"Apa-apaan ini, Mas? Baru malam pertama kamu sudah berani menampar aku?" tanyaku.
Mas Priyo tergagap. "Oh. M... Maaf, Dek. A... Aku gak sengaja."
"Gak sengaja gimana? Tangamu mengayun ke mukaku, lho." Alisku berkerut. Tanganku mengelus-elus pipi yang panas.
"Aku ga bermaksud menampar, cuma mau menepis pelukan kamu, Dek."
"Kalau menepis ya harusnya gerakan Mas seadanya. Kenapa tangan Mas bergerak terlalu berlebihan hingga mengenai wajahku?"
"Aku minta maaf. Aku salah, tidak sengaja. Maaf ya. Sudah, kamu jangan marah."
"Jangan marah bagaimana? Ini malam pertama lho, dan kamu sudah berani berlaku kasar. Gimana kalau usia pernikahan kita sudah sekian tahun?"
Aku membalikkan punggung membelakanginya sembari memeluk guling. Malam pertama yang suram. Tak dapat kutahan sebulir dua bulir air yang mendesak mengalir di ujung mata.
Kini giliran ia yang merangkul dan membelaiku sembari mengucapkan kata maaf. Tak kugubris.
Semalaman aku hanya menangis sampai terlelap. "Gini banget ngincer warisan orang," pikirku. Tampaknya bukan cuma harta yang harus terkorban, tapi juga fisik. Hanya saja, kalau korban uang aku masih bisa sabar. Tapi kalau sudah ada kekerasan dalam rumah tangga, aku tak mau meneruskan.
Kalau harus bercerai cepat dengan lelaki itu, biarlah. Asal badan dan mentalku tidak sakit menghadapi kelakuannya. Uang yang sudah terlanjur keluar anggap saja kerugian dalam investasi. Aku sudah terbiasa menghadapi risiko.
Lihat besok. Kalau dia sekali lagi bersikap kasar sampai mencederai fisik, aku tak ragu lagi menggugat cerai.
*****
Setelah malam yang buruk, aku mempertahankan sikap dingin pada keesokan harinya. Pagi itu aku berangkat ke kantor tanpa adegan romantis layaknya penganten baru. Tak ada pamitan, apalagi cium tangan.
Rencana berdua-duaan selama tiga hari aku rusak. Tanpa bicara sepatah pun, kupacu mobil menuju tempat kerja.
Notifikasi muncul di gawai atas sebuah pesan w******p dari Mas Priyo. Terbaca tulisannya, "Kamu masih marah, Dek? Maaf ya." Tapi tak aku buka pesan itu. Biar saja centang dua abu-abu entah sampai kapan.
Tiba di kantor, para pegawai kaget melihat aku tiba. Mereka tahunya aku mengambil cuti selama tiga hari. Menyembunyikan masalah yang ada, aku pasang wajah ceria di hadapan mereka. Dengan senyuman aku menyapa satpam, office boy, dan juga sekretaris.
"Eh ibu... Kok masuk?" tanya sekretaris dari cubiclenya yang berada di depan ruanganku.
"Iya. Mendadak ada kontrak yang harus diurus," aku menjawab ngasal.
"Gimana bu rasanya jadi penganten baru lagi?"
"Hahaha... Gak bisa diceritain, Yun. Aku doain kamu segera ngerasain deh," kataku sambil membuka pintu ruangan, menyalakan AC, lalu menghempaskan tubuh ke kursi. Sekretarisku ini masih gadis. Padahal usianya sudah kepala tiga.
Belum bisa segera bekerja. Harus mengembalikan mood.
Caranya?
Curhat saja kali ya. Mudah-mudahan bisa melegakan rasa kesal di dada.
Dari phone book aku pilih nomor Dewi. Tersambung.
"Assalamu'alaikum, penganten baruuu.... Seger banget nih kayaknya. Ada apa pagi-pagi udah nelpon?" Suara di seberang.
"Wa'alaikumussalam, Dewi. Kamu sibuk?"
"Ah, ga ada kesibukan lain kalau sudah ngobrol dengan kamu. Ada apa Din?"
Aku menarik napas panjang. "Tadi malem aku ditampar sama Mas Priyo."
"Astaghfirullah. Gimana ceritanya?"
"Tadi malem kan aku pulang telat. Memang salah aku sih, janji pulang jam 7 tapi sampai rumah jam setengah sepuluh. Dia marah. Terus aku ditampar."
"Ya Allah. Kok gitu ya?"
"Baiknya gimana ya, Dewi?"
"Gimana apa?"
"Aku takut ga sanggup meneruskan pernikahan ini kalau memang itu karakter dia."
"Wah, cepet banget kamu punya pikiran begitu. Dia gak minta maaf?"
"Minta maaf. Katanya gak sengaja. Memang aku peluk dia dari belakang, terus tangan dia menepis. Eh, kena wajahku deh."
"Ooooh... Dinaaaa... Ya beneran gak sengaja itu mah. Insya Allah Mas Priyo gak kasar orangnya. Soalnya aku lihat Pak Broto itu orangnya lembut sama istrinya."
Aku mengernyitkan dahi. "Emang kamu kenal dekat sama mertuaku, Dewi?"
"Hehehe... Maaf selama ini aku gak cerita sama kamu. Ya cukup sering interaksi, Din. Sekarang-sekarang ini aku yang makelarin tanah yang mau beliau beli di daerah Leuwiliang, Bogor."
"Oh gitu. Beli tanah lagi?" Mulutku menganga. Mulai ada rasa ragu untuk menyelesaikan pernikahan ini terlalu cepat. Terbayang harta warisan yang menanti di salah satu titik di lorong waktu kehidupanku.
Tanah... Mobil... Deposito... Perhiasan... Mereka sedang menunggu. Harus aku hampiri dengan sepenuh rasa sabar.
"Iyaaa. Biasalah pebisnis tulen. Entah tanah ke berapa itu yang dia punya. Kamu beruntung deh punya mertua kaya raya."
"Yeee... Kata siapa. Kan itu harta mertua. Aku belum tentu nikmatin, Dewi."
"Setidaknya itu kan bakal jadi warisan untuk suami kamu. Hehehe..."
Astaga Dewi. Kok bisa berpikiran begitu? Tapi ya wajar. Kami begitu dekat sebagai sahabat. Tentu dia sudah paham karakter aku yang matre. Hehehe....
"Ah kamu, Dewi. Bisa aja. Pernikahan aku bakal bertahan lama aja belum tentu."
"Bertahan apa enggaknya tergantung kamu. Kalau kalian berdua punya kesabaran yang luas dan mudah memaafkan satu sama lain, insya Allah pernikahan itu bakal langgeng. Makanya luruskan niat menikah karena Allah. Insya Allah sabar dan maaf bakal dapat pahala.
Kata siapa gitu... pernikahan itu fakultas kesabaran di universitas kehidupan."
"Ah, kamu selalu keren kalo udah menasehati, Dewi. Ya udah, makasih ya. Aku curhat ke kamu mau mengembalikan mood. Sekarang denger suara kamu udah balik lagi nih mood aku. Mau kerja lagi."
"Alhamdulillah kalo gitu. Lah, kamu kerja?"
"Iya. Ga jadi rencana di rumah doang selama 3 hari gara-gara kejadian tadi malem. Makasih ya, Dewi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Aku menggeser tombol berwarna merah dengan icon gagang telepon yang ada di layar handphone untuk menyelesaikan pembicaraan.
Mudah-mudahan benar, Mas Priyo tidak sengaja bersikap begitu tadi malam. Mudah-mudahan benar, Mas Priyo santun seperti bapaknya. Untuk apa aku biarkan masalah ini berlarut-larut? Membuat hati capek saja. Lebih baik aku buat suasana menjadi hangat kembali. Dengan begitu, aku bisa menunggu wafatnya mertuaku dengan mental yang terjaga.
"Iya, Mas. Aku maafkan. Tapi mohon jangan kasar lagi sama aku," sebuah pesan terkirim.
Sekitar dua menit baru ada balasan darinya. "Aku janji gak akan kasar sama kamu. Aku sayang kamu. Sekarang kamu dimana? Pulang dong, Dek. Mas kangen."
"Di kantor. Iya, aku pulang Mas."
Baiklah. Demi awetnya rumah tangga sampai waktu yang dinanti tiba, aku harus terus menjaga suasana di antara kami kondusif. Bersegera aku pulang ditingkahi pertanyaan nakal dari sekretaris, "Wah cepet amat bu? Penganten baru pengennya buru-buru pulang ya. Hehe..." Hanya senyuman sebagai jawaban.
*****
Mendengar suara gerungan mobil, Mas Priyo gegas keluar dengan menggenggam sekuntum bunga di tangan. Aiiih.. romantisnya.
Di teras ia sambut aku dengan tangan yang merentang terbuka. Saat itulah pertama kalinya kurasakan dekapan hangat dari suami baruku. Kata maaf terucap sekali lagi. Dan keindahan suasana pengantin baru yang sedianya kami nikmati malam tadi, bergeser di siang hari ini.
Memasuki sore, kami duduk berdampingan bersentuhan bahu di sofa empuk berwarna merah di ruang tamu dengan kesibukan bersama gawai masing-masing. Sama sekali tak tahu bahwa waktu sibuk berlari.
Tiba-tiba ia membuka tema baru. "Dek, ini kayaknya prospek bagus nih buat bisnis," ujarnya sambil melihat gawai. Dari layar, tampil video presentasi sebuah usaha.
"Bisnis apa, Mas?" Kepalaku condong ke arahnya untuk mengintip apa yang tersaji di gawai.
"Jual minuman yang lagi ngetrend. Punya teman aku lagi naik daun. Nama brandnya mulai terkenal di mana-mana. Udah buka 15 franchise di Jabodetabek."
"Wah, bagus dong."
"Iya. Aku mau ikutan ah. Mau beli franchise dia."
"Kalo Mas yakin, jalanin aja. Aku dukung."
"Bener kamu dukung?"
"Ya iya dong, Mas. Aku kan istri kamu. Masak iya sih gak dukung bisnis suami sendiri."
"Alhamdulillah kalo gitu. Soalnya aku perlu modal nih buat beli franchisenya. Juga sewa ruko dan gaji pegawai yang nungguin outlet. Bisa bantu kan, Dek?"
Aseeeem. Jadi ini aku lagi ditodong nih buat modalin bisnis dia? Ampun dah, baru aja sayang-sayangan. Ujungnya malah begini.
"Emang berapa dia masang harganya, Mas."
"Tiga puluh lima juta."
"Wow. Mahal ya, Mas. Terus Mas mau jualan di mana?"
"Maklum, dek. Cabangnya lagi menjamur di mana-mana. Makanya dia berani patok harga segitu. Mas sih berencana jualan di deket kampus yang di perempatan jalan itu lho," tangannya menunjuk ke satu arah.
"Oh. Ruko di situ kan mahal-mahal sewanya."
"Ada yang 65 juta setahun."
Aku diam. Bingung. Masak iya sih harus keluar uang segitu banyak?
"Gimana dek."
Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Jadi gak mau dukung bisnis, Mas?" tanyanya.
Duh, gimana ini?
*****
Aku pikir suami yang "morotin" istrinya cuma ada di sinetron-sinetron. Tapi kini aku alami sendiri. "Jadi gimana, dek? Mau gak bantu bisnis Mas?" Ia meminta ketegasan. Aku menghela nafas berat. "Boleh, tapi dengan perjanjian yang jelas ya, Mas. Berapa persen porsi saham aku, berapa modal Mas." "Kamu mau modalin berapa?" "Aku beli franchisenya deh. Mas yang nyediain ruko sama pegawainya." Tadinya badan suamiku sudah condong ke depan untuk menyimak berapa uang yang bisa kusumbang untuk membantu mewujudkan usahanya. Begitu mendengar penjelasanku, ia menghempaskan punggungnya ke belakang. "Kenapa, Mas?" "Saya pikir kamu akan back up penuh." "Saya juga punya prioritas bisnis, Mas. Aku lagi butuh uang buat peluncuran brand baru." "Apa gak bisa mendahulukan kepentingan suami?" "Nanti ya kita bicarakan setelah event dalam waktu dekat ini selesai." "Pelit banget, sih." Mas Priyo melengos. Lantas beranjak
"Bagaimana, Pak? Apakah ada niat baik membayar utang yang sudah jatuh tempo kemarin?" tanya salah seorang penagih yang bertubuh paling besar dengan nada intimidatif. Wajahnya rapat di hadapan suamiku. Aroma rokok berhembus sampai jarak beberapa meter dari mulutnya yang tak tertutup masker. Bagaimana bila ia mengidap Corona?Perutnya buncit. Mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang dibuka tiga kancing atasnya, bulu dada menyembulnya menambah kesan angker. Kacamata hitam digantung di atas ubun-ubun ditopang rambut yang ikal."Iii.. Iya. Sss.. Saya akan bayar. Tapi minta waktu beberapa hari lagi. Uangnya akan saya siapkan." Aku bisa melihat getaran kaki Mas Priyo. Tangannya menggenggam erat jubahku yang berdiri di belakang. Pita suaranya bergetar hebat."Sekarang aja, Pak. Kami tunggu.""Saya baru saja menyelenggarakan acara pernikahan kemarin. Masih sibuk beres-beres. Paling lama tiga hari lagi lah, sudah saya bayar." Kedua telapak tangan Mas Priyo menyatu
"Baiknya Mbak langsung saja bicara dengan Mas Priyo. Silakan masuk dulu, Mbak." Aku memasang senyum terbaik, berbicara sehalus mungkin, bersikap ramah maksimal. Namun ia memalingkan muka tak mau melihat wajahku. "Gak apa-apa, di sini aja," jawabnya. Tak lama kemudian suamiku keluar dari kamar mandi dan menuju ruang depan. Dilihatnyalah mantan istri dengan dua anaknya berdiri di depan pintu. "Ani?" gumamnya. Lantas seraya membungkuk, ia memanggil anak-anaknya,"Eka, Dwi... Kalian apa kabar? Papa kangeeen..." Mas Priyo membentangkan tangan. "Papaaa..." ujar mereka sembari berhamburan ke dalam menuju pelukan ayahnya. Kecupan mesra dan belaian penuh sayang melengkapi pertemuan itu. Aku membiarkan momen ini terjadi, tak mau menginterupsi keadaan. Dan setelah puas melepas rindu, Mas Priyo pun bertanya kepada mantan istrinya. "Ada apa kamu kemari, Ani?" "Aku mau nagih uang sekolah anak-anak," jawab gadis... eh sudah tidak gadis lagi... j
Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan
"Aku sayang sama dia, Pa. Aku nikahin dia bukan ngincer uangnya. Tapi karena suka sama orangnya," itu jawaban suamiku.Seakan-akan nyawaku sempat tercabut sebentar lalu kembali lagi ke jasad. Tersanjung luar biasa mendengar pembelaan dari Mas Priyo. Gini kek dari tadi. Kemana dia pas aku dibully saudara-saudaranya?"Good. Kalau karena itu motivasi kamu menikah, semoga tidak ada ribut-ribut soal uang di rumah tangga kamu." Ucapan itu tak kalah melegakan. Jadi perintah cerai dari papa mertua tadi tidak sungguh-sungguh.Itu kalimat terakhir yang aku dengar karena tak mau nguping lama-lama. Nanti mama mertua curiga mengapa aku tak kunjung balik menemaninya berbincang.Bergegas aku ke dapur untuk mengambil minuman lalu berjalan kembali menemui mama mertua yang tengah duduk bersandar di sofa kulit sembari membaca sebuah majalah. Aku duduk rapat di sampingnya."Kok agak lama?" tanyanya."Iya, Ma. Aku sambil liat-liat isi rumah ini. Aku kagum, Ma. M
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Ada apa, Yun? Kenapa jadi salah tingkah begitu?" tanyaku.Ia menunduk dalam. Tangannya mengaduk-aduk sendok yang ada di dalam gelas. Lama dia hening.Para pelayan restoran hilir mudik di sisi kami. Dan suara pengunjung riuh rendah di ruangan yang mulai dipenuhi orang saat jam makan siang."Jujur aja, sedekat apa sih kamu dengan suamiku?""Maafkan aku, Bu," jawabnya dengan suara bergetar, membuat aku semakin curiga. Yuni menggigit bibir bawahnya."Ada apa? Kenapa kamu minta maaf? Kamu melakukan kesalahan? Kamu sudah ngapain aja dengan dia?" Badanku condong ke depan dan kedua tanganku terlipat rapi di atas meja. Dengan posisi begitu mungkin ia merasa semakin diinterogasi."Gak ada. Paling jauh cuma diajak temenin minum di coffe shop. Aku diminta ngurusin pembukuan keuangan.""Oh, Mas Priyo ngasih kerjaan ke kamu. Terus kenapa kamu harus minta maaf?""Karena aku takut Ibu cemburu.""Ya kalo cuma sekedar membantu pembukuan
"Apa maksud Mbak? Apa Mas Priyo sudah menikah kembali dengan Mbak?" tanyaku, ingin meminta kejelasan kata-katanya yang kontroversial."Kata siapa?" jawabnya.Lho, gimana sih ini orang? Bicaranya mencla-mencle."Kok lagi-lagi jawaban Mbak 'kata siapa' sih? Saya butuh klarifikasi, apakah status Mbak sekarang masih sebagai mantan istrinya Mas Priyo, atau sudah menikah lagi? Mohon dijawab," tanyaku meminta kepastian."Ya kamu tebak aja sendiri. Pokoknya saya cuma mau peringati kamu, kalau si pembantu itu tidak boleh dekat-dekat Mas Priyo. Jangan dikira kamu sendirian mengincar warisannya Pak Broto ya."Kalimat itu membuatku tersentak. Ia terang-terangan menuduhku sesuatu hal yang ... Ya, memang benar sih. Kok dia tau ya?"Eh, jangan sembarangan ya, Mbak. Siapa yang mengincar warisan Pak Broto?""Halah, gak usah munafik. Sekarang urusi saja pembantumu itu."Telepon dimatikan olehnya. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kesal. Orang
Jarum jam di dinding ruang tamu bergerak dengan irama teratur dan tengah membentuk sudut yang menunjukkan pukul sepuluh. Malam hari, ketika tubuh telah saatnya diberi istirahat melepas penat yang berhimpun sejak siang.Tapi kenyataannya kini aku masih terjaga sembari menjulurkan kaki di sofa abu-abu di ruang tamu menanti suami pulang. Padahal energi mata sudah tinggal lima watt. Ketika aku mengeluh, Yuni yang menemaniku berkata, "Tidur dulu aja bu. Nanti saya yang bukain pintu kalau Mas Priyo sudah pulang."Aku lihat gadis tinggi semampai itu masih asyik dengan gawainya. Mungkin melihat-lihat video lucu karena sesekali ia tertawa. Aku tak tahu apa yang ia dengar karena ada earphone terpasang di telinganya. Mungkin bermain media sosial karena jarinya aktif mengetik. Sementara aku sudah jengah dan ingin segera tertidur.Aku coba sekali lagi, mungkin terakhir di malam ini, menanyakan kapan suamiku pulang. Dalam posisi berbaring aku mengangkat gawai ke atas dan meng
"Saya ada rencana maju pilkada di kota Palembang. Atas saran Pak Broto, saya mau membagikan kerudung gratis ke majelis-majelis taklim di sana. Dihitung-hitung butuh sekitar sepuluh ribu potong. Nah, saya bisa meminta Ibu Dina membantu pengadaannya? Kualitas yang biasa saja, tidak perlu yang bagus."Waduh. Orang seperti ini ingin menjadi pejabat? Kalau menang, bagaimana nasib rakyatnya? Ya, mungkin aku salah karena menilai orang dari luar. Tapi laki-laki yang punya simpanan wanita muda biasanya tidak punya integritas yang baik. Benarkah begitu? Apalagi sugar babbynya terlalu dimanja sampai dibelikan rumah seharga dua milyar.Astaghfirullah, aku terlalu mudah menghakimi. Siapa tahu wanita tersebut sudah dinikahi secara sah. Siapa tahu dia seorang pengusaha sukses yang tak perlu lagi korupsi untuk biaya memelihara wanita muda."Oh begitu. Bisa sekali, Pak." Aku melepas senyum sumringah.Sepuluh ribu buah kalau aku ambil keuntungan sepuluh ribu rupiah satu he
Setelah Mas Priyo boleh pulang dari rumah sakit, dua hari kemudian papa mengundang anak-anaknya untuk bertemu di sebuah restoran - bukan di rumahnya seperti biasa. Di keluarga suamiku memang tak ada jadwal khusus untuk berkumpul, tergantung kapan papa ada hal yang ingin dibacarakan.Lalu apa topik kali ini? Kabar yang aku dengar tentang rencana papa berinvestasi ke perusahaan tekstil meski bukan pabrik besar dan entah berapa persen yang akan ditanam. Klop sekali dengan informasi dari Pak Sunoto tempo hari.Indah sekali bisa bersinergi dengan mertua sendiri. Ia bermain di industri hulu, sedangkan aku di hilir. Ia akan menyuplai barang baku, dan aku yang memproduksi jilbab dan memasarkannya. Kalau ia punya pabrik sendiri, aku berharap akan bisa mendapat bahan yang lebih murah. Sehingga bisa menambah margin keuntungan, atau mengurangi harga jual.Itu hanyalah satu langkah awal. Selanjutnya kalau kolaborasi ini terlaksana dengan baik, aku bisa menawarkan kerjasama u
Gawaiku berdering dan menampilkan nomor yang tak kukenal ketika dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Memastikan jalur yang kutempuh tidak ada kamera tilang elektronik, akupun menjawab panggilan tersebut sembari menyetir mobil. Ada orang yang memperkenalkan diri dengan nama Sunoto. Bermaksud ingin datang melihat-lihat rumah yang sedang dijual. Ya aku ingat. Dia yang ditelpon papa tadi sore. "Boleh. Mau kapan ke rumah?" tanyaku. "Malam ini bisa?" Cepat sekali. Tidak umum melihat rumah malam-malam. "Silakan. Jam berapa kira-kira?" "Saya jalan jam setengah tujuh. Mohon share location ya." "Baik, Pak." Pembicaraan diakhiri. Tak lupa aku telepon Dewi untuk memberi tahu bahwa ada calon pembeli yang bersedia dengan tawaran lebih tinggi lima ratus juta rupiah dari harga yang ditetapkan. Dia agak terkejut, karena sampai sekarang belum dapat orang yang tertarik menghubunginya. Lalu aku ceritakan bahwa yang berminat ini rekana
Kencang kupacu mobil menuju rumah sakit tanpa mengindahkan bunyi klakson marah pengemudi lain di jalanan. Bahkan ada pengendara motor yang menggebrak pintu belakang. Hasilnya, perjalanan empat puluh lima menit dipangkas jadi tiga puluh menit.Namun sesampainya di rumah sakit, aku dikagetkan dengan keberadaan mantan istrinya Mas Priyo sedang duduk di samping ranjang suamiku yang terbaring di kamar kelas satu. Kenapa bisa dia hadir lebih dulu dari aku? Apakah dia yang pertama mendapat info?"Eh, ada Ani," ujar mama mertua dengan senyum merekah. Dijawab dengan anggukan dan sapaan basa basi.Bibir Mas Priyo pecah. Matanya bonyok. Memar-memar di sekujur muka dan badan. Aku tidak sampai hati melihat ia begitu. Namun kesedihanku terganjal dengan keberadaan mantannya yang parahnya lagi, begitu melihat aku tiba, ia makin over acting.Seolah bermaksud pamer kemesraan, ia memegang piring sembari menyuapkan sendok berisi nasi dan sayur ke mulut suamiku. "Makan yang b
"Aku tidak mau dipoligami, Ma," kataku dengan suara bergetar. Dadaku serasa dihimpit batu berton-ton beratnya. Mencoba menjaga konsentrasi saat mengemudi."Ya, namanya juga wanita..." balas orang di sampingku."Mama kan juga wanita. Pasti bisa mengerti perasaaanku dong. Kalau memang Mas Priyo ingin kembali ke istrinya, kenapa menikahi aku?""Ya, namanya juga laki-laki..."Ini kenapa perkataan mama cuma "namanya namanya" melulu?"Aku tidak keberatan mengasuh anaknya. Apalagi aku sudah divonis mandul oleh dokter. Aku juga ingin merasakan punya buah hati. Karena itu aku siap jadi ibu yang baik. Biarlah kedua anak Mas Priyo tinggal bersamaku. Asal jangan dipoligami dengan alasan anak. Aku keberatan, Ma.""Ya namanya juga wanita."Sudahlah aku malas bicara lagi dengan orang ini.*****Tamu undangan hadir semua. Termasuk pengisi acara: Daud Voice, artis-artis hijrah, desainer dan model-modelnya, serta seorang ustadzah kondang
"Hahaha. Memangnya mama mau dipoligami?" Suamiku tertawa lepas tanpa beban seolah tak mempedulikan perasaanku. Terdengar suara anak kecil dengan volume yang direndahkan setengah berbisik. "Ma, kata papa, mama mau dipoligami?" Aku tak menangkap suara orang dewasa. Mungkin dijawab dengan anggukan karena kemudian salah seorang anak itu berkata, "Mama mau, Pa." "JANGAN KURANG AJAR YA, MBAK. AKU SEKARANG LAGI DI SAMPING MAS PRIYO. JANGAN NGOMONG SEMBARANGAN...! KAMU MAU JADI PELAKOR?" Amarahku meledak sejadi-jadinya. Ia tak tahu bagaimana ratu lebah mengamuk karena terusik? Ia tak tahu bagaimana singa menggila saat ada yang melanggar wilayahnya? Saat ini Mas Priyo adalah sarang, rumah, area, mahkota, dan harga diriku. Mencoba merebutnya berarti membuka konfrontasi dengan Dina si ratu lebah. "Tenang dek, kita cuma becanda," suamiku coba menenangkan. Tapi kontras karena suara perempuan dewasa di seberang malah menyerang balik, "Kamu tuh yang