“BRAK!”
Matari membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Betapa terkejutnya dia saat firasatnya benar. Arai ada di sana. Bahkan Arai tak sendiri. Choki tampak teler dan tiduran di sebelahnya dengan posisi lemas tak berdaya. Matari sendiri tak yakin, Arai masih sepenuhnya sadar. Mata itu, tatapan mata itu menatapnya dengan enggan, sepertinya dia tak menginginkan kedatangan Matari.
“ARAI! KAMU NGAPAIN?” seru Matari.
“Cewe lo nggak asik banget, Rai!” seru Anton dari luar kamar, meskipun menjadi satu-satunya yang sepenuhnya sadar, Matari tak pernah mengharapkan kehadirannya.
Arai berdiri menatap Matari. Diambilnya tas ransel bututnya dengan sempoyongan.
“Kamu ngapain di sini? Ayok gue anter pulang!” kata Arai sambil menggandeng tangan Matari keluar dari kamar itu.
Matari menghempaskan tangan Arai.
“Kamu pikir bisa nganterin aku dengan kondisi kamu yang kaya gitu?” tanya Matari.
“Bisa kok, ayok! Mbo, gue pinjem kunci motor lo ya, motor gue bensinnya tiris. Kayanya nggak nyampe ke rumah Matari,” sahut Arai sambil menatap Rambo, anak laki-laki lain di ruang tamu itu yang sedang sama telernya.
“ Bawa aja, sob! Eh jangan dipake kebut-kebutan ya?! Pajeknya udah lewat soalnya!” sahut Anton yang membantu Arai dengan memberikan kunci motor Rambo.
Matari menahan tangisnya yang hampir pecah. Dia tak pernah menyangka Arai akan secepat ini terjerumus bersama mereka.
Arai menstater motor milik Rambo dengan sekuat tenaga. Kondisi Arai tentu saja membuat Matari enggan memboncengnya sekarang.
“Rai, kita naik taksi aja ya?” seru Matari mencegah Arai.
“Hah? Taksi? Duit siapa? Nggak! Udah naik motor Rambo aja, bensin dia banyak kok!” sahut Arai.
“Rai, kamu gila ya mau ngeboncengin aku dengan kondisi kaya gitu?” cecar Matari.
Arai menarik napas kesal.
“TERUS? NGAPAIN LO KE SINI? GARA-GARA LO DATENG KAN, GUE JADI NGANTERIN LO PULANG?????”
Matari terhenyak. Nggak disangkanya Arai membentaknya dengan nada sekasar itu. Arai, Arai Herlambang Ramadhan, yang selalu penuh tawa dan memberikan lelucon konyolnya dulu saat semuanya masih baik-baik saja.
“Lagian siapa yang kasih tahu lo kalo gue di sini sih?”
Matari masih belum berkata apa-apa. Rasanya ingin menangis. Entah sudah kali keberapa Arai selalu membuatnya menangis akhir-akhir ini. Arai sudah tak seperti dulu.
“Mau pulang nggak????”
“Rai, aku kan udah sering bilang jangan main bareng Rambo atau Anton, mereka itu…”
“DIEM LO! Lo tuh nggak tahu apa-apa soal mereka. Nggak usah banyak spekulasi yang nggak bener! Lagian kenapa sih lo sekarang suka ngatur-ngatur gue?”
Arai merogoh saku seragam SMA-nya. Sepotong rokok sisa beberapa jam yang lalu masih ada di sana. Kemudian dia mencari-cari pemantik kesayangannya yang bergambar kartun SPONGEBOB itu. Ternyata dia ada di saku celana abu-abu bagian belakangnya. Tanpa berbasa-basi, dia langsung menyulut rokoknya. Padahal sebelum-sebelumnya, dia selalu minta izin ke Matari setiap mau merokok. Namun kali ini tidak.
Melihat itu, Matari langsung menarik putung rokok itu dari mulut Arai. Arai terpaku sejenak, kemudian memaki dengan kata-kata kotor. Meskipun dia tak menatapnya langsung saat memaki, Matari tahu, Arai marah diambil putung rokoknya seperti itu. Mungkin karena itu adalah rokok yang tersisa miliknya saat ini. Atau karena memang sejak kedatangannya, Matari sudah mengganggu dirinya dan teman-temannya.
“Sekarang, naik lo!” kata Arai membentak Matari.
Matari duduk di belakang Arai, kemudian memeluknya dari belakang tempatnya membonceng. Dia hanya berharap, dengan memeluk Arai, mungkin cowok itu akan sedikit lunak. Namun, Arai tak bergeming, dia langsung tancap gas membawa Matari pulang.
Matari mengucek kemeja bagian bawahnya dengan susah payah dengan air kran, namun noda cokelat dari tanah itu tak mau hilang. Toilet perempuan SMA Negeri B Tebet sudah tampak lengang. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Tak banyak senior SMA yang tersisa di kelas mereka masing-masing. Kebanyakan berkumpul di sekitar area lapangan untuk menonton MOS (Masa Orientasi Siswa) kelas 1 di lapangan. “Eh, kamu ya, yang tadi kena tanah waktu dikerjain kakak-kakak MOS? Aku juga nih! Aku ada garam nih, minta sama orang kantin. Kata Mama aku, kamu bisa pakai garam biar ilang sementara waktu. Nanti di rumah pakai baking soda ya atau lemon kalau ada,” kata seorang cewek berambut panjang lurus menatapnya dengan lekat-lekat yang datang tiba-tiba di belakang Matari. Dari seragam yang dipakainya, Matari tahu dia mantan anak SMP swasta mahal yang berada di dekat sini. Cewek itu memberikan sedikit garam yang digenggamnya di tangan dengan hati-hati ke tangan Matari. “Makas
Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya. “Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya. Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama. “Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum. “Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Dav
Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina
Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”Bu Fitri mengangguk. “Betul
Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.