Share

Bab 3. Dikurung

Kanaya sadar dari pingsan saat Salman menunggu Samuel di lobi hotel. Kanaya melihat tubuhnya sudah menggunakan pakaian lengkap dan lelaki yang telah menodainya sudah tidak ada di kamar itu, dirinya merasa sangat hina.

"Kurang ajar! Siapa sebenarnya lelaki itu, kenapa dia memperlakukanku seperti pelacur? Setelah puas menodaiku dan menuntaskan hasratnya ia pergi begitu saja!" ucap Kanaya dengan isak tangis begitu pilu.

Kanaya turun dari ranjang, meraih tas ranselnya, lalu perlahan berjalan menahan perih diarea inti miliknya akibat apa yang di lakukan lelaki itu padanya. Dengan langkah tertatih dan air mata yang terus mengalir di pipinya Kanaya keluar kamar dan keluar dari hotel tersebut karena tak ingin bertemu kembali dengan pria yang ia anggap benar-benar brengsek.

"Kenapa jadi seperti ini nasibku, Tuhan? apa yang harus aku lakukan sekarang, aku sudah kotor!" gumam Kanaya sambil menangis keluar dari hotel.

Salman yang sedang duduk di sofa lobi hotel tak sadar jika wanita yang baru saja ia manfaatkan lewat di depannya, karena ia terlalu fokus pada ponselnya. Begitu juga, Kanaya tak sadar lelaki yang ia lewati adalah lelaki yang sudah menodainya.

Setelah berjalan beberapa meter dari hotel sambil menangis Kanaya kembali di kejutkan dengan sebuah mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di hadapannya. Kanaya menghapus air matanya dan melihat dua orang lelaki keluar dari mobil, ia berbalik badan dan hendak berlari. Namun, langkahnya kalah cepat karena dua lelaki itu sudah memegang tangannya.

"Mau pergi kemana kamu! ikut kami kedalam mobil!" ucap salah satu lelaki tersebut.

"Lepas, aku tidak mau ikut dengan kalian ...!" teriak Kanaya sambil meronta.

"Lepas ... Aku tidak mau ikut kalian!" Kanaya berteriak dan meronta, tetapi dua lelaki itu tetap membawanya masuk ke dalam mobil.

"Jangan kabur dan jangan membantah lagi, Nay!" ucap Arta.

"Kak, aku tidak mau pulang dan dinikahi pria yang sudah beristri!" tolak Kanaya.

"Aku sudah bilang kita tidak punya pilihan lain, mau tidak mau kau harus menikah dengannya untuk membayar hutang ayah!" ucap Arta dengan nada tinggi.

Kanaya hanya bisa memanyunkan bibirnya dan menatap bahu jalan melalui kaca mobil, sementara Artur fokus menyetir. Nampaknya nasib baik masih enggan menghampiri Kanaya, niatnya kabur gagal dan kini kembali pulang dalam keadaan sudah ternoda.

"Kak, kita masih punya waktu satu bulan untuk mencari uang. Aku tak mau mengorbankan masa depanku dengan menikahi pria beristri dan tamak seperti itu!" ucap Kanaya.

"Mau cari uang dengan cara apa untuk mendapat 800 juta dalam sebulan, kau mau jual diri, jual keperawanan mu?!" bentak Arta.

Deg ...

Kanaya terdiam dan merasa tertampar, bahkan keperawanan nya sudah hilang di renggut lelaki tak di kenal. Memang benar apa yang di katakan kakaknya, mustahil bagi mereka mendapatkan uang 800 juta dalam satu bulan walau sudah bekerja keras. Apalagi Kanaya hanya seorang mahasiswa semester dua yang hanya memiliki izajah SMA.

Setelah beberapa jam berkendara merekapun tiba di depan rumah Arta, Kanaya di tarik dengan kasar oleh Arta dari mobil dan memasuki rumahnya. Artur hanya bisa menghela nafas dan memandang adik serta saudara kembarnya dari dalam mobil.

"Mulai hari ini kau tak aku izinkan kemanapun! Jangan harap kau bisa kabur seperti tadi malam. Untung aku sudah membayar satpam kompleks untuk mengawasi mu jadi saat dia melihat kau pergi langsung mengabari ku!" ucap Arta seraya menarik kasar tangan Kanaya hingga di depan sebuah pintu kamar.

"Masuk! istriku akan memberimu makan setiap hari ke kamar ini, tapi kamu tidak boleh keluar kamar sampai hari pernikahanmu dengan tuan Bima tiba!"

Setelah Kanaya masuk ke dalam kamar, Arta langsung mengunci kamar itu dari luar. Kanaya berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis di depan pintu kamar, ia merasa tidak dianggap sebagai adik oleh Arta. Dikurung di dalam kamar seperti seorang tawanan dan tidak diberi kebebasan membuat Kanaya benar-benar merasa sangat sedih.

"Apa salahku, Kak? Kenapa kamu selalu membenciku hingga memperlakukan aku seperti ini, aku adikmu bukan tawananmu!" teriak Kanaya yang benar-benar sakit hati dengan sikap Arta padanya.

"Ayah, Ibu. Kenapa kalian tidak membawaku pergi dari dunia ini saja? Tak ada yang menyayangiku selain ayah. Kedua kakakku bahkan membenciku sejak aku lahir," ucap Kanaya diiringi Isak tangis.

Kanaya berjalan ke kamar mandi lalu menanggalkan pakaiannya, ia melihat ke depan cermin banyak tanda merah yang ditinggalkan lelaki itu di tubuhnya. Kanaya menangis di bawah guyuran shower dan tak henti menggosok tubuhnya dengan spon.

"Aku sudah kotor! Aku tak punya apapun yang bisa aku banggakan! Aku tidak punya masa depan! Aku tak punya kebebasan! Lalu untuk apa aku masih hidup di dunia ini, Tuhan?" teriak Kanaya di bawah guyuran shower

Hari demi hari berlalu, Kanaya benar-benar tak berdaya, setiap hari hanya di dalam kamar seperti burung dalam sangkar. Setiap pagi, siang, dan malam Melani-istri Arta memberinya makanan dengan lauk seadanya dan tidak mengijinkan Kanaya keluar.

Kanaya pasrah dengan keadaan, ia mengisi harinya dengan menggambar design baju di buku miliknya. Hingga hari pernikahan ia dan Bima pun semakin dekat. Lelaki yang telah memiliki istri dua itu datang dan ingin memastikan Kanaya tidak menolak pernikahan.

"Dimana gadis itu? Aku ingin bertemu dengannya!" ucap Bima.

"Ada di kamar, Tuan. Orang tua dulu bilang kalau calon pengantin itu harus dipingit jadi tidak saya izinkan keluar," ucap Arta.

"Bagus kalau begitu, aku tidak sabar menunggu hari pernikahan. Sekarang pertemukan aku dengan dia!" ucap Bima.

Arta pun membawa Bima ke kamar yang di tempati Kanaya, betapa terkejutnya Kanaya saat sang kakak membuka pintu malah ada lelaki itu masuk ke kamar.

"Tinggalkan kami berdua!" ucap Bima.

Arta mengangguk lalu keluar kamar dan menutup kembali pintu, Kanaya yang sedang menggambar pun menutup bukunya lalu meletakan di atas nakas.

"Mau apa kamu kesini?" tanya Kanaya dengan nada sinis.

"Jangan galak-galak dong calon istriku! Aku hanya rindu ingin melihat wajahmu," ucap Bima berjalan semakin mendekat kearah Kanaya membuat Kanaya bersikap waspada.

"Aku sudah tidak sabar untuk menikahimu dan menghabiskan malam panas bersamamu, Pasti sangat nikmat dengan perawan sepertimu," ucap Bima.

Wajah Kanaya berubah pucat, ia takut jika setelah menikah Bima berbuat kasar kepadanya setelah tahu ia sudah tidak perawan. Bima semakin mendekat dan menarik tangan Kanaya, saat Bima ingin mencium paksa Kanaya tiba-tiba pintu kamar diketuk.

"Sial ... Siapa yang berani menggangguku?!" umpat Bima karena gagal mencium Kanaya sebab Kanaya sudah menjauh darinya.

"Maaf, Tuan. Bi Ijah telepon katanya Nyonya Lena dan Nyonya Winda sedang bertengkar, mereka memperebutkan tas branded," ucap ajudan Bima.

Bima mengusap kasar wajahnya lalu berjalan keluar kamar Kanaya, ia langsung bertolak kerumahnya saat mendengar kedua istrinya sedang kelahi karena sebuah tas branded. Kanaya hanya bisa membayangkan hal buruk setelah menikah dengan Bima ia harus berhadapan dengan dua istri terdahulu lelaki itu. Saat sedang melamun, tiba-tiba Kanaya merasa sangat mual dan memuntahkan isi perutnya ke kamar mandi.

"Aduh ... Kenapa mual dari kemarin gak hilang-hilang padahal udah pakai minyak angin, makan pun gak pernah telat walau lauknya gak layak," gumam Kanaya.

Setelah tidak mual, Kanaya duduk dan kembali menggoreskan pena di atas kertas melanjutkan Design baju yang ia buat. Namun, Fokusnya teralihkan pada sebuah kalender duduk di mejanya.

"Hah ... Aku sudah telat haid satu Minggu, bagaimana kalau aku ...." Kanaya tak melanjutkan ucapannya, ia menutup mulutnya membayangkan hal yang tidak-tidak.

Satu Minggu berlalu, mual dan pusing yang di rasakan Kanaya belum juga mereda hingga hari pernikahan Kanaya dan Bima pun tiba. Kanaya kini di hotel bintang lima di rias begitu cantik, memakai gaun putih seperti seorang putri.

"Nay, kamu sudah siap?" tanya Arta masuk keruang make up.

Kanaya mengangguk, Arta dan Artur membawanya ke ruang yang akan jadi tempat akad nikah. Namun, Kanaya yang tak bisa lagi menahan mual pun berlari ke kamar mandi. Arta dan Artur yang takut kabur mengikutinya, tetapi saat Kanaya berlari ia tak sengaja bertabrakan dengan seorang lelaki. Ia yang sedang menahan mual akhirnya tak tahan dan memuntahkan isi perutnya di baju orang yang ia tabrak.

"Astaga, Apa yang kau lakukan?!"

"Ma-maaf aku tak sudah tidak tahan," ucap Kanaya.

Orang itu begitu kesal karena dimuntahi dan dengan mudahnya Kanaya meminta maaf, tetapi saat Kanaya mengangkat wajahnya ia terkejut.

"Kamu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status