“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol.
Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack.
“Iya, kenapa?” timpal Beno.
“Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari.
“Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno.
“Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis.
“Kenapa?” tanya Matari kepo.
Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya.
“Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.
“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah. “Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari. “Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra. “Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa. “Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra. Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar. “Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh
“Pagi, Ayla! Eh, La, rumah lo mana sih?” tanya Davi saat melihat Ayla berjalan menuju ke kelasnya.“Pagi juga. Deket sini kok. Bukan kompleks,” sahut Ayla.“Tiap hari dianterin Abang lo ya?” tanya Davi lagi, berbasa-basi.“Iya, soalnya sekalian dia berangkat sekolah juga. Lo juga gue lihat beberapa kali dianterin sama mobil J**p sama cewek, hayooo, siapa tuh?” timpal Ayla.“Itu kakak gue tahu! Sembarangan!” sahut Davi.Ayla tergelak lagi. Tawanya benar-benar membuat Davi terkesima sekali lagi. Apakah itu artinya dia mulai suka pada Ayla? Hanya tawa sederhana itu, membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Gue boleh main ke rumah lo nggak? Mmm, gue mau lihat koleksi motor Abang lo dong!” tanya Davi kemudian.Davi tahu, cuma itu salah satu alasan, dia bisa datang ke rumah Alya.“Oh, mau lihat motornya Bang Ali? Boleh-boleh aja. Besok Sabtu gimana? Anak
Mata pelajaran Sejarah terasa membosankan, Bu Anyelir, guru Sejarah mereka memberikan tugas untuk membuat ringkasan materi mengenai Peradaban Awal di Indonesia. Materi tersebut akan dikumpulkan minggu depan beserta LKS yang harus dikerjakan sebelumnya sesuai arahan beliau.Kebosanan melanda, Pito yang sedang merenggangkan otot, melayangkan pandangannya ke arah luar jendela.“Eh, kelas 1-3 olahraga tuh!” seru Pito sambil menarik kerah baju Kiwil dengan sengaja.“Serius?” sahut Kiwil. "Yakin itu 1-3?"“Ada temen gue di sana. Dia emang anak 1-3, satu band sama gue dulu,” sahut Pito.“Oh iya? Berarti temen lo bisa ngenalin gue ke dia dong! Kasih tahu nama aja dulu, udah cukup kok!” kata Kiwil.Davi melihat ke jendela. Kelas 1-3, kelas Matari tampak sedang berolahraga. Dia memperhatikan Ayla, yang karena badannya tidak cukup tinggi, harus berbaris paling depan.“Emang yang mana si
Sudah entah berapa kali malam minggu, Ayla hanya menghabiskan waktu dengan teman-teman Bang Ali, kakak laki-lakinya. Kalaupun ada yang datang menemuinya, pasti teman-temannya sendiri. Entah itu Dinda, entah teman-teman masa SMP-nya. Atau beberapa cowok yang datang ke rumahnya hanya untuk melihat koleksi motor milik Bang Ali saja.“Nggak jalan lo? Temen-temen lo udah pada balik yang kerjain tugas?” tanya Bang Ali sambil mengelap salah satu motor Harley Davidson klasik kesayangannya.“Udah, pada nggak mau malam mingguan di sini. Ada urusan sendiri-sendiri. Dinda mau nonton sama adeknya. Matari nggak bisa pulang malem. Praja juga mau ke gereja,” jawab Ayla dengan nada sedih.“Kasihaaan. Makanya cari cowok baru dong. Anton mulu dipikirin,” ledek Bang Ali.Ayla hanya merengut. “Habisnya susah Bang lupain Anton.”“Lo-nya aja yang nggak mau deket sama cowok lain. Lagian bukannya banyak cowok yang suka
“Emang lo belom ada SIM?” tanya Bang Ali heran.“Yaaa belumlah, Bang. Kan masih kelas 1,” jawab Davi.“Lah itu lo bawa motor. Kirain udah punya.”“Ya kucing-kucingan aja, Bang. Sama doa-doa aja, biar nggak kena Razia dadakan. Hehehe.”“Hahaha. Sama sih. Gue juga dulu gitu. Daripada baru punya SIM belum bisa banget naik motor kan? Mendingan punya SIM pas udah lancar.”“Iya, Bang. Hehehe.”“Kalau lo suka vespa, gue ada kenalan. Tuh gue ada vespa satu. Tapi cuma buat koleksi. Cuma buat punya-punyaan doang. Jarang gue pakek. Paling gue panasin doang. Soalnya gue kurang suka vespa buat jalan.”“Boleh lihat, Bang?”“Hahaha, boleh-boleh. Dia agak nyempil karena jarang keluar. Lo cek aja deh pojok-pojok sana.”Davi memperhatikan area yang ditunjuk oleh Bang Ali. Dengan cepat, dia mendekat ke arah motor-motor klasik, motor-
“Muka lo nggak enak banget. Diinterogasi sama Abang gue macem-macem ya?” tanya Ayla saat mereka sudah duduk di teras samping rumahnya.Davi tersenyum.“Dia kaya gitu ke semua temen cowok gue yang dateng sendirian ke sini. Kalau yang rame-rame macem Praja tadi buat kerjain tugas ya enggak. Apalagi ini malem minggu. Jadinya ya gitu deh. Maaf ya kalo bikin lo nggak nyaman.”“Nggak kok, La. Santai aja. Namanya juga kakak, biasalah kaya gitu. Kakak gue juga kadang gitu, dengan caranya sendiri.”“Nah, baguslah kalo lo bisa ngerti. Karena ada juga yang habis digituin sama Abang gue, kabur, pada takut kali. Yang niatnya temenan atau baik beneran mah, biasanya malah jadi temenan sama Abang gue juga.”“Iya. Tenang aja, La. Gue kan ada misi pencarian vespa sama Abang lo juga.”“Oh ya? Lo suka vespa?”“Iya. Kemarin gue lihat di jalan, bagus. Makanya gue punya niat, kalo
“Puisi kamu bagus, Rai. Ibu ikutkan ke lomba sastra tahun ini ya?” tanya Bu Cita, guru Bahasa Indonesia kelas 1, saat menyerahkan hasil tugas Arai ke pemiliknya.Murid-murid kelas 1-5 seketika langsung diam. Beberapa ada yang tak percaya atas apa yang didengarnya. Ada pula yang mendadak kagum, ternyata ada juga kelebihan Arai, teman mereka yang hobi duduk paling belakang dan ngerusuh di kelas.“Woooow, ada berandalan pinter bikin puisi!” ledek Choki.“Ssstttt! Tenang dulu, Choki. Saya lagi ngomong sama Arai nih. Rai, gimana? Boleh nggak Ibu ikutkan?” timpal Bu Cita.“Hadiahnya apa, Bu?” tanya Arai.“Ada uang dengan nominal lumayan serta piagam. Piagam ini bisa kamu pakai nanti waktu tes ujian masuk kuliah. Lombanya satu provinsi se-DKI aja kok,” jawab Bu Cita tenang. “Tertarik?”“Uangnya berapa, Bu?” tanya Arai.“Huuuu, dasar mata duitan!”