Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.
Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.
Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.
Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
“BRAK!”Matari membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Betapa terkejutnya dia saat firasatnya benar. Arai ada di sana. Bahkan Arai tak sendiri. Choki tampak teler dan tiduran di sebelahnya dengan posisi lemas tak berdaya. Matari sendiri tak yakin, Arai masih sepenuhnya sadar. Mata itu, tatapan mata itu menatapnya dengan enggan, sepertinya dia tak menginginkan kedatangan Matari.“ARAI! KAMU NGAPAIN?” seru Matari.“Cewe lo nggak asik banget, Rai!” seru Anton dari luar kamar, meskipun menjadi satu-satunya yang sepenuhnya sadar, Matari tak pernah mengharapkan kehadirannya.Arai berdiri menatap Matari. Diambilnya tas ransel bututnya dengan sempoyongan.“Kamu ngapain di sini? Ayok gue anter pulang!” kata Arai sambil menggandeng tangan Matari keluar dari kamar itu.Matari menghempaskan tangan Arai.“Kamu pikir bisa nganterin aku dengan kondisi kamu yang kaya gitu?” tanya Matari.
Matari mengucek kemeja bagian bawahnya dengan susah payah dengan air kran, namun noda cokelat dari tanah itu tak mau hilang. Toilet perempuan SMA Negeri B Tebet sudah tampak lengang. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Tak banyak senior SMA yang tersisa di kelas mereka masing-masing. Kebanyakan berkumpul di sekitar area lapangan untuk menonton MOS (Masa Orientasi Siswa) kelas 1 di lapangan. “Eh, kamu ya, yang tadi kena tanah waktu dikerjain kakak-kakak MOS? Aku juga nih! Aku ada garam nih, minta sama orang kantin. Kata Mama aku, kamu bisa pakai garam biar ilang sementara waktu. Nanti di rumah pakai baking soda ya atau lemon kalau ada,” kata seorang cewek berambut panjang lurus menatapnya dengan lekat-lekat yang datang tiba-tiba di belakang Matari. Dari seragam yang dipakainya, Matari tahu dia mantan anak SMP swasta mahal yang berada di dekat sini. Cewek itu memberikan sedikit garam yang digenggamnya di tangan dengan hati-hati ke tangan Matari. “Makas
Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya. “Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya. Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama. “Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum. “Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Dav