“Jujur gue kaget sih lo juga nanya ke Bang Luigi, lo sekarang suka juga?” tanya Choki saat melihat Arai memasukkan permen pink ke dalam saku jaketnya.
“Enggak sih, gue cuma butuh buat bobo aja, kepala gue pusing banget. Gue pengen tidur seharian,” sahut Arai sambil tersenyum tipis.
“Iya, beda-beda efeknya ke orang emang bro. Kalo gue kaya nge-fly tipis-tipis gitu. Bener sih pusing jadi ilang. Makanya gue demen.”
“Nah itu yang gue cari sih, Chok,” kata Arai. “Tar weekend gue nggak ke mana-mana deh. Bokek juga gini.”
“Lo nggak ngapel lagi?”
“Nggaklah, ke rumah dia juga butuh bensin kali!”
“Hahahahaha. Pokoknya kalau Matari ngambek, bukan salah gue ya.”
“Lo nggak usah sok ngasih saran sama gue, Chok. Prihatin sama hidup lo, sekarang lo jarang banget jajan di kantin. Lo nggak laper kan? kita pulang aja udah jam 3 sore lho.”
&
“Ri, gue sama Praja mau ngomong sama lo. Nanti sore, bisa nggak lo ikut gue ke rumah?” tanya Hafis. “Sekalian ngerjain tugas Akuntansi, mungkin? Kita satu kelompok kan di tugas buku besar kali ini?”“Iya, satu kelompok, sama Dinda juga,” sahut Matari. “Dinda, lo nanti bisa ke rumah Hafis?”“Bisa, tapi gue agak telat ya. Lo tahu sendiri, gue harus ngejagain adek gue dulu sampai tetangga gue pulang kerja, biar bisa dititipin sama dia. Gimana?” sahut Dinda dari kursinya.“Eh, pada mau ngerjain tugas Akuntansi ya?” tanya Ayla menyerobot pembicaraan. “Ikut dong!”“Emang tugas lo udah? Lo sekelompok sama siapa sih?” tanya Dinda.“Sama Santi, terus lupa 2 cowok laennya. Hahaha,” jawab Ayla tak peduli.“Trus, lo nggak ada rencana mau kapan kerjain tugas sama mereka?” tanya Dinda.“Belum dibahas sih. Nggak tahulah, gue
Hafis baru saja selesai mandi saat kembali ke ruang kerja di mana Matari dan Praja masih bekerja bergantian menghitung Akuntansi dengan benar. Wajah keduanya tampak kusut. “Ya ampun, muka kalian, susah bener emangnya?” tanya Hafis. “Nih, coba lo kerjain. Kita udah puyeng. Dinda mana sih?” timpal Praja. “Biar kepalanya yang ngitung nggak 3 orang doang nih.” “Belum jalan. Tetangganya belum balik. Tapi tenaaaang, nanti kita panggil salah satu penjaga rumah gue. Kayanya ada yang anak Akuntansi deh. Bentar ya. Sebelum itu rehat dulu guys, nih snacknya dimakan. Jangan dianggurin!” seru Hafis. “Nah, boleh tuh. Ri, kalem dulu. Gue mau ke toilet juga,” kata Praja sambil beranjak. Matari meletakkan pensilnya kemudian mengucek-ngucek matanya yang pusing dan pening. Seluruh kolom perhitungan belum balance, itu tandanya ada yang salah dari tugas Akuntansi mereka. Hafis akhirnya duduk di dekat Matari, mengecek pekerjaan teman-temannya.
Meskipun tak percaya, ada sisi penasaran yang muncul dalam sisi dirinya yang lain. Dia ingin membuktikan bahwa semua itu tak benar, namun dengan mata kepalanya sendiri. Weekend ini Arai lagi-lagi tak memberi kabar pergi ke mana. Sudah biasa sih, tapi rasanya karena informasi dari Hafis itu, justru membuat Matari berpikir yang tidak-tidak.Untuk meredam rasa penasarannya, akhirnya dia mengirimkan SMS pada Ayla.Matari: “Hai, La. Lagi di mana lo?”Ayla: “Di rumah aja. Kenapa nih? Gue telepon deh.”Belum sempat Matari menjawab, telepon rumahnya berdering. Ayla memang selalu seperti itu jika dia benar-benar menginginkan sesuatu.“Kenapaaaa? Kangen yaaaa????” seru Ayla saat Matari menerima telepon itu.“Enggak, mau nanya doang. Arai di situ nggak?” tanya Matari penasaran.“Tumbeeeen, biasanya nggak diapelin udah anteng aja.”“Cuma pen
Entah bagaimana, Arai merasa tak perlu meminta maaf pada Matari saat bertemu di hari Senin. Dengan kekesalan luar biasa, Matari menghampiri Arai.“Ya gue emang nggak ada pulsa, Ri. Gue juga tidur seharian. Kenapa sih, gitu aja dipermasalahin banget?” timpal Arai saat Matari mengkonfrontasinya,“Kok lo nggak ada pulsa mulu?” tanya Matari. “Gue isiin kalo emang nggak ada pulsa. Kalo cuma marebu, sepuluh ribu juga gue ada.”Arai mengerutkan dahinya. Matari tahu, Arai sedikit tersinggung.“Emangnya duit gue cuma buat pulsa doang?” gerutu Arai.Matari terdiam. Ada rasa curiga yang menggebu dalam hatinya. Meskipun mungkin orang lain jika mendengar pernyataan Arai seperti itu, merasa hal yang wajar. Tapi tidak dengan Matari. Informasi dari Hafislah yang membuat kecurigaannya menguat.Rokok, yah, Arai memang semakin hari semakin tak bisa lepas barang dua jam saja. Bersama gerombolannya, dia akan mencur
Matari keluar dari toilet perempuan sendirian. Saat itu memang masih jam pelajaran. Gurunya kali ini, Bu Anyelir, memang tak suka jika muridnya izin ke toilet berdua atau lebih. Jadi biasanya jika ada yang izin ke toilet hanya diperbolehkan sendiri-sendiri.Di luar toilet, dia melihat Choki, sedang duduk bersandar. Matanya terpejam dan berkeringat di sana-sini. Tampaknya dia tak tampak baik-baik saja.“Chok, kenapa lo?” tanya Matari sambil mendekati Choki.“Nggak papa, Ri, cuma lagi pusing aja. Nggak enak badan,” sahut Choki.“Ke UKS deh. Gue temenin, mau nggak?”“Eh jangan, jangan ke UKS. Gue males ditanya-tanya.”“Lahhh, kan emang lo lagi sakit. Guru yang jaga di sana juga bisa kasih obat yang pas sama lo.”“Gue mau duduk di sini aja dulu. Kalo baikan, gue balik kelas kok. Santai aja. Udah, balik sono. Nanti lo dicariin guru lo.”“Beneran ya?”
Matari sudah tak tahan lagi. Akhirnya sore itu dia menelepon Choki di rumahnya.“Langsung nelepon aja setelah gue kasih nomer? Ada apa sih?” tanya Choki.Suaranya tampak lebih segar dibanding tadi siang. Sepertinya keadaan Choki sudah lebih baik.“Udah baikan?” tanya Matari.“Udah. Sampe rumah langsung baikan. Emang gue nggak cocok di sekolah kayanya, hahahaha.”“Dasar. Tapi seenggaknya lo nggak pernah bolos.”“Ya terus? Nilai kan dilihat banget, Ri. Gue mah langganan nilai 0. Kok jadi ngomongin gue sih? Lo sendiri, ada apa nelepon gue?”“Gue mau ngomongin soal Arai.”“Oh iya, bentar lagi dia kan ulangtahun.”“Eh, iya? Masa sih?”“Lo nggak tahu? Di kartu pelajar ada kali.”“Ya mana gue pernah lihat kartu pelajarnya. Emang iya ya?”“Iya, Ri, minggu depan, tanggal 8 Maret.&rdquo
Matari memperhatikan gantungan kunci di tasnya. Dulu Arai memberinya gantungan kunci ini saat dia ulangtahun. Sebagai gantinya, dia sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk Arai. Setelah mencari-cari ide, dia akhirnya membeli jaket di distro langganan Praja. Saat itu distro sedang booming, merk demi merk ada di mana-mana menawarkan berbagai macam harga. Salah satu distro langganan Praja ada di daerah Tebet. Dengan ditemani Praja, akhirnya Matari membeli sebuah jaket untuk Arai. Jaket itu diklaim tahan angin dan air, sehingga cocok saat dipakai mengendarai motor. Sepulangnya dari sana, Matari membungkus kado dengan rapi. Tak peduli dengan ledekan Sandra, dia akhirnya menyelesaikan acara bungkus kado itu dengan cepat. Saat ini dia dan Arai memang sedang perang dingin gara-gara kejadian SMS tak berbalas kemarin. Matari cuma bisa berharap, dengan dia memberikan kado ini untuk Arai, hubungan mereka bisa menjadi lebih baik. Namun, harapannya sirna
Lambaian tangan Praja samar terlihat di kejauhan meski cowok itu sudah berlalu pergi menuju arah keluar gang. Praja masih terlihat khawatir meninggalkan Matari di sebuah tukang bakso mangkal. Meskipun tukang bakso itu tak terlalu sepi. Ada saja satu dua pelanggan bergantian datang.Praja sampai membeli 2 bungkus bakso sebagai upah agar abang bakso itu mau menerima Matari sementara. Agar gadis itu bisa menunggu dan mempersiapkan mentalnya sebelum menemui Arai.Setelah beberapa menit mempersiapkan diri, Matari akhirnya menelepon Arai. Namun seperti yang bisa ditebaknya, Arai sama sekali tak mengangkat teleponnya.HP-nya bergetar, dia pikir itu Arai meneleponnya balik. Namun, ternyata itu adalah Hafis.“Udah?” tanya Hafis.“Belum juga mulai, Fis. Praja baru aja balik ke rumah, katanya mau ganti seragam dulu sekalian nungguin gue kelar,” sahut Matari.“Oh, kirain udah. Ya udah siap-siap aja. Semoga lancar aja ya,&rd