Share

Tamu Tak Diundang (II)

Author: Cassablanca
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?

Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal.

"Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat.

"Sekarang aja, Pak. Kami tunggu."

"Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu di depan tubuhnya membuat gerakan khas memohon.

"Halaah... Apa hubungannya acara pernikahan dengan bayar utang? Apalagi bapak baru dapat amplop dari tamu undangan kan? Pasti balik modal tuh. Malah untung. Tidak bisa jadi alasan untuk tidak bayar utang." Intonasi orang itu meninggi.

Yang lain bersuara, "Oooh penganten baru rupanya. Ini ya istrinya? Cantik sekali. Boleh kenalan, Mbak? Hehehe..." Ia memegang lenganku.

"EH, JANGAN PEGANG PEGANG," aku berteriak sembari mundur dua langkah. Aku bisa muntah di tempat saat ini juga melihat seringai yang menjijikkan dari orang yang berkulit legam itu.

Keadaan makin tidak terkendali. Salah seorang lagi dari mereka memegang-megang televisi 60 inch yang terpasang menyandar tembok di salah satu sisi ruang tamu. "Besar juga tivinya ini, Pak. Boleh kami bawa pulang ya?"

Yang lebih gila lagi ketika ada yang mengacak-ngacak bufet seraya berkata, "Pak, boleh liat konci mobilnya ada di mana?"

Suamiku masih diam mematung. Lalu seorang debt collector yang paling besar badannya berujar, "Gimana? Bisa ya bayar hari ini juga?"

"Mmm.. Mohon kasih waktu sampai..."

"Saya bayar hari ini juga," aku memotong nada gugup suamiku. "Tapi kalian semua keluar sekarang."

"Galak amat, Mbak. Penganten baru harus ramah sama tamu undangan. Hehehe..." Orang yang sempat memegang lenganku tadi berbicara.

"Kami gak pernah undang kalian ya. Sekarang kalau niat kalian cuma mau menagih utang, mohon tunggu di luar. Nanti akan saya tunjukkan bukti pembayaran. Gak lama," kataku setengah membentak.

"Mohon izin kami ngadem di dalam lah, Mbak. Di luar panas." 

"Keluar sekarang. Kalian mau nagih utang mau merampok?"

Orang yang bertubuh paling besar di hadapan Mas Priyo mengajak gerombolan itu keluar dengan gerakan tangan melambai. Setelah tak ada orang lagi di dalam rumah, aku mengambil gawai dari saku untuk membuka aplikasi perbankan dengan maksud mentransfer utang Mas Priyo kepada PT Ngeribanget Finance sebesar empat puluh dua juta rupiah. Suamiku memberi tahu nomor rekening yang harus dibayarkan.

Setelah selesai, aku hampiri mereka semua sembari menunjukkan bukti pembayaran.

"Bagaimana? Sudah lunas semuanya ya. Kalian bisa pulang sekarang."

"Terima kasih mbak..." "Terima kasih mbak..." 

Gerombolan itu pun berhamburan pergi bersama kendaraan yang mereka bawa.

*****

Kejadian sore ini benar-benar tak diharapkan. Suasana indah penganten baru bisa berubah menjadi mencekam dalam sekejap mata. Bagai awan hitam tengah hari yang bergumpal dan membesar dengan cepat di langit yang cerah, mengubah cuaca menjadi mendung.

"Mas punya utang berapa lagi?" Mataku berkaca-kaca. 

"Yang udah jatuh tempo ya tadi itu, Dek," jawabnya. Duduk bersandar di sofa dengan tatapan yang sayu.

"Terus ada berapa lagi yang belum dibayar? Totalnya?" Aku mengambil tempat berseberangan dengan Mas Priyo.

"Ada..." Ia menarik nafas berat. "Sekitar empat ratus jutaan lagi."

"Hah?" Ya Allah, perangkap apa yang Kau siapkan untukku? Apakah ini balasan atas niatku yang tidak tulus dalam pernikahan? "Terus Mas mau bayar pake apa? Ada uangnya gak?"

"Biasanya sebelum jatuh tempo, Mas cari utangan lain untuk menutup utang yang ada. Yang satu ini memang kelupaan. Makanya kena bunga lima persen. Padahal pokoknya cuma empat puluh juta."

"Ya Allah Mas Priyooo.... Mau sampe kapan Mas hidup begini? Hati hati sama pinjol. Mereka itu lintah darat."

"Gak tau. Apa Adek punya solusi?"

Kami bungkam agak lama. Membiarkan matahari beringsut tenggelam di balik cakrawala. Adzan Maghrib pun memecah keheningan.

"Asset yang Mas punya apa aja?" tanyaku setelah beberapa jeda.

"Rumah, mobil..."

"Rumah ini harganya sekitar satu setengah milyar. Mas bisa jual rumah ini buat nutup utang." Begitu solusiku.

"Terus Mas tinggal di mana? Gak punya rumah lagi dong?"

"Uang itu kan ada sisanya sekitar satu koma satu M. Masih bisa lah beli rumah yang lebih kecil. Sebenernya gak perlu beli rumah lagi. Kita tinggal di rumahku aja. Sisa uang dari penjualan rumah ini setelah dikurangi bayar utang bisa Mas pake buat modal usaha. Termasuk mengembalikan uang aku empat dua juta rupiah yang tadi keluar."

"Emang gak apa-apa Mas tinggal di rumah kamu?"

"Ya gak apa-apa."

Aku membatin. Sorry to say Mas, rumahku jauh lebih besar dari rumah ini. Posisinya juga lebih strategis. Lebih nyaman tinggal di sana. Aku mengalah untuk ikut Mas Priyo karena rasa hormat kepada suami. Tidak mau menjadi dominan. Tapi kalau begini, biar aku yang berkuasa sekalian.

Kini rumah itu ditempati oleh Yuni, sekretarisku tanpa ditagih uang sewa.

Baru hari kedua aku sudah keluar puluhan juta untuk menopang hidup suamiku. Bagaimana kalau sudah satu tahun? Habis berapa? Aku tidak tahu apakah warisan yang aku incar nanti akan sebanding dengan biaya yang aku keluarkan.

Setelah ini, ada janji yang harus kutunaikan untuk menopang bisnis Mas Priyo. Menyewa tambahan outlet pakaian di Mal, belum lagi memberi modal untuk usaha kopi Mengheningkan Cipta.

Belum beli franchisenya saja aku sudah mengheningkan cipta dengan kejadian tadi. Apalagi sudah dibeli. Mungkin tiap hari aku ke sana untuk menghayati suramnya hidup bersama kamu, Mas Priyoooo....

"Tapi jual rumah kan gak mudah, Dek?"

"Aku punya teman agent properti. Dwi, namanya. Nanti dia yang akan mengurus penjualan rumah ini. Kalau Mas serius."

"Dia bisa diandalkan?"

"Dia rekan bisnisnya bapak."

"Bapak siapa?"

"Bapaknya Mas. Pak Broto."

"Oooh." Suamiku hanya mengangguk. Tak berkata apa-apa lagi.

"Deal ya, kita jual aja rumah ini? Demi kebaikan Mas?"

"Atur aja deh sama kamu. Aku percaya aja kalau itu yang terbaik."

Dia bangkit dari duduk dan berjalan ke kamar mandi. Lalu suara aliran air dari kran terdengar. Rupanya ia mengambil wudhu'.

Baik, kalau sudah jadi persetujuannya, aku akan hubungi Dwi segera. Biar penjualan rumah ini diurus. Semoga dia tidak berubah pikiran. Demi kebaikan dia sendiri, daripada terlilit utang rentenir. Ratusan juta jumlahnya. Gila.

Terserah kalau dia membatalkan. Asalkan ada solusi lain. Tapi kalau tidak, aku ogah hidup dalam kejaran debt collector. Lebih baik beri ultimatum saja, lunasi semua utang atau pisah.

Tiba-tiba pintu rumah diketuk lagi. Ya Allah... Siapa sekarang?

Aku bangkit dari sofa dan kemudian berjalan membuka pintu. Tampak seorang wanita dengan dua anak kecil.

"Ada Mas Priyo?" tanya wanita itu.

"Ada. Mbak siapa?"

"Saya mantan istrinya. Ini anak-anaknya."

"Ooh. Masuk mbak." Aduh aku kikuk dikunjungi mantannya suami. Ada keperluan apa ya? Apakah sekedar mengucapkan selamat atas pernikahan kami?

"Gak perlu, Mbak. Sebentar aja. Saya cuma mau nagih nafkah buat anak-anak ini. Yang bungsu akan masuk SD, butuh uang pendaftaran. Sedangkan yang besar, sudah lima bulan nunggak SPP. Mohon dibayari keperluan mereka. Kalau tidak, saya serahkan saja dua anak ini kepada Mas Priyo."

Ya Allah......

Related chapters

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Bertemu Mantannya Suami yang Tak Kalah Matre

    "Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu. "Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan. "Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu. Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?" "Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... j

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Tragedi di Rumah Mewah Mertua

    Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Rahasia Kekayaan Mertua

    "Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Ketika Suami Cari Gara-Gara

    "Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Launching Hijab Fanaya

    "Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Tragedi di Rumah Sakit

    Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Bertemu Sugar Daddy

    Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Wacana Bisnis Tekstil

    Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u

Latest chapter

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Ancaman Perpisahan

    "Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Klarifikasi

    "Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Kedekatan Suami dengan Sekretarisku

    Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Kebangkitan Bisnis Suami

    "Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Wacana Bisnis Tekstil

    Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Bertemu Sugar Daddy

    Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Tragedi di Rumah Sakit

    Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Launching Hijab Fanaya

    "Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang

  • Sengsaranya Perjuangan Mengincar Warisan Mertua   Ketika Suami Cari Gara-Gara

    "Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang

DMCA.com Protection Status