Aku pikir suami yang "morotin" istrinya cuma ada di sinetron-sinetron. Tapi kini aku alami sendiri.
"Jadi gimana, dek? Mau gak bantu bisnis Mas?" Ia meminta ketegasan.
Aku menghela nafas berat. "Boleh, tapi dengan perjanjian yang jelas ya, Mas. Berapa persen porsi saham aku, berapa modal Mas."
"Kamu mau modalin berapa?"
"Aku beli franchisenya deh. Mas yang nyediain ruko sama pegawainya."
Tadinya badan suamiku sudah condong ke depan untuk menyimak berapa uang yang bisa kusumbang untuk membantu mewujudkan usahanya. Begitu mendengar penjelasanku, ia menghempaskan punggungnya ke belakang.
"Kenapa, Mas?"
"Saya pikir kamu akan back up penuh."
"Saya juga punya prioritas bisnis, Mas. Aku lagi butuh uang buat peluncuran brand baru."
"Apa gak bisa mendahulukan kepentingan suami?"
"Nanti ya kita bicarakan setelah event dalam waktu dekat ini selesai."
"Pelit banget, sih." Mas Priyo melengos. Lantas beranjak dari sofa untuk masuk ke dalam kamar dengan wajah ditekuk. Meninggalkan aku yang kebingungan.
Aku berjalan mengikutinya dari belakang. Di dalam bilik, ia sedang berbaring tengkurap dengan merebahkan kepala di atas kedua tangannya. Aku duduk di pinggir kasur. Membelai-belai punggungnya mencoba menghibur.
"Mas, modal seratus juta itu kecil. Aku cuma minta waktu buat ngeluarin uang. Mas gak tahu ya, aku sudah nyiapin modal buat tambahan sewa space outlet pakaian Mas di mal."
Ia pun bangkit dari duduk. "Beneran, Dek?"
"Iya. Uangnya udah aku siapin sebelum nikah."
Mata Mas Priyo berbinar. Jangankan tambah space, bahkan rencananya ia akan menutup satu-satunya outlet pakaian miliknya yang bertahan di sebuah mal di Jakarta. Bukan karena kurang laku, tapi demi menutup utang atas kegagalan bisnis yang lain.
"Oh gitu. Ya ampun, Dek. Kamu sayang sama aku ya?" Tangannya meraih kepalaku untuk didekap ke dadanya.
Aku tersanjung. Rasa sayang diukur dari mau modalin bisnis atau tidak. Sungguh ungkapan cinta yang lain dari biasanya. Ada uang, adek disayang. Tidak ada uang, adek ditendang. Yeee kutu aeeeer...
"Tapi sabar ya, Mas. Kita bisa eksekusi rencana-rencana bisnis kita setelah event launching brand jilbab baru yang sedang aku siapin. Tenaga, waktu, dan modal aku lagi tersedot ke situ semuanya. Kalau sudah selesai, ayo kita bareng-bareng buka warung kopi... Apa itu mas namanya?"
"Oh. Yang franchise tadi?"
Aku mengangguk.
"Mmm... Namanya Kopi Mengheningkan Cipta," jawab Mas Priyo.
What??? Apa gak ada nama lain yang lebih aneh? Biasanya brand kopi punya nama keren-keren. Janji Jiwa, Kenangan, dll. Lah ini... Mengheningkan Cipta???
"Bagus ya Mas, namanya? Aku bayangin di kedai kopi bakal diputer dua puluh empat jam lagu 'dengaaan seluruuuuh... angkaasaa raayaa memuuji... pahlawan negaraa...'"
Tidak disangka Mas Priyo ikutan bernyanyi. "Nan guuuugur remaaaja. Diribaan bendeeera bela nusa bangsa." Sampai selesai. Jadilah itu duet kami yang pertama. Lagu nasional!!! Silakan pembaca tepuk tangan.
"Betul," ujar Mas Priyo percaya diri. "Nasionalis banget ya kopinya? Pasti akan membuat anak muda yang nongkrong di situ punya semangat membela negara. Karena negeri ini terlalu kaya untuk dibiarkan terbengkalai oleh anak bangsa. Bismillah komisaris."
Aku mengangguk-angguk.
Mas Priyo beranjak dari kasur. Seperti baru saja menyerap tenaga yang luar biasa untuk beraktifitas kembali. Senyumnya sumringah.
"Dek, jogging yuk muter-muter komplek."
"Aku masih capek, Mas. Mau rebahan dulu," jawabku sambil menggeliat.
"Ah kamu. Masa penganten baru kita masih lama. Masak baru sehari aja udah capek." Ia pun mengenakan pakaian olahraga dan sepatu. Oh iya, juga masker. Lantas pamit. "Dah, Sayaaang... Mas mau jogging dulu. Kamu jangan kangen ya."
"Hahaha... Hati hati, Sayang. Jangan jauh-jauh. Nanti kalo udah sampe Timbuktu, muter balik ke rumah ya," tanganku melambai-lambai.
Selagi suamiku di luar, aku memasak bahan-bahan yang tersedia di kulkas setelah puas berbaring sejenak. Sebagai orang yang hidup sebatang kara, aku tertempa untuk mandiri. Aku pandai masak sejak SMP. Memulai bisnis dari berjualan makanan. Sukses. Lalu beralih ke usaha lain yang untungnya lebih besar.
Tentu saja ada pasang surut dalam berwirausaha. Ketika usahaku sedang jatuh, berjualan makanan adalah usaha andalan untuk bangkit. Sebenarnya, bagiku memasak itu lebih kepada hobi daripada dijadikan sandaran untuk bisnis.
Kini aku memegang tiga merk jilbab terkenal, dan bersiap meluncurkan brand baru dua pekan lagi. Hampir semuanya sudah siap. Dua artis nasional yang terkenal dengan jalan hijrahnya telah bersedia menjadi ambassador. Segmen "mamah muda" siap digarap dengan citra bahwa jilbab ini pengangkat gengsi dan simbol kemapanan. Slogannya: Hijrah, Syar'i, dan Modis.
Aku mengenal Mas Priyo ketika dia masih punya lima outlet pakaian di lima mal berbeda. Karena bisnisku pakaian wanita, aku hanya punya sedikit rekanan pria. Dia salah satunya. Juga satu-satunya yang jomblo dan melakukan pendekatan kepadaku. Makanya dia tidak punya pesaing.
Pendekatan yang tak terlalu lama, Mas Priyo sebulan lalu berani terus terang meminangku.
"Mbak Dina, kan sudah lama menjanda. Apa tidak punya keinginan berumah tangga lagi? Bagaimana kalau kita menikah saja, Mbak?" Tanyanya saat dia masih memanggilku "mbak" dan aku memanggilnya "dek". To the point sekali.
Aku yang sudah tahu latar belakang orang tuanya yang kaya raya, perlu tiga hari mempertimbangkan. Termasuk mematangkan strategi mendapatkan warisan. Akhirnya aku terima.
Kami bersepakat akan tinggal di rumah Mas Priyo di sebuah komplek di pinggir Jakarta. Rumahku rencananya akan dikontrakkan. Untuk sementara sekretarisku yang bernama Yuni menempatinya.
Karena belum terlalu kenal, maka aku harus bersiap menghadapi kejutan-kejutan dari perilaku dia yang tidak aku duga. Termasuk matre, mudah ngambek, dan romantis. Entah apa lagi sifat yang belum tampak. Turbulensi akan kencang beberapa waktu ke depan.
Sudah empat puluh limat menit Mas Priyo jogging. Udang balado kesukaannya pun sudah lama siap. Porsi untuk dua orang lebih dari cukup. Aku menunggunya sambil bermain gawai.
"Assalamu'alaikum, Sayang."
Ah itu dia suara suamiku. Aku berjalan ke depan menyambutnya hangat sembari menjawab salam.
"Mandi dulu sana, Sayang," ujarku.
"Hmm... haruuum." Hidungnya mengendus sampai kepalanya terangkat ke atas. Mas Priyo nyelonong ke dapur.
Aku mengikuti dari belakang. "Iya dong. Udah aku siapin makanan kesukaan Mas."
"Beruntungnyaaa aku menikah sama kamu."
Baru saja Mas Priyo bersiap untuk duduk di depan meja makan, tiba tiba pintu rumah diketuk. "Selamat sore," terdengar suara beberapa orang.
Aku buru-buru mengambil jilbab terdekat lalu ke depan menyambut tamu. Siapa mereka?
Sekitar lima atau enam orang berbadan besar, berkacamata hitam, dan aura yang menakutkan sedang berada di teras. Aku membuka pintu. Saat mereka bertanya apakah ada Bapak Priyo di rumah, kujawab jujur dan meminta mereka menunggu di luar sebelum kupersilakan masuk. Aku kembali ke dapur menemui suamiku. Tapi ucapanku tidak diindahkan. Mereka menyerbu ke dalam tanpa membuka sepatu.
"Aduh, Dek. Mereka debt collector," bisik Mas Priyo. Mukanya pucat pasi. Badannya tetiba gemetar.
"Hah?" Aku terkejut.
"Selamat sore Pak Priyo. Kami cuma mau bertanya niat baik bapak untuk membayar utang kepada PT Ngeribanget Finance sejumlah empat puluh dua juta. Apa bisa dibayar sekarang juga, Pak?"
Mereka tanpa sopan santun berhamburan lebih jauh ke dalam. Ada yang langsung duduk di sofa, ada yang mendekat ke bufet melihat-lihat barang yang dipajang, dan tiga orang mendekat ke Mas Priyo sehingga jarak mereka terlalu intim. Aku bersembunyi di belakang suamiku. Suasana mencekam di dalam rumah.
"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal."Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat."Sekarang aja, Pak. Kami tunggu.""Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu
"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu. "Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan. "Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu. Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?" "Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... j
Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang