"Terima kasih telah menerimaku menjadi pendampingmu, ketika aku dalam keadaan terpuruk."
Perkataan itu kubalas dengan senyuman kepada pria yang sedang duduk di pelaminan di sampingku. Ia meletakkan tapak tangan kirinya ke atas punggung tangan kananku sembari sedikit mengusap lembut.
"Aku juga berterima kasih kepada kamu, Mas. Karena sudah menerimaku dengan berbagai kekurangan yang kumiliki."
Jawabanku itu mungkin terdengar klise. Tapi tidak aku pungkiri. Pernikahan kami tidak tulus seratus persen berdasarkan cinta.
Aku tahu, Mas Priyo meminangku karena alasan duit. Apalah aku ini tanpa harta. Cuma seorang janda mandul yang sudah memasuki usia kepala empat dan memiliki paras tak terlalu menarik. Tapi cukup punya percaya diri. Aneh sekali ada laki-laki yang lebih muda, duda beranak dua, yang mau menerimaku dalam kondisi begini sementara dia bisa mencari wanita yang jauh lebih baik.
Aku sendiri tahu persis kondisi Mas Priyo. Seorang pengusaha yang usahanya sedang kolaps. Terjerat utang yang tak sedikit. Kepercayaan dirinya sedang runtuh untuk berwirausaha. Sementara ingin kerja kantoran pun sudah canggung, tak bisa mengikuti ritmenya.
Sebelumnya aku memanggil dia "Adik", dan dia memanggilku "Mbak". Karena usia kami terpaut 5 tahun di mana ia lebih muda. Kami dekat karena urusan bisnis. Setelah lamaran, kami berjanji bahwa aku akan memanggilnya "Mas" dan dia memanggilku "Adik".
Kalau sudah tahu ia mengicar hartaku, kenapa aku mau menerimanya? Mungkin ada pertanyaan begitu.
Alasannya, karena aku mengincar harta orang tuanya. Jangan salah, gitu-gitu juga Mas Priyo ini berasal dari keluarga terpandang. Empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan, semuanya pengusaha sukses kecuali anak kedua. Ya siapa lagi kalo bukan Mas Priyo. Jadi, sudahlah orang tuanya kaya raya, saudara-saudaranya pun milyuner.
Kedua orang tuanya masih hidup. Tapi sudah cukup renta. Dan berisiko dengan adanya wabah Covid yang mengerikan sekarang. Tugasku adalah bersabar untuk menunggu kematian mereka. Bila itu yang terjadi, cukup besar porsi warisan yang akan Mas Priyo dapat (dan tentu aku akan kebagian).
Bukankah hukum Islam mengatur bahwa lelaki mendapat dua pertiga bagian? Ya lumayanlah meski harus dibagi dua dengan saudara lelakinya anak pertama.
Aku baru tahu sedikit soal harta orang tuanya Mas Priyo. Setidaknya, dia punya dua buah villa di Puncak, satu rumah di Pondok Indah yang mereka tinggali dan ada rumah di Menteng dan lokasi lain yang belum aku tahu. Di antara mobil-mobilnya ada dua yang harganya di atas satu milyar. Ada tanah berhektar-hektar di beberapa daerah strategis yang siap berkembang beberapa tahun lagi. Jonggol, Cigombong, Gunung Sindur, Cikarang Timur, dan beberapa di luar Pulau Jawa.
Depositonya? Aku belum tahu. Tapi aku sudah siap terkejut bila akhirnya tahu suatu saat. Juga berapa harta perhiasannya, sahamnya, dll.
Ada sepuluh perusahaan yang dijalankan oleh papanya Mas Priyo. Uniknya, tidak ada satu pun yang dilanjutkan oleh anak-anaknya. Termasuk Mas Priyo yang sedang terancam bangkrut. Ini menjadi keherananku. Bisa jadi karakter Papanya keras kepada anak-anak. Tapi sekeras-keras orang tua, tentu punya rasa kasih sayang juga. Bila ada anaknya yang terancam jadi gembel, bukan tidak mungkin satu bisnis akan diserahkan.
Itulah "investasiku" yang akan panen suatu saat nanti. Ketika malaikat maut menghampiri dua orang renta itu. Cukup sedikit bulir air mata keluar, setelah itu masa-masa bahagia akan tiba. Dua pertiga dibagi dua dari harta-harta itu. Indahnya.
Ya, untuk sementara memang Mas Priyo yang akan menikmati warisan itu. Sementara. Karena bila aku sudah menghampiri KUA, aku kenal pengacara cerdik yang bisa menyulap harta-harta itu sebagai kepemilikan gono-gini yang harus dibagi dua.
Tapi menjalakan investasi ini harus satu yang aku miliki: kesabaran. Jangan sampai terjadi perceraian sebelum kedua orang tua Mas Priyo meninggal. Juga ada modal yang mungkin tak akan sedikit. Aku harus mengeluarkan biaya untuk membantu bisnisnya, serta menopang nafkahnya dan ke dua anak yang kini diasuh oleh mantan istrinya.
Semoga bisa sabar dan tak ada hal-hal di luar dugaan yang bisa merusak pernikahan kami. Sampai saat panen itu tiba.
*
Pesta usai, kami kembali ke rumah. Saatnya berdua tanpa diganggu.
Di mobil pada perjalanan pulang dari gedung, Mas Priyo tak berhenti tersenyum. Ada cahaya yang memancar dari kulit wajahnya. Kami duduk berdampingan dengan bahu saling bersandar.
Mas Priyo tak memikirkan soal uang 150 juta rupiah yang habis untuk pesta sederhana dengan protokol kesehatan yang ketat barusan. Tujuh puluh lima persen uangku terpakai. Mas Priyo hanya menyumbang dua puluh lima persen, itu pun berasal dari bantuan papanya. Setelah ia mengemis dan membawa-bawa gengsi. Sebagian biaya menikah aku dapat dari utang karena tak mau menarik modal yang sedang aku putar.
Sembari membaca pesan-pesan w******p yang berisi ucapan selamat, kami berbincang ringan. Tentang masa depan, dan juga soal rencana-rencana bisnis. Lelaki itu memang kuat daya khayalnya. Banyak mau. Terdengar hebat bila bicara konsep. Tapi lemah dalam eksekusi.
Sampai sebuah kalimat yang sangat mengganggu terlontar dari lisannya.
"Dek, amplop dari tamu undangan buat Mas ya semuanya."
"Hah? Gimana, Mas?"
"Iya. Uang pemberian tamu undangan, Mas perlu buat tambahan modal." Suamiku nyengir sembari menggerak-gerakkan kedua alisnya.
Tatapanku kosong. Secepat kilat mencoba membentuk ekspresi yang tepat menyikapi permintaan itu. Mimik yang riang, yang tulus, ikhlas, ridho kepada suami. Bagaimana ya?
"Oh. Ya udah kalo Mas perlu, pake aja." Aku menarik paksa dua sisi bibir ke samping lebar-lebar.
"Kado-kado selain amplop, bolehlah buat, Adek."
Aku membatin, "Helloooo.... kan uang pesta juga banyakan dari gua, centong nasi." Namun tetap kata-kata yang baik keluar dari mulut. "Boleeeh. Deal deh kalo gitu. Siapa tau ada yang ngasih kado mobil fortuner."
"Hahaha bisa aja kamu, Dek."
"Hehehe..." Suamiku lucu ya. Kalau dia kutu, sudah kupites sampai penyek.
Tuuut....
Gawaiku berbunyi. Sebuah pesan dari seorang sahabat. Aku membacanya seksama.
"Hahaha... Gila. Mas, aku diajak Dwi ketemuan malam ini juga. Cuma kami berdua. Kalau aku gak mau, dia bakal batalin pesanan ratusan jilbab eksklusif yang rencananya aku launching pekan depan. Gila memang nih Dwi. Boleh, Mas?" tanyaku.
"Yah, Dek. Aku pengen kita nikmatin waktu-waktu berdua tanpa diganggu orang selagi baru nikah." Wajah Mas Priyo berubah cemberut.
"Jadi gak boleh?"
"Ya terpaksa Mas bolehin. Daripada kamu kehilangan prospek bisnis."
"Baguuuus..." Aku membatin. Matrenya makin keliatan. Sudah berani mengorbankan waktu berkualitas bersama istrinya demi uang.
"Alhamdulillah. Makasih, Mas. Gak lama kok. Dia setuju waktunya dimajukan sore ini. Paling lama jam 7 aku sudah di rumah."
"Ya, jaga diri ya. Gimana nih, kamu mau dianterin ke rumah dulu apa langsung dianter ke tempat ketemuan?"
"Langsung ke tempat pertemuan aja. Sabar ya, Mas. Maaf."
"Gak apa-apa."
Mobil yang kami tumpangi pun berputar arah.
*
Tapi malam itu aku mengingkari janji. Jam setengah sepuluh baru sampai rumah. Sejak sore sampai malam Mas Priyo berkali-kali menghubungi aku. Hingga panggilannya aku acuhkan.
Sampai di dalam rumah, aku mendapatinya bermuka masam. Sedari tadi hanya seorang diri di bangunan dua lantai seluas 150 x 100 itu.
Rencananya selama tiga hari tidak boleh ada orang lain di rumah kami. Beres-beres biar kami yang mengerjakan. Bulan madu hemat di masa pandemi.
Untungnya dia sudah makan dengan memesan lewat daring. Setelah membukakan pintu, ia hanya memunggungiku lalu berjalan ke arah kamar. Berbaring di atas kasur dengan badan membelakangi. Setiap pertanyaan hanya dijawab, "hmmm...". Tak mau mengarahkan wajahnya kepadaku.
Ya sudah, aku pun berinisiatif memeluk badannya yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek dari belakang. Namun tangannya menepis.
"Udah ah, sana."
"Maaf ya, Mas. Jangan ngambek doong..." Aku mencoba mengelitiki badannya.
"Awaaas...."
Plaak... Ayunan tangannya mengenai wajahku. Sakit. Dan aku terperangah.
Baru menikah saja sudah berani main tangan. Bagaimana kalau sudah satu bulan, satu tahun? Dan sampai kapan aku harus menunggu orang tuanya meninggal untuk menyelesaikan missiku? Bisakah aku bertahan?
"Mas... Kok aku ditampar?" Tanyaku.
*
"Apa-apaan ini, Mas? Baru malam pertama kamu sudah berani menampar aku?" tanyaku.Mas Priyo tergagap. "Oh. M... Maaf, Dek. A... Aku gak sengaja.""Gak sengaja gimana? Tangamu mengayun ke mukaku, lho." Alisku berkerut. Tanganku mengelus-elus pipi yang panas."Aku ga bermaksud menampar, cuma mau menepis pelukan kamu, Dek.""Kalau menepis ya harusnya gerakan Mas seadanya. Kenapa tangan Mas bergerak terlalu berlebihan hingga mengenai wajahku?""Aku minta maaf. Aku salah, tidak sengaja. Maaf ya. Sudah, kamu jangan marah.""Jangan marah bagaimana? Ini malam pertama lho, dan kamu sudah berani berlaku kasar. Gimana kalau usia pernikahan kita sudah sekian tahun?"Aku membalikkan punggung membelakanginya sembari memeluk guling. Malam pertama yang suram. Tak dapat kutahan sebulir dua bulir air yang mendesak mengalir di ujung mata.Kini giliran ia yang merangkul dan membelaiku sembari mengucapkan kata maaf. Tak kugubris.Semal
Aku pikir suami yang "morotin" istrinya cuma ada di sinetron-sinetron. Tapi kini aku alami sendiri. "Jadi gimana, dek? Mau gak bantu bisnis Mas?" Ia meminta ketegasan. Aku menghela nafas berat. "Boleh, tapi dengan perjanjian yang jelas ya, Mas. Berapa persen porsi saham aku, berapa modal Mas." "Kamu mau modalin berapa?" "Aku beli franchisenya deh. Mas yang nyediain ruko sama pegawainya." Tadinya badan suamiku sudah condong ke depan untuk menyimak berapa uang yang bisa kusumbang untuk membantu mewujudkan usahanya. Begitu mendengar penjelasanku, ia menghempaskan punggungnya ke belakang. "Kenapa, Mas?" "Saya pikir kamu akan back up penuh." "Saya juga punya prioritas bisnis, Mas. Aku lagi butuh uang buat peluncuran brand baru." "Apa gak bisa mendahulukan kepentingan suami?" "Nanti ya kita bicarakan setelah event dalam waktu dekat ini selesai." "Pelit banget, sih." Mas Priyo melengos. Lantas beranjak
"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal."Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat."Sekarang aja, Pak. Kami tunggu.""Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu
"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu. "Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan. "Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu. Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?" "Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... j
Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang