“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah.
“Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari.
“Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra.
“Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa.
“Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra.
Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar.
“Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh
“Pagi, Ayla! Eh, La, rumah lo mana sih?” tanya Davi saat melihat Ayla berjalan menuju ke kelasnya.“Pagi juga. Deket sini kok. Bukan kompleks,” sahut Ayla.“Tiap hari dianterin Abang lo ya?” tanya Davi lagi, berbasa-basi.“Iya, soalnya sekalian dia berangkat sekolah juga. Lo juga gue lihat beberapa kali dianterin sama mobil J**p sama cewek, hayooo, siapa tuh?” timpal Ayla.“Itu kakak gue tahu! Sembarangan!” sahut Davi.Ayla tergelak lagi. Tawanya benar-benar membuat Davi terkesima sekali lagi. Apakah itu artinya dia mulai suka pada Ayla? Hanya tawa sederhana itu, membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Gue boleh main ke rumah lo nggak? Mmm, gue mau lihat koleksi motor Abang lo dong!” tanya Davi kemudian.Davi tahu, cuma itu salah satu alasan, dia bisa datang ke rumah Alya.“Oh, mau lihat motornya Bang Ali? Boleh-boleh aja. Besok Sabtu gimana? Anak
Mata pelajaran Sejarah terasa membosankan, Bu Anyelir, guru Sejarah mereka memberikan tugas untuk membuat ringkasan materi mengenai Peradaban Awal di Indonesia. Materi tersebut akan dikumpulkan minggu depan beserta LKS yang harus dikerjakan sebelumnya sesuai arahan beliau.Kebosanan melanda, Pito yang sedang merenggangkan otot, melayangkan pandangannya ke arah luar jendela.“Eh, kelas 1-3 olahraga tuh!” seru Pito sambil menarik kerah baju Kiwil dengan sengaja.“Serius?” sahut Kiwil. "Yakin itu 1-3?"“Ada temen gue di sana. Dia emang anak 1-3, satu band sama gue dulu,” sahut Pito.“Oh iya? Berarti temen lo bisa ngenalin gue ke dia dong! Kasih tahu nama aja dulu, udah cukup kok!” kata Kiwil.Davi melihat ke jendela. Kelas 1-3, kelas Matari tampak sedang berolahraga. Dia memperhatikan Ayla, yang karena badannya tidak cukup tinggi, harus berbaris paling depan.“Emang yang mana si
Sudah entah berapa kali malam minggu, Ayla hanya menghabiskan waktu dengan teman-teman Bang Ali, kakak laki-lakinya. Kalaupun ada yang datang menemuinya, pasti teman-temannya sendiri. Entah itu Dinda, entah teman-teman masa SMP-nya. Atau beberapa cowok yang datang ke rumahnya hanya untuk melihat koleksi motor milik Bang Ali saja.“Nggak jalan lo? Temen-temen lo udah pada balik yang kerjain tugas?” tanya Bang Ali sambil mengelap salah satu motor Harley Davidson klasik kesayangannya.“Udah, pada nggak mau malam mingguan di sini. Ada urusan sendiri-sendiri. Dinda mau nonton sama adeknya. Matari nggak bisa pulang malem. Praja juga mau ke gereja,” jawab Ayla dengan nada sedih.“Kasihaaan. Makanya cari cowok baru dong. Anton mulu dipikirin,” ledek Bang Ali.Ayla hanya merengut. “Habisnya susah Bang lupain Anton.”“Lo-nya aja yang nggak mau deket sama cowok lain. Lagian bukannya banyak cowok yang suka
“Emang lo belom ada SIM?” tanya Bang Ali heran.“Yaaa belumlah, Bang. Kan masih kelas 1,” jawab Davi.“Lah itu lo bawa motor. Kirain udah punya.”“Ya kucing-kucingan aja, Bang. Sama doa-doa aja, biar nggak kena Razia dadakan. Hehehe.”“Hahaha. Sama sih. Gue juga dulu gitu. Daripada baru punya SIM belum bisa banget naik motor kan? Mendingan punya SIM pas udah lancar.”“Iya, Bang. Hehehe.”“Kalau lo suka vespa, gue ada kenalan. Tuh gue ada vespa satu. Tapi cuma buat koleksi. Cuma buat punya-punyaan doang. Jarang gue pakek. Paling gue panasin doang. Soalnya gue kurang suka vespa buat jalan.”“Boleh lihat, Bang?”“Hahaha, boleh-boleh. Dia agak nyempil karena jarang keluar. Lo cek aja deh pojok-pojok sana.”Davi memperhatikan area yang ditunjuk oleh Bang Ali. Dengan cepat, dia mendekat ke arah motor-motor klasik, motor-
“Muka lo nggak enak banget. Diinterogasi sama Abang gue macem-macem ya?” tanya Ayla saat mereka sudah duduk di teras samping rumahnya.Davi tersenyum.“Dia kaya gitu ke semua temen cowok gue yang dateng sendirian ke sini. Kalau yang rame-rame macem Praja tadi buat kerjain tugas ya enggak. Apalagi ini malem minggu. Jadinya ya gitu deh. Maaf ya kalo bikin lo nggak nyaman.”“Nggak kok, La. Santai aja. Namanya juga kakak, biasalah kaya gitu. Kakak gue juga kadang gitu, dengan caranya sendiri.”“Nah, baguslah kalo lo bisa ngerti. Karena ada juga yang habis digituin sama Abang gue, kabur, pada takut kali. Yang niatnya temenan atau baik beneran mah, biasanya malah jadi temenan sama Abang gue juga.”“Iya. Tenang aja, La. Gue kan ada misi pencarian vespa sama Abang lo juga.”“Oh ya? Lo suka vespa?”“Iya. Kemarin gue lihat di jalan, bagus. Makanya gue punya niat, kalo
“Puisi kamu bagus, Rai. Ibu ikutkan ke lomba sastra tahun ini ya?” tanya Bu Cita, guru Bahasa Indonesia kelas 1, saat menyerahkan hasil tugas Arai ke pemiliknya.Murid-murid kelas 1-5 seketika langsung diam. Beberapa ada yang tak percaya atas apa yang didengarnya. Ada pula yang mendadak kagum, ternyata ada juga kelebihan Arai, teman mereka yang hobi duduk paling belakang dan ngerusuh di kelas.“Woooow, ada berandalan pinter bikin puisi!” ledek Choki.“Ssstttt! Tenang dulu, Choki. Saya lagi ngomong sama Arai nih. Rai, gimana? Boleh nggak Ibu ikutkan?” timpal Bu Cita.“Hadiahnya apa, Bu?” tanya Arai.“Ada uang dengan nominal lumayan serta piagam. Piagam ini bisa kamu pakai nanti waktu tes ujian masuk kuliah. Lombanya satu provinsi se-DKI aja kok,” jawab Bu Cita tenang. “Tertarik?”“Uangnya berapa, Bu?” tanya Arai.“Huuuu, dasar mata duitan!”
Arai masuk ke lab Bahasa dengan lebih dulu melepaskan sepatu sneakersnya dan meletakkannya di rak sepatu yang disediakan. Lab Bahasa sekolah mereka adalah yang terbaik dan tercanggih di wilayah itu. Selain dilengkapi komputer, masing-masing meja juga memiliki headphone untuk mendengarkan pronunciation saat pelajaran Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang diajarkan.Ruangan lab ini mengharuskan pengunjungnya melepas alas kaki mereka. Hal ini dikarenakan ruangan itu ditutupi oleh karpet untuk membantu meredam suara dari luar.Di dalam, ada 3 siswi lain yang sudah duduk di meja masing-masing. Arai segera duduk tak jauh dari mereka. Beberapa menit kemudian Bu Cita masuk.“Selamat siang, selamat dan terimakasih untuk kalian yang mau melewatkan pembekalan untuk proses tahapan perlombaan selanjutnya. Ada pepatah mengatakan: “Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Untuk itu, ayo silahkan satu-satu berkenalan dulu. Mulai dari kamu, Matari. Sebutkan Nama, ke
“Yang mana sih orangnya?” tanya Sandra kepo setelah Matari menceritakan kejadian tempo hari tentang Arai.“Anak 1-5, kurus, kecil. Mungkin sama gue tingginya sama atau malah lebih pendek?” kata Matari menyebutkan ciri-ciri Arai.“Mungkin dia bukan tipe yang suka ikut acara resmi kaya gitu. Namanya cowok. Apalagi kalau bener kata lo, dia anak GWR.”Geng GWR sebenarnya sudah terkenal di seluruh pelosok SMA Negeri B Tebet. Geng tersebut ternyata turun temurun. Sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu dengan anggotanya yang akan berganti-ganti sesuai angkatan yang ada.Bagi anak kelas 1, masuk ke geng tersebut ada yang menganggap keren, ada juga yang menganggap tidak penting. Apa sih kerjaan mereka sepulang sekolah? Paling cuma ngerokok, cat calling cewek-cewek cakep yang lewat dan ngobrol nggak jelas berjam-jam. Menjelang Ashar biasanya emang udah pada bubar, tapi ada juga yang betah nongkrong sampai Magrib.Matari