"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak."
Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya.
Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu.
"Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan.
"Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu.
Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?"
"Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... jawab wanita tersebut.
Mendengar ucapan begitu, Mas Priyo pun bangkit dan raut wajahnya berubah menjadi serius. "Lho, bukannya SPP Eka rutin aku transfer? Uang masuk sekolah buat Dwi juga sudah aku transfer dua bulan lalu. Kamu mau nagih apa?"
"Bohong."
"JANGAN SEMBARANGAN KAMU...!!" Suaranya keras menyentak. Menggelegar mengisi tiap sudut ruang tamu di rumah ini.
"Ssst... Mas, jangan kasar kasar." Aku coba meredakan emosi Mas Priyo yang tersulut.
Kemudian mantan istrinya berkata, "Memang gitu dia orangnya. Kasar. Awal nikah doang lembut. Abis itu keliatan watak aslinya."
"Kamu jangan sembarangan ya, Ani. Aku masih nyimpen bukti transfer." Mas Priyo berjalan ke kamar untuk mengambil gawai, mengutak atik sebentar, lalu menuju mantan istrinya yang masih berdiri di depan pintu. Tangan suamiku merentang ke depan menunjukkan layar telepon genggam.
"Ini apa, hah? Ini apa? Kamu masih nyangkal belum dikasih? Ini SPP buat Eka bulan kemarin." Lalu Mas Priyo menggeser-geser layar gawainya mencari gambar yang lain, kemudian kembali menunjukkan kepada wanita itu. "Yang ini, bukti pembayaran masuk SD buat Dwi. Aku transfer dua belas juta. Ngomong apa lagi kamu, hah? Udah jelas buktinya. Masih bilang aku bohong?"
Napas Mas Priyo tersengal-sengal. Baru kali ini aku lihat ia marah besar. Dan baru tadi aku dengar suara bentakkan dari dia. Rupanya kalau marah, seram juga.
Mantan istri suamiku terdiam tak mampu menjawab. Melihat itu, aku coba inisiatif menenangkan suasana. "Duduk dulu, Mbak. Ayo masuk."
Kali ini ia nurut omonganku. Membuka sepatunya, ia berjalan ke dalam rumah lantas duduk di sudut sofa dengan menyilangkan kaki.
"Saya bikin minum ya, Mbak. Mau minum apa?" tanyaku dengan sikap sesopan mungkin.
"Gak usah. Saya punya punuk," jawabnya dengan masih memalingkan pandangan. Aku menelan ludah melihat penyikapan begitu. Tak disangka, Mas Priyo pernah menikahi seekor unta.
Raut Mas Priyo berubah menjadi ceria ketika selanjutnya ia berbicara kepada anak-anak, "Eka, Dwi, ini Mama baru kalian. Panggil Mama Dina ya. Ayo salim!"
Aku sumringah menyambut uluran tangan kedua anak itu. "Kalian cantik-cantik ya. Ranking berapa di sekolah?" tanyaku. Tapi tak satu pun yang menjawab. Aku tak memudarkan senyuman. Kemudian berujar, "Mama buatin minuman buat kalian ya. Mau minuman apa?"
"Es dawet, Mbok," jawab yang paling kecil.
Aku menganga mendapat jawaban yang tidak disangka-sangka dan panggilan yang tak pernah diduga. "Eh... Gak ada es dawet. Terus, jangan panggil mbok ya. Panggil mama aja."
"Dilarang sama mama," ujar yang paling kecil sembari menengok ke arah ibunya. "Kata mama, cuma ada satu mama dan gak boleh ada yang laen. Kalau untuk istri papa yang baru, panggil mbok atau bibi."
Aseeeemm.... Cemburu sih cemburu, tapi jangan gitu juga dong, Bambaaaang. Ngajarin yang gak bener ke anak-anak nih si Nini Pelet.
"Hihihi... Gak apa-apa gak dipanggil mama. Tapi jangan mbok atau bibi. Panggil... Mmm... Mami aja ya. Mau ya?"
Mereka mengangguk. Good. Sekalian aku pilih panggilan yang meninggikan gengsi. "Ya udah, Mami buatin sirup buat kalian." Aku melenggang ke dapur.
Sembari menyiapkan minuman untuk tiga orang, aku mencuri dengar percakapan di ruang depan.
"Mau kamu apa sih sebenernya, hah?"
"Aku butuh uang, Mas. Uang sekolah anak-anak udah kepake."
"Kurang ajar, kamu. Itu namanya berkhianat. Tega-teganya uang anak sendiri ditilep. Ibu seperti apa kamu?"
"Aku butuh kerjaan. Butuh modal usaha."
"Bukan urusan aku."
Terdengar suara isak tangis. Keadaan makin serius. Dan ketika minuman telah siap, aku pun bergerak menuju ruang tamu untuk menghidangkan tiga gelas ke atas meja.
Anak-anak Mas Priyo bermain di lantai. Mereka mengambil boneka yang terpajang di bufet. Tak mengacuhkan pertengkaran kedua orang tuanya. Mungkin sudah terbiasa? Aku pun ikut duduk bersama mereka. Mencoba mengajak berbincang dengan penuh senyuman.
"Kalau Mas gak mau ngasih uang spp Eka sama uang masuk sekolah Dwi, biar aja ya mereka gak sekolah?" Mantan istri suamiku berbicara.
"Kamu tanggung jawab, dong. Uangnya kan udah aku kasih."
"Aku udah gak ada uang lagi."
"HAAAAH BODO AMAT. KAMU HARUS GANTI UANG YANG UDAH AKU TRANSFER."
Tangis mantannya Mas Priyo semakin menjadi. Melihat itu, aku pun berinisiatif mengambil kotak tisu di bufet untuk diletakkan di atas meja.
Di sela tangis, wanita itu berujar, "Ya udah, aku titip anak-anak ya Mas. Aku ga bisa ngasuh mereka. Untuk kebutuhan hidup aku aja luntang-lantung begini."
"Mas..." Aku menyela percakapan. "Udah kasih aja. Kasian anak-anak kalau berhenti sekolah."
"Nggak. Enak aja dia lepas tanggung jawab."
Lho, aku bingung. Kok Mas Priyo sebagai suami tak khawatir sekolah anaknya terbengkalai.
"Mas..." Aku memanggil lagi.
"Nggak."
"Aku yang bayarin."
"Oh. Ya boleh kalo kamu mau bayarin. Kan itu anak-anak kamu juga, Dina."
Aku menarik napas dalam-dalam. Bener-bener ini laki. Matrenya gak ketulungan.
"Mbak," ujarku kepada mantan istri Mas Priyo. "Dari sekolah ada rekening yang bisa ditransfer gak buat anak-anak?"
"Transfer ke saya saja," jawab dia.
"Lebih baik saya transfer langsung ya, Mbak. Biar dipastikan uangnya sampai."
"Lho, Mbak gak percaya saya?"
Sumpah aku keheranan. Padahal tadi dia jelas-jelas mengaku telah menyelewengkan uang sekolah yang diberikan oleh Mas Priyo. Sekarang dia menggugat karena merasa tidak dipercaya.
"Percaya, Mbak. Tapi daripada nanti repot-repot transfer dua kali, dan Mbaknya juga repot ngirim balik bukti transfer, mending langsung saya saja yang bayarin."
Ia cembetut. Memasang mimik masam. Namun begitu, tetap ia kirim nomor rekening sekolah ke nomor W******p Mas Priyo.
"Baik, Mbak. Insya Allah saya transfer," ujarku.
"Ya terima kasih. Sekarang aku mau pulang. Gak mau ganggu kalian," kata wanita itu.
"Dari tadi juga udah ganggu, Otoong", batinku.
"Ayo Eka, Dwi, kita pulang." Anak-anak nurut saja dengan perintah tersebut. Mereka berdiri dan mendekat kepada ibunya yang telah berangsur menuju pintu. Namun belum sampai di luar, mantan istri suamiku membalikkan badan. "Mas, kamu tega membiarkan anak-anak pulang jalan kaki?" katanya.
Apa lagi ini, pikirku. "Kamu mau apa lagi?" tanya Mas Priyo.
"Aku minta ongkos."
Ya Allah. Ini dua orang sama-sama matre. Mereka cocok, tapi kenapa cerai ya?
Aku berinisiatif mengambil dompet di kamar untuk mengambil uang seratus ribu rupiah yang kemudian aku sodorkan kepada wanita itu.
"Kurang, Mbak," jawabnya.
"Hah? Kurang berapa?"
"Anak-anak mau jajan ayam goreng fried chicken. Minta empat ratus lagi."
"Jangan, Dek!" cegah suamiku. Baik, aku lega. "Kebanyakan. Kasih aja dua ratus lagi." Yeee... Sama aja bohong. Ya sudah lah. Aku nurut saja.
Dan mereka pun pergi.
Setelah keadaan kondusif, Mas Priyo menunaikan salat maghrib yang tertunda. Aku pun begitu.
Hari kedua yang aneh. Benar-benar aneh. Dimulai dengan suasana yang suram karena pipiku terkena tangannya tadi malam, lalu disambut pulang dengan mesra, kemudian bertemu debt collector, dan terakhir bertemu mantan dan anak-anak Mas Priyo dalam keadaan yang canggung.
Petualangan hidupku untuk memburu warisan Pak Broto sungguh di luar dugaan. Perjalanan mungkin masih panjang. Mental harus disiapkan.
Dan selepas Salat Maghrib, ketika menyiapkan makan malam, sebuah pertanyaan kulontarkan pada suami, "Mas, kita gak silaturahim ke rumah bapak?" Aku benar-benar ingin main ke rumah mertua. Ingin melihat langsung kekayaannya. Tujuannya agar aku termotivasi mempertahankan rumah tanga ini.
Mas Priyo menjawab, "Kebetulan Dek, besok bapak ngajak anak-anak kumpul di rumahnya."
Aku tersanjung. Sepertinya aku akan diperkenalkan di depan keluarga besar. Sambil tersenyum aku menjawab, "Duh aku grogi nih mau ketemu saudara-saudara Mas Priyo."
"Santai aja. Besok Bapak mau ngajak berunding anak-anak. Karena dia mau lepas saham di dua perusahaan buat bayar utang lima belas milyar yang jatuh tempo bulan depan."
"Hah? Bapak pengusaha besar gitu masih punya utang?"
"Masih. Justru namanya pengusaha, biasa punya utang. Gak cuma itu aja. Utangnya lebih besar lagi."
Hmm... Aku penasaran dan gundah. Sebenarnya mertuaku itu benar-benar punya harta yang banyak atau tidak? Lebih besar mana utang atau asetnya?
Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang