Matari memperhatikan gantungan kunci di tasnya. Dulu Arai memberinya gantungan kunci ini saat dia ulangtahun. Sebagai gantinya, dia sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk Arai. Setelah mencari-cari ide, dia akhirnya membeli jaket di distro langganan Praja.
Saat itu distro sedang booming, merk demi merk ada di mana-mana menawarkan berbagai macam harga. Salah satu distro langganan Praja ada di daerah Tebet. Dengan ditemani Praja, akhirnya Matari membeli sebuah jaket untuk Arai. Jaket itu diklaim tahan angin dan air, sehingga cocok saat dipakai mengendarai motor.
Sepulangnya dari sana, Matari membungkus kado dengan rapi. Tak peduli dengan ledekan Sandra, dia akhirnya menyelesaikan acara bungkus kado itu dengan cepat.
Saat ini dia dan Arai memang sedang perang dingin gara-gara kejadian SMS tak berbalas kemarin. Matari cuma bisa berharap, dengan dia memberikan kado ini untuk Arai, hubungan mereka bisa menjadi lebih baik.
Namun, harapannya sirna
Lambaian tangan Praja samar terlihat di kejauhan meski cowok itu sudah berlalu pergi menuju arah keluar gang. Praja masih terlihat khawatir meninggalkan Matari di sebuah tukang bakso mangkal. Meskipun tukang bakso itu tak terlalu sepi. Ada saja satu dua pelanggan bergantian datang.Praja sampai membeli 2 bungkus bakso sebagai upah agar abang bakso itu mau menerima Matari sementara. Agar gadis itu bisa menunggu dan mempersiapkan mentalnya sebelum menemui Arai.Setelah beberapa menit mempersiapkan diri, Matari akhirnya menelepon Arai. Namun seperti yang bisa ditebaknya, Arai sama sekali tak mengangkat teleponnya.HP-nya bergetar, dia pikir itu Arai meneleponnya balik. Namun, ternyata itu adalah Hafis.“Udah?” tanya Hafis.“Belum juga mulai, Fis. Praja baru aja balik ke rumah, katanya mau ganti seragam dulu sekalian nungguin gue kelar,” sahut Matari.“Oh, kirain udah. Ya udah siap-siap aja. Semoga lancar aja ya,&rd
“BRAK!”Matari membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Betapa terkejutnya dia saat firasatnya benar. Arai ada di sana. Dia tak sendiri. Bahkan Choki tampak teler dan tiduran di sebelahnya dengan posisi lemas tak berdaya. Matari sendiri tak yakin, Arai masih sepenuhnya sadar. Mata itu, tatapan mata itu menatapnya dengan enggan, tak seperti dulu.“ARAI! KAMU NGAPAIN?” seru Matari.“Cewe lo nggak asik banget, Rai!” seru Anton dari luar kamar, meskipun menjadi satu-satunya yang sepenuhnya sadar, Matari tak pernah mengharapkan kehadirannya.Arai berdiri menatap Matari. Diambilnya tas ransel bututnya dengan sempoyongan.“Kamu ngapain di sini? Ayok gue anter pulang!” kata Arai sambil menggandeng tangan Matari keluar dari kamar itu.Matari menghempaskan tangan Arai.“Kamu pikir bisa nganterin aku dengan kondisi kamu yang kaya gitu?” tanya Matari.“Bisa kok, ayok! Mbo,
Matari sedang mendengarkan musik saat sebuah SMS masuk ke HP-nya. Nama Arai ada di kotak inbox. Dia merasa senang, akhirnya Arai yang menghubunginya duluan, setelah sekian lama mereka saling diam satu sama lain. Kejadian di rumah Rambo tampaknya membuat Arai meradang.Matari pun enggan menyapa duluan jika Arai masih seperti itu. Bahkan, kado Arai pun sama sekali tak sempat diberikannya. Sesaat setelah Matari turun dari motor saat itu, Arai langsung melesat pergi lagi tanpa berkata apapun.Ini sudah menginjak pertengahan bulan ke lima mereka berpacaran. Hampir 2 minggu Matari bersitegang dengan Arai. Keduanya sama-sama tak mau mengalah. Namun, karena kali ini Arai bahkan mau memulai duluan, Matari cuma bisa berharap, dia akan melewatinya dengan lebih baik.Sayangnya, isi SMS itu bertolak belakang dengan harapannya.Arai: “Ri, sorry selama ini selalu nyakitin kamu. Kayanya kita lebih baik temenan biasa aja deh.”
Sandra memberi isyarat pada Matari agar memperlihatkan wajah biasa saja, agar dia tidak ikutan dimarahi. Apalagi saat itu, Tante Dina dan Eyang Putri sedang kembali cekcok masalah lauk pauk. Biasalah, Eyang Putri tidak cocok dengan lauk malam itu. Dia ingin ayam goreng, sedangkan Tante Dina hanya membeli capcay seafood dan Fuyung Hai.Perdebatan berakhir saat Mbok Kalis muncul membawakan ayam goreng sisa kemarin siang yang digoreng ulang. Merasa tersinggung karena perdebatan sebelumnya, Eyang Putri tak mau makan semeja dan malah pergi ke teras belakang dan meminta Mbok Kalis untuk menemani sampai selesai.Akhir-akhir ini Sandra memang menyadari, bahwa sikap Eyang Putri kembali seperti anak kecil. Gampang marah, merengek, hingga suka pilih-pilih makanan. Apalagi sifat pelupanya semakin parah. Tante Dina, mamanya, sudah berkali-kali konsultasi dengan saudara-saudara iparnya untuk membawa Eyang Putri ke dokter.Namun, seakan-akan mereka kompak denial, term
Putusnya Arai dan Matari menyebar secepat kilat. Sekarang, hampir seluruh anak sekolah mereka sudah tahu. Terutama kelas Matari. Banyak yang mendadak bersikap simpati. Meskipun Matari tak peduli, apakah mereka benar-benar tulus atau tidak.“Gue ada game baru, mau nyoba instal nggak? Gue denger dari Sandra, PC di rumah lo baru?” celetuk Praja sambil memberikan USB Flash Disk pada Matari. “Gamenya gede, jadi kayanya sih nggak muat pake disket. Ada port USB-nya kan? Kalo nggak ada, besok gue pinjemin kabel port-nya.”Tahun itu, port USB masih jarang terhubung langsung di PC. Size USB Flash Disk terbesar saja hanya 32 GB.“Nggak ada kayanya, Ja,” sahut Matari. “Game apa sih?”“Macem-macem, cek aja, yang cocok sama lo. Yang lagi happening sih World of Warcraft. Ada The Sims juga tuh. Biasanya cewek-cewek suka main The Sims,” kata Praja. “Yang
Pensi sekolah tahun 2004 tiba dengan cepat. Kegiatan itu diadakan dua hari. Jumat setelah jam 1 siang hingga pukul 5 sore. Berlanjut di hari Sabtu dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore.Semua siswa wajib memakai bawahan seragam, meskipun atasnya bebas. Boleh kaus, kemeja atau apapun yang nyaman. Bagi pengunjung umum, diwajibkan membeli tiket agar bisa masuk. Tanpa tiket, tentu saja tak boleh masuk.Beberapa petugas keamanan sekaligus kepolisian berjaga di beberapa sudut. Bisa dilihat sekilas, banyak sekali jumlahnya. Apalagi sejak desas-desus peredaran narkoba yang semakin massif di sana-sini khususnya kalangan pelajar DKI.Sekolah Matari pun terkena imbasnya. Hampir seminggu sekali selalu diadakan Razia dadakan oleh pihak sekolah. Rokok, komik hingga obat-obatan mencurigakan beberapa kali ditemukan. Namun, berita itu cepat menguap entah bagaimana. Siapa yang tertangkap siapa hanya menjadi kasak-kusuk di sana-sini.Meskipun dia masih sakit hati pada Arai,
Sebelum liburan Ujian Nasional yang diadakan khusus agar siswa-siswi kelas 3 bisa tenang melaksanakan ujian, seluruh siswa-siswi kelas 1 mendapatkan jatah konseling perkelompok. Kenapa berkelompok, bukannya sendiri-sendiri? Karena jumlah murid yang banyak dan mereka semua harus dibagi ber-5 hingga 6 orang untuk konseling bersama-sama.Setiap kelompok mendapat jatah 1 jam. Dalam satu hari bisa ada 8 hingga 10 kelompok yang dipanggil. Hari ini, giliran Matari dipanggil bersama teman-teman satu kelompoknya yang diurutkan berdasarkan tempat duduk.Dia merasa beruntung, karena itu artinya satu kelompoknya akan berisi teman-teman dekatnya sendiri yaitu Praja, Hafis, Beno, Ayla dan tentu saja Dinda. Konseling jadi terasa lebih privat.“Halo, mungkin udah banyak yang kenal. Nama saya Bu Dian, guru BK kelas 1 yang akan memimpin sesi konseling kali ini. Saya absen dulu ya. Adinda Kartasasmita Handoyo? Oh, Dinda, si Ketua Kelas 1-3 ya? Ayla Adriana Santoso? Oke, ada.
Matari bisa melihat punggung Dinda yang pergi lebih duluan dibanding dirinya. Wajah gadis itu sekilas tampak serius dan menyimpan sesuatu. Berteman dengannya selama ini, Matari tak mengenalnya lebih dekat dibanding Ayla. Dia hanya tahu kondisi keluarga Dinda sebatas di permukaannya saja.“Halo, Matari. Duduk ya. Nih, air mineral gelas buat kamu. Boleh sambil diminum. Oke, saya cek profil kamu dulu di berkas ya. Saya takut salah informasi,” kata Bu Dian mengawali pembicaraan saat Matari duduk di depannya persis.“Baik, Bu,” sahut Matari sopan.“Setelah saya baca, kamu anak yang berbakat di bidang menulis, kamu udah pernah membawa nama baik sekolah di provinsi. Itu luar biasa lho. Kamu bisa kembangkan bakat kamu di jurusan Bahasa. Di sana banyak sekali cabang ilmu Bahasa dan Sastra yang bisa membantu kamu untuk lebih berkembang. Gimana? Tertarik nggak?”Matari hanya melempar senyum tipis. Dia sejujurnya sama sekali tak te
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”