Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.
Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.
Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.
“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
“BRAK!”Matari membuka pintu di hadapannya dengan kasar. Betapa terkejutnya dia saat firasatnya benar. Arai ada di sana. Bahkan Arai tak sendiri. Choki tampak teler dan tiduran di sebelahnya dengan posisi lemas tak berdaya. Matari sendiri tak yakin, Arai masih sepenuhnya sadar. Mata itu, tatapan mata itu menatapnya dengan enggan, sepertinya dia tak menginginkan kedatangan Matari.“ARAI! KAMU NGAPAIN?” seru Matari.“Cewe lo nggak asik banget, Rai!” seru Anton dari luar kamar, meskipun menjadi satu-satunya yang sepenuhnya sadar, Matari tak pernah mengharapkan kehadirannya.Arai berdiri menatap Matari. Diambilnya tas ransel bututnya dengan sempoyongan.“Kamu ngapain di sini? Ayok gue anter pulang!” kata Arai sambil menggandeng tangan Matari keluar dari kamar itu.Matari menghempaskan tangan Arai.“Kamu pikir bisa nganterin aku dengan kondisi kamu yang kaya gitu?” tanya Matari.
Matari mengucek kemeja bagian bawahnya dengan susah payah dengan air kran, namun noda cokelat dari tanah itu tak mau hilang. Toilet perempuan SMA Negeri B Tebet sudah tampak lengang. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Tak banyak senior SMA yang tersisa di kelas mereka masing-masing. Kebanyakan berkumpul di sekitar area lapangan untuk menonton MOS (Masa Orientasi Siswa) kelas 1 di lapangan. “Eh, kamu ya, yang tadi kena tanah waktu dikerjain kakak-kakak MOS? Aku juga nih! Aku ada garam nih, minta sama orang kantin. Kata Mama aku, kamu bisa pakai garam biar ilang sementara waktu. Nanti di rumah pakai baking soda ya atau lemon kalau ada,” kata seorang cewek berambut panjang lurus menatapnya dengan lekat-lekat yang datang tiba-tiba di belakang Matari. Dari seragam yang dipakainya, Matari tahu dia mantan anak SMP swasta mahal yang berada di dekat sini. Cewek itu memberikan sedikit garam yang digenggamnya di tangan dengan hati-hati ke tangan Matari. “Makas
Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya. “Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya. Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama. “Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum. “Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Dav
Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina
Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”Bu Fitri mengangguk. “Betul
Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa