Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.
Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.
Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.
Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan bisnis mertuaku, maklum lah ia ada di sini. Dan baru aku sadar bahwa mobil yang terparkir di depan adalah mobilnya.
"Dewi? Apa kabar? Kamu ngapain di sini?" sapaku.
"Assalamu'alaikum, cantik." Ia bangkit dan merentangkan tangan untuk memelukku. Salamnya kujawab. "Aku ada keperluan presentasi properti yang mau diborong Pak Broto," terangnya.
"Yang di Leuwiliang kemaren, jadi gak?"
"Enggak, Dina. Ada masalah kepemilikan. Makanya sekarang aku mau ketemu beliau mau presentasi properti yang lain."
"Dewi, ini suamiku. Mas Priyo," aku memperkenalkan lelaki gagah yang ada di samping yang kemudian mengulurkan lengan untuk berjabat. Tapi Dewi hanya menyambut dengan dua tepalak tangan yang dirapatkan. Tak mau bersentuhan. Bukan mahrom.
"Dina, yang kamu w******p tadi malem beneran? Rumah yang kamu tempatin sekarang mau dijual?"
Aduh. Aku tidak enak hati dengan Mas Priyo yang ikut mendengar pertanyaan itu. Aku gugup. Untungnya suamiku menjawab, "Benar. Itu salah satu rumah saya. Mohon bantu dijualkan ya. Saya butuh untuk keperluan bisnis. Untuk komisinya, silakan diatur. Saya percaya aja sama Mbak Dewi."
Aku membatin, "gak salah dia bilang 'salah satu rumah saya'? Emang dia punya rumah berapa? Harus pake ngibul ya buat jaga image?"
"Iya, Mas. Mohon dilengkapi dengan foto-foto rumah dan sertifikat ya." pinta Dewi.
"Baik. Akan segera dikirim," jawab suamiku.
Setelah itu kami beranjak masuk ke dalam. Di salah satu ruangan - karena banyak sekali ruangan di rumah ini - aku bertemu dengan kedua mertuaku. Tangan mereka kugamit untuk kucium dengan takzim. Papa mertua tampak segar dengan balutan non formal. Kaus tebal berkerah warna kuning dan celana jeans biru. Tak perlu memakai jas sebagaimana yang dikenakan suamiku. Rambutnya tersisir rapi walau tak pakai minyak. "Habis renang," ujarnya. Luar biasa gagah di umur segitu.
Tak lama, papa mertua minta izin untuk menemui tamu. Ia dan Dewi melakukan meeting di ruangan lain. Meninggalkan aku dan mama mertua yang berbincang berbasa-basi.
*****
Kini anak-anak Pak Broto tengah berkumpul di sebuah ruangan yang luas, yang di tengahnya terdapat meja sepanjang enam meter, yang di atasnya terhidang makanan, buah-buahan, dan minuman. Di salah satu sisi ruangan, terpampang televisi yang ukurannya cukup besar: 146 inch. Biasanya berfungsi untuk presentasi. Di sampingnya berderet lukisan-lukisan indah dengan didominasi aliran naturalisme.
Dari rumah aku sudah mempersiapkan kalimat yang akan disampaikan bila diminta memperkenalkan diri kepada ipar-iparku. Di hadapan orang kaya aku tak boleh ketinggalan gengsi.
Agenda hari itu - diselingi dengan menyantap hidangan yang ada - adalah paparan bisnis Pak Broto kepada anak-anaknya. Termasuk rencana melepas saham di dua perusahaan yang kurang punya prospek di tengah pandemi ini. Juga rencana menutup utang yang sebentar lagi jatuh tempo dengan uang penjualan saham tadi.
Lantas, Pak Broto bercerita soal rencana pembelian properti di beberapa tempat sebagai investasi. Berbagi informasi soal perkembangan bisnis yang dijalankannya serta rencana-rencana ke depan.
Selesai, dilanjut dengan anak pertama yang kemudian berbicara soal perkembangan usaha bidang IT yang ia geluti. Krisis menerpa perusahaan-perusahaan konsultan perangkat lunak. Meski penjualan laptop dan perangkat wifi melonjak karena kebutuhan orang untuk bekerja dari rumah. Ada sisi yang menurun, ada sisi yang mendapat keuntungan.
Di ujung pembicaraan, ia menawarkan sepuluh persen saham di salah satu perusahaan miliknya kepada mertuaku yang tak perlu dipikir panjang disanggupi begitu saja. Aku heran.
Selesai, harusnya Mas Priyo sebagai anak kedua yang mempresentasikan usahanya. Aku sempat waswas, apa yang bisa ia ceritakan? Sedangkan untuk memulai bisnis saja butuh dukunganku.
Tapi rupanya lanjut ke anak ketiga. Mas Priyo tak mendapat kesempatan berbicara. Aku diam menyimpan kebingungan. Seorang wanita berdiri lantas berjalan mendekati televisi layar lebar setelah putra pertama Pak Broto duduk tanda menyelesaikan paparannya.
Di layar, kini terpampang foto-foto pertambangan di daerah Kalimantan. Juga foto-foto perkebunan di Pulau Sumatera. Wanita itu mengaku hanya menanamkan uang ke beberapa perusahaan berprospek cerah, tak sampai mengurus langsung. Sebelum ia menyudahi gilirannya, ia pun meminta mertuaku untuk membelikan beberapa porsi saham di sebuah perusahaan Kelapa Sawit di daerah Sulawesi yang baru saja IPO. Lagi, Pak Broto mengangguk setuju begitu saja.
Sekarang giliran anak ke empat. Wanita yang belum sampai usia tiga puluh tahun. Mengaku hanya ibu rumah tangga biasa namun punya beberapa properti bersama suaminya di daerah Jabodetabek. Ada rencana membeli sebuah vila di daerah Puncak dan ia meminta dukungan papa. Tentu saja diiyakan dengan mudah.
Aku sudah tidak antusias memperhatikan acara yang berlangsung. Pikiranku mengembara kemana-mana. Termasuk menerka-nerka apa yang terjadi di keluarga ini, mengapa suamiku tak mendapat dukungan sebagaimana anak-anak yang lain?
Akhirnya sampai juga giliranku. Aku diminta papa mertua untuk memperkenalkan diri sebagai bagian dari keluarga besar di rumah itu.
Perkenalan basa basi dilakukan. Kalimat yang telah dipersiapkan dari rumah pun disampaikan.
"Alhamdulillah saya pegang tiga merk jilbab terkenal. Dan dua pekan lagi akan meluncurkan brand baru. Sebagai ambassador saya rekrut artis-artis hijrah." Aku menyebut sebuah nama. Tiba-tiba pembicaraanku disela oleh putra pertama Pak Broto.
"Oh... Saya kenal orang itu. Waktu belum pake jilbab kayak sekarang, saya pernah nawar dia buat maen semalem. Waktu itu... ratenya empat puluh juta kalo gak salah. Tapi sayang saya ada urusan mendadak, gak jadi deal. Sekarang berapa ya ratenya? Udah pake jilbab harusnya lebih mahal."
Gelak tawa pecah di ruangan tersebut. "Huuu... Kacau lu Mas Pram. Paraaah," ujar adik-adiknya. Ucapan itu didengar juga oleh istrinya yang cuma tersipu malu. Ya ampun.
"Saya gak tahu urusan pribadi orang," jawabku. "Yang saya kenal, dia wanita baik-baik. Dan artis kedua adalah..." aku menyebut nama lain.
"Oh itu mah youtuber lebay. Jijik banget saya liat gayanya." Anak ketiga yang mengomentari. Diiyakan oleh anak keempat. "Ya kalo gak lebay, gak dapet uang. Gayanya udah kayak cewek murahan."
Aku menghela napas berat. Anak-anak yang lain ketika memaparkan bisnis-bisnis mereka tak ada yang dijatuhkan sedemikian rupa seperti yang aku alami. Mas Priyo pun hanya diam. Tak ada pembelaan.
"Insya Allah launching brand baru ini akan dilakukan di..." Aku melanjutkan kata-kataku.
Tapi kembali disela. "Udah, Mbak. Gak usah cerita soal bisnis. Gak ada yang nanya," ujar anak yang bungsu.
Menelan ludah, aku berhenti bicara. "Ya itu saja perkenalan dari saya," pungkasku dengan tatapan tertunduk. Habis sudah mentalku di ruangan ini. Yang paling parah adalah aku tak merasa punya ksatria yang melindungi istrinya dari rundungan orang. Lelaki necis di samping yang harusnya menjadi penjaga kehormatanku kini hanya bisa bungkam tanpa perasaan bersalah.
"Ya cukup. Sudahi saja. Jangan merasa spesial karena kamu bukan martabak," kata adiknya Mas Priyo anak ketiga.
Acara selesai. Ipar-iparku pulang. Tapi suamiku bertahan. Papa mertua mengajaknya berbincang di ruangan lain. Dan aku diminta menunggu di ruangan berbeda, melanjutkan obrolan dengan mama mertua.
Karena cukup haus, aku - dengan seizin mama mertua - berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. Di tengah jalan terdengar percakapan antara suami dan mertuaku.
"Beneran kamu mau jual rumah itu?" Aku mengenali suara itu. Milik Pak Broto.
"Iya, Pa. Aku terlilit utang empat ratus juta rupiah. Terus, aku perlu modal. Mau usaha kecil-kecilan buka warung kopi."
"Istri kamu kan pengusaha."
"Iya, Pa. Dia lebih sukses dari aku."
"Dia gak bisa bantu kamu?"
"Dia udah bayarin utang aku kemarin, empat puluh dua juta rupiah. Sama bantu sekolah anak-anak. Aku tidak enak hati kalau terlalu bergantung hidup dari dia. Jika rumah itu dijual, rencananya aku mau tinggal di rumahnya."
"Lho, emang tujuan kamu nikah buat apa kalau bukan supaya ada yang menopang bisnis kamu? Masak utang empat ratus juta aja gak mau bayarin? Ceraikan saja kalau begitu."
Apaaaaa???? Lututku lemas.
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang