Entah bagaimana, Arai merasa tak perlu meminta maaf pada Matari saat bertemu di hari Senin. Dengan kekesalan luar biasa, Matari menghampiri Arai.
“Ya gue emang nggak ada pulsa, Ri. Gue juga tidur seharian. Kenapa sih, gitu aja dipermasalahin banget?” timpal Arai saat Matari mengkonfrontasinya,
“Kok lo nggak ada pulsa mulu?” tanya Matari. “Gue isiin kalo emang nggak ada pulsa. Kalo cuma marebu, sepuluh ribu juga gue ada.”
Arai mengerutkan dahinya. Matari tahu, Arai sedikit tersinggung.
“Emangnya duit gue cuma buat pulsa doang?” gerutu Arai.
Matari terdiam. Ada rasa curiga yang menggebu dalam hatinya. Meskipun mungkin orang lain jika mendengar pernyataan Arai seperti itu, merasa hal yang wajar. Tapi tidak dengan Matari. Informasi dari Hafislah yang membuat kecurigaannya menguat.
Rokok, yah, Arai memang semakin hari semakin tak bisa lepas barang dua jam saja. Bersama gerombolannya, dia akan mencur
Matari keluar dari toilet perempuan sendirian. Saat itu memang masih jam pelajaran. Gurunya kali ini, Bu Anyelir, memang tak suka jika muridnya izin ke toilet berdua atau lebih. Jadi biasanya jika ada yang izin ke toilet hanya diperbolehkan sendiri-sendiri.Di luar toilet, dia melihat Choki, sedang duduk bersandar. Matanya terpejam dan berkeringat di sana-sini. Tampaknya dia tak tampak baik-baik saja.“Chok, kenapa lo?” tanya Matari sambil mendekati Choki.“Nggak papa, Ri, cuma lagi pusing aja. Nggak enak badan,” sahut Choki.“Ke UKS deh. Gue temenin, mau nggak?”“Eh jangan, jangan ke UKS. Gue males ditanya-tanya.”“Lahhh, kan emang lo lagi sakit. Guru yang jaga di sana juga bisa kasih obat yang pas sama lo.”“Gue mau duduk di sini aja dulu. Kalo baikan, gue balik kelas kok. Santai aja. Udah, balik sono. Nanti lo dicariin guru lo.”“Beneran ya?”
Matari sudah tak tahan lagi. Akhirnya sore itu dia menelepon Choki di rumahnya.“Langsung nelepon aja setelah gue kasih nomer? Ada apa sih?” tanya Choki.Suaranya tampak lebih segar dibanding tadi siang. Sepertinya keadaan Choki sudah lebih baik.“Udah baikan?” tanya Matari.“Udah. Sampe rumah langsung baikan. Emang gue nggak cocok di sekolah kayanya, hahahaha.”“Dasar. Tapi seenggaknya lo nggak pernah bolos.”“Ya terus? Nilai kan dilihat banget, Ri. Gue mah langganan nilai 0. Kok jadi ngomongin gue sih? Lo sendiri, ada apa nelepon gue?”“Gue mau ngomongin soal Arai.”“Oh iya, bentar lagi dia kan ulangtahun.”“Eh, iya? Masa sih?”“Lo nggak tahu? Di kartu pelajar ada kali.”“Ya mana gue pernah lihat kartu pelajarnya. Emang iya ya?”“Iya, Ri, minggu depan, tanggal 8 Maret.&rdquo
Matari memperhatikan gantungan kunci di tasnya. Dulu Arai memberinya gantungan kunci ini saat dia ulangtahun. Sebagai gantinya, dia sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk Arai. Setelah mencari-cari ide, dia akhirnya membeli jaket di distro langganan Praja. Saat itu distro sedang booming, merk demi merk ada di mana-mana menawarkan berbagai macam harga. Salah satu distro langganan Praja ada di daerah Tebet. Dengan ditemani Praja, akhirnya Matari membeli sebuah jaket untuk Arai. Jaket itu diklaim tahan angin dan air, sehingga cocok saat dipakai mengendarai motor. Sepulangnya dari sana, Matari membungkus kado dengan rapi. Tak peduli dengan ledekan Sandra, dia akhirnya menyelesaikan acara bungkus kado itu dengan cepat. Saat ini dia dan Arai memang sedang perang dingin gara-gara kejadian SMS tak berbalas kemarin. Matari cuma bisa berharap, dengan dia memberikan kado ini untuk Arai, hubungan mereka bisa menjadi lebih baik. Namun, harapannya sirna
Lambaian tangan Praja samar terlihat di kejauhan meski cowok itu sudah berlalu pergi menuju arah keluar gang. Praja masih terlihat khawatir meninggalkan Matari di sebuah tukang bakso mangkal. Meskipun tukang bakso itu tak terlalu sepi. Ada saja satu dua pelanggan bergantian datang.Praja sampai membeli 2 bungkus bakso sebagai upah agar abang bakso itu mau menerima Matari sementara. Agar gadis itu bisa menunggu dan mempersiapkan mentalnya sebelum menemui Arai.Setelah beberapa menit mempersiapkan diri, Matari akhirnya menelepon Arai. Namun seperti yang bisa ditebaknya, Arai sama sekali tak mengangkat teleponnya.HP-nya bergetar, dia pikir itu Arai meneleponnya balik. Namun, ternyata itu adalah Hafis.“Udah?” tanya Hafis.“Belum juga mulai, Fis. Praja baru aja balik ke rumah, katanya mau ganti seragam dulu sekalian nungguin gue kelar,” sahut Matari.“Oh, kirain udah. Ya udah siap-siap aja. Semoga lancar aja ya,&rd
“BRAK!”Matari membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Betapa terkejutnya dia saat firasatnya benar. Arai ada di sana. Dia tak sendiri. Bahkan Choki tampak teler dan tiduran di sebelahnya dengan posisi lemas tak berdaya. Matari sendiri tak yakin, Arai masih sepenuhnya sadar. Mata itu, tatapan mata itu menatapnya dengan enggan, tak seperti dulu.“ARAI! KAMU NGAPAIN?” seru Matari.“Cewe lo nggak asik banget, Rai!” seru Anton dari luar kamar, meskipun menjadi satu-satunya yang sepenuhnya sadar, Matari tak pernah mengharapkan kehadirannya.Arai berdiri menatap Matari. Diambilnya tas ransel bututnya dengan sempoyongan.“Kamu ngapain di sini? Ayok gue anter pulang!” kata Arai sambil menggandeng tangan Matari keluar dari kamar itu.Matari menghempaskan tangan Arai.“Kamu pikir bisa nganterin aku dengan kondisi kamu yang kaya gitu?” tanya Matari.“Bisa kok, ayok! Mbo,
Matari sedang mendengarkan musik saat sebuah SMS masuk ke HP-nya. Nama Arai ada di kotak inbox. Dia merasa senang, akhirnya Arai yang menghubunginya duluan, setelah sekian lama mereka saling diam satu sama lain. Kejadian di rumah Rambo tampaknya membuat Arai meradang.Matari pun enggan menyapa duluan jika Arai masih seperti itu. Bahkan, kado Arai pun sama sekali tak sempat diberikannya. Sesaat setelah Matari turun dari motor saat itu, Arai langsung melesat pergi lagi tanpa berkata apapun.Ini sudah menginjak pertengahan bulan ke lima mereka berpacaran. Hampir 2 minggu Matari bersitegang dengan Arai. Keduanya sama-sama tak mau mengalah. Namun, karena kali ini Arai bahkan mau memulai duluan, Matari cuma bisa berharap, dia akan melewatinya dengan lebih baik.Sayangnya, isi SMS itu bertolak belakang dengan harapannya.Arai: “Ri, sorry selama ini selalu nyakitin kamu. Kayanya kita lebih baik temenan biasa aja deh.”
Sandra memberi isyarat pada Matari agar memperlihatkan wajah biasa saja, agar dia tidak ikutan dimarahi. Apalagi saat itu, Tante Dina dan Eyang Putri sedang kembali cekcok masalah lauk pauk. Biasalah, Eyang Putri tidak cocok dengan lauk malam itu. Dia ingin ayam goreng, sedangkan Tante Dina hanya membeli capcay seafood dan Fuyung Hai.Perdebatan berakhir saat Mbok Kalis muncul membawakan ayam goreng sisa kemarin siang yang digoreng ulang. Merasa tersinggung karena perdebatan sebelumnya, Eyang Putri tak mau makan semeja dan malah pergi ke teras belakang dan meminta Mbok Kalis untuk menemani sampai selesai.Akhir-akhir ini Sandra memang menyadari, bahwa sikap Eyang Putri kembali seperti anak kecil. Gampang marah, merengek, hingga suka pilih-pilih makanan. Apalagi sifat pelupanya semakin parah. Tante Dina, mamanya, sudah berkali-kali konsultasi dengan saudara-saudara iparnya untuk membawa Eyang Putri ke dokter.Namun, seakan-akan mereka kompak denial, term
Putusnya Arai dan Matari menyebar secepat kilat. Sekarang, hampir seluruh anak sekolah mereka sudah tahu. Terutama kelas Matari. Banyak yang mendadak bersikap simpati. Meskipun Matari tak peduli, apakah mereka benar-benar tulus atau tidak.“Gue ada game baru, mau nyoba instal nggak? Gue denger dari Sandra, PC di rumah lo baru?” celetuk Praja sambil memberikan USB Flash Disk pada Matari. “Gamenya gede, jadi kayanya sih nggak muat pake disket. Ada port USB-nya kan? Kalo nggak ada, besok gue pinjemin kabel port-nya.”Tahun itu, port USB masih jarang terhubung langsung di PC. Size USB Flash Disk terbesar saja hanya 32 GB.“Nggak ada kayanya, Ja,” sahut Matari. “Game apa sih?”“Macem-macem, cek aja, yang cocok sama lo. Yang lagi happening sih World of Warcraft. Ada The Sims juga tuh. Biasanya cewek-cewek suka main The Sims,” kata Praja. “Yang