangnya mengeras saat ia menyadari bahwa Dirga tak lagi mudah dipengaruhi. Gilang, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, melangkah maju. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seakan tidak gentar meski kenyataan mulai terbuka. “Kau pikir ini sudah selesai, Dirga?” Gilang berbisik rendah, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu mendengarnya. “Kau mungkin tahu tentang Tasya, tapi kau belum tahu seberapa dalam konspirasi ini berjalan.” Wajah Dirga menegang. Cahaya, yang tadinya hanya diam, mula
Suara sirine memecah keheningan malam, menggema di sekitar rumah besar keluarga Bagaskara. Para pria berbadan tegap yang menahan Dirga dan Cahaya saling berpandangan panik, menyadari bahwa keadaan mulai berbalik. Gilang mengepalkan rahangnya, sorot matanya memancarkan amarah dan kecemasan. Dalam sekejap, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan Dirga dan Cahaya. “Pergi sekarang!” perintah Gilang kepada kedua pria itu. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka melepaskan cengkeraman mereka dan melarikan diri keluar rumah, menghilang di balik kegelapan malam. Gilang, dengan wajah penuh emosi, memandang Dirga yang masih tersungkur di lantai. Namun sebelum Gilang bisa bergerak lebih jauh, beberapa polisi muncul dan menyuruhnya berdiri dengan tangan diangkat. “Gilang Bagaskara, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi dan percobaan penyerangan,” ujar seorang polisi tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Wajah Gilang pucat, tetapi ia hanya mengangguk ke
“Kau pikir aku akan diam saja menyaksikan semuanya berantakan?” Gilang berdiri di ujung ruangan, tangan terkepal di samping tubuhnya. Suaranya rendah tapi penuh ancaman. Tiara, yang duduk di sofa mewah dengan kaki disilangkan, hanya mengangkat alisnya. Ia tampak tak terpengaruh oleh amarah Gilang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak lengah. “Gilang, apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengontrol semuanya? Lihat sekelilingmu,” ucap Tiara, nada suaranya setengah mengejek. “Dirga tak lagi mempercayaimu. Cahaya... wanita itu mulai membuat langkah yang tak kau duga. Dan kau di sini, menggertakku, seolah aku yang menjadi ancaman terbesarmu.” Gilang melangkah maju, bayangan lampu chandelier memantulkan wajahnya yang tegang. “Kau tak tahu apa yang aku hadapi, Tiara. Kau hanya datang ke dalam hidup Dirga dengan satu tujuan—uangnya. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kehormatanku. Keluarga ini adalah milikku, dan aku tak akan membiarkan Cahaya menghancurkan semua ya
“Kau tidak akan mengabaikan ini lagi, Dirga,” kata Gilang dengan nada penuh penekanan. Semua mata tertuju padanya. Cahaya berhenti bergerak, piring di tangannya kini diletakkan di atas meja dengan pelan. Suasana di ruang makan itu berubah, ketegangan menggantung seperti awan gelap yang menutupi pagi. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Dirga, matanya menyipit, memandang Gilang dengan kewaspadaan yang semakin tajam. Cahaya merasakan aliran adrenalin di tubuhnya, jantungnya berdetak cepat namun ia berusaha tetap tenang. Di dalam pikirannya, rencana yang telah ia susun semalaman terasa semakin mendesak untuk diwujudkan. “Kau akan mengerti setelah ini.” Gilang melangkah maju, mengambil posisi di tengah ruangan, seakan ingin memastikan bahwa ia menjadi pusat perhatian. Cahaya menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca setiap gerakan dan ekspresi di wajah Gilang. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih putus asa dan terdesak daripada biasanya. Di saat yang sama, Tiara melangkah
"Cahaya, kau benar-benar percaya kita akan aman sekarang?" Dirga memandang ke arah Cahaya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia mencoba menyembunyikannya, tetapi Cahaya dapat melihat bahwa ketakutan itu perlahan menggerogoti ketenangan suaminya.Cahaya menghela napas pelan, menatap Dirga dengan pandangan yang lembut namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu, Dirga. Tapi yang pasti, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kita lagi. Bukan Tiara, bukan Gilang, bukan siapa pun."Dirga meraih tangan Cahaya, menggenggamnya erat. "Kita sudah berjuang sejauh ini, Cahaya. Aku hanya ingin kita bisa hidup tenang, tanpa ancaman yang terus menghantui. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keluarga kita."Belum sempat Cahaya membalas, terdengar suara tawa riang Tasya dari ruang tamu, disusul langkah kaki kecil yang berlari mendekati mereka. "Mama, Papa! Lihat, aku membuat gambar kita bertiga!" serunya, menunjukkan kertas berisi gambar sederhana mereka dalam balutan warna-warni cerah.Cahaya
“Mas Dirga, menurutmu.. apa. kita bisa benar-benar hidup tenang mulai sekarang?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, pandangannya menatap jauh ke luar jendela, seolah-olah mencari jawaban yang tersembunyi di antara langit yang cerah pagi itu. Dirga berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Cahaya. Dirga tersenyum, menatap Cahaya dengan kelembutan yang terpancar dari matanya. “Ya, Cahaya. Aku yakin ini adalah awal yang baru untuk kita. Semua telah selesai. Semua luka dan rasa sakit itu... kita bisa mulai menyembuhkannya bersama.” Mereka berdua berdiri di ambang jendela, menikmati sinar matahari pagi yang terasa begitu hangat dan menenangkan. Di balik semua konflik dan perjuangan, hari ini terasa seperti pagi yang istimewa—sebuah permulaan dari hidup yang mereka idamkan. Di ruang tamu, suara tawa kecil Tasya terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Cahaya tersenyum, kemudian menoleh pada putri kecil mereka yang sedang bermain dengan bonekanya di
“Dirga, pernahkah kau benar-benar memahami rasa sakit yang kusimpan selama ini?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, matanya menatap lurus ke arah Dirga yang duduk di sampingnya. Pertanyaan itu terdengar seperti beban yang terpendam bertahun-tahun, yang akhirnya terungkap dalam satu tarikan napas. Dirga terdiam, membiarkan kata-kata Cahaya memenuhi ruang di antara mereka. Hatinya mendadak berat, penuh penyesalan yang selama ini ia simpan. “Cahaya, aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi... apakah kau bersedia memberiku kesempatan untuk menebus semuanya?” Cahaya menunduk sejenak, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuan. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya. “Dirga, bukan tentang memberimu kesempatan. Ini lebih kepada... rasa sakit yang terlalu lama kusimpan sendirian. Semua yang kuhadapi selama ini... seolah tidak ada yang benar-benar memahami atau bahkan ingin mendengarnya.” Dirga menatap Cahaya dengan penuh kesun
“Kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Gilang?” Dirga mendengar suara Roni di telepon, bernada serius dan tenang. Panggilan dari Roni ini terasa mendadak dan memunculkan perasaan yang bercampur aduk dalam hati Dirga. “Apa yang kau temukan, Roni?” Dirga mencoba menahan napas, tahu bahwa sahabatnya tidak akan menelepon jika tidak ada berita penting. Roni menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku berhasil menemukan bukti yang cukup kuat. Gilang terlibat dalam jaringan korupsi besar yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Bukti ini bisa menjatuhkannya sepenuhnya, Dirga.” Dirga terdiam, meresapi informasi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebagai adik, ia merasa terkejut dan terluka, namun sebagai seorang pria yang telah melihat banyak tindakan manipulatif dari Gilang, ia menyadari bahwa ini adalah jalan keadilan yang akhirnya terungkap. “Dan pihak kepolisian sudah tahu semua ini?” Dirga bertanya, suaranya nyaris berbisik. “Ya. Aku sudah menyerahkan semua b
“Cahaya, kau pikir bisa terus bertahan? Kau tak lebih dari bayangan yang hanya membawa malapetaka,” ujar Tiara dingin, tatapannya tak beranjak dari sosok Cahaya yang berdiri di samping Dirga.Cahaya menahan napas, menatap lurus ke arah Tiara dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku tidak akan mundur demi keluargaku, Tiara. Apa pun rencanamu, kau tak akan berhasil memisahkan aku dari Tasya dan Dirga.”Tiara hanya tersenyum sinis, lalu melangkah mundur. “Kita lihat saja seberapa kuat kau bertahan,” katanya sebelum pergi dengan langkah angkuh yang menusuk.---“Sudah cukup semua ini, Gilang!” Dirga menatap kakaknya yang berdiri tak jauh darinya, tatapan mata mereka saling berseteru dalam diam yang mencekam. Cahaya berdiri di samping Dirga, menggenggam tangan suaminya dengan erat, sementara Tasya berada dalam pelukannya.Gilang tertawa sinis, matanya menyiratkan kebencian yang selama ini tersembunyi di balik topeng saudara. “Kau pikir bisa hidup bahagia, Dirga? Kau kira akan bebas dari bay
"Cahaya, kau benar-benar percaya kita akan aman sekarang?" Dirga memandang ke arah Cahaya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia mencoba menyembunyikannya, tetapi Cahaya dapat melihat bahwa ketakutan itu perlahan menggerogoti ketenangan suaminya.Cahaya menghela napas pelan, menatap Dirga dengan pandangan yang lembut namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu, Dirga. Tapi yang pasti, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kita lagi. Bukan Tiara, bukan Gilang, bukan siapa pun."Dirga meraih tangan Cahaya, menggenggamnya erat. "Kita sudah berjuang sejauh ini, Cahaya. Aku hanya ingin kita bisa hidup tenang, tanpa ancaman yang terus menghantui. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keluarga kita."Belum sempat Cahaya membalas, terdengar suara tawa riang Tasya dari ruang tamu, disusul langkah kaki kecil yang berlari mendekati mereka. "Mama, Papa! Lihat, aku membuat gambar kita bertiga!" serunya, menunjukkan kertas berisi gambar sederhana mereka dalam balutan warna-warni cerah.Cahaya
“Kau tidak akan mengabaikan ini lagi, Dirga,” kata Gilang dengan nada penuh penekanan. Semua mata tertuju padanya. Cahaya berhenti bergerak, piring di tangannya kini diletakkan di atas meja dengan pelan. Suasana di ruang makan itu berubah, ketegangan menggantung seperti awan gelap yang menutupi pagi. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Dirga, matanya menyipit, memandang Gilang dengan kewaspadaan yang semakin tajam. Cahaya merasakan aliran adrenalin di tubuhnya, jantungnya berdetak cepat namun ia berusaha tetap tenang. Di dalam pikirannya, rencana yang telah ia susun semalaman terasa semakin mendesak untuk diwujudkan. “Kau akan mengerti setelah ini.” Gilang melangkah maju, mengambil posisi di tengah ruangan, seakan ingin memastikan bahwa ia menjadi pusat perhatian. Cahaya menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca setiap gerakan dan ekspresi di wajah Gilang. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih putus asa dan terdesak daripada biasanya. Di saat yang sama, Tiara melangkah
“Kau pikir aku akan diam saja menyaksikan semuanya berantakan?” Gilang berdiri di ujung ruangan, tangan terkepal di samping tubuhnya. Suaranya rendah tapi penuh ancaman. Tiara, yang duduk di sofa mewah dengan kaki disilangkan, hanya mengangkat alisnya. Ia tampak tak terpengaruh oleh amarah Gilang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak lengah. “Gilang, apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengontrol semuanya? Lihat sekelilingmu,” ucap Tiara, nada suaranya setengah mengejek. “Dirga tak lagi mempercayaimu. Cahaya... wanita itu mulai membuat langkah yang tak kau duga. Dan kau di sini, menggertakku, seolah aku yang menjadi ancaman terbesarmu.” Gilang melangkah maju, bayangan lampu chandelier memantulkan wajahnya yang tegang. “Kau tak tahu apa yang aku hadapi, Tiara. Kau hanya datang ke dalam hidup Dirga dengan satu tujuan—uangnya. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kehormatanku. Keluarga ini adalah milikku, dan aku tak akan membiarkan Cahaya menghancurkan semua ya
Suara sirine memecah keheningan malam, menggema di sekitar rumah besar keluarga Bagaskara. Para pria berbadan tegap yang menahan Dirga dan Cahaya saling berpandangan panik, menyadari bahwa keadaan mulai berbalik. Gilang mengepalkan rahangnya, sorot matanya memancarkan amarah dan kecemasan. Dalam sekejap, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan Dirga dan Cahaya. “Pergi sekarang!” perintah Gilang kepada kedua pria itu. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka melepaskan cengkeraman mereka dan melarikan diri keluar rumah, menghilang di balik kegelapan malam. Gilang, dengan wajah penuh emosi, memandang Dirga yang masih tersungkur di lantai. Namun sebelum Gilang bisa bergerak lebih jauh, beberapa polisi muncul dan menyuruhnya berdiri dengan tangan diangkat. “Gilang Bagaskara, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi dan percobaan penyerangan,” ujar seorang polisi tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Wajah Gilang pucat, tetapi ia hanya mengangguk ke
“Kamu benar-benar percaya padanya, Mas Dirga? Itu hanya trik murahan!” Tiara berteriak, suaranya menusuk malam yang sunyi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajah Dirga. Kebimbangan yang biasanya meliputi sorot matanya kini menghilang, digantikan oleh tekad yang kuat. “Cukup, Tiara,” ujar Dirga tegas. “Aku sudah cukup dibutakan oleh kebohongan selama bertahun-tahun. Aku ingin mendengar kebenaran, bukan kebohongan lagi.” Tiara terdiam, rahangnya mengeras saat ia menyadari bahwa Dirga tak lagi mudah dipengaruhi. Gilang, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, melangkah maju. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seakan tidak gentar meski kenyataan mulai terbuka. “Kau pikir ini sudah selesai, Dirga?” Gilang berbisik rendah, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu mendengarnya. “Kau mungkin tahu tentang Tasya, tapi kau belum tahu seberapa dalam konspirasi ini berjalan.” Wajah Dirga menegang. Cahaya, yang tadinya hanya diam, mula