“Emang lo belom ada SIM?” tanya Bang Ali heran.
“Yaaa belumlah, Bang. Kan masih kelas 1,” jawab Davi.
“Lah itu lo bawa motor. Kirain udah punya.”
“Ya kucing-kucingan aja, Bang. Sama doa-doa aja, biar nggak kena Razia dadakan. Hehehe.”
“Hahaha. Sama sih. Gue juga dulu gitu. Daripada baru punya SIM belum bisa banget naik motor kan? Mendingan punya SIM pas udah lancar.”
“Iya, Bang. Hehehe.”
“Kalau lo suka vespa, gue ada kenalan. Tuh gue ada vespa satu. Tapi cuma buat koleksi. Cuma buat punya-punyaan doang. Jarang gue pakek. Paling gue panasin doang. Soalnya gue kurang suka vespa buat jalan.”
“Boleh lihat, Bang?”
“Hahaha, boleh-boleh. Dia agak nyempil karena jarang keluar. Lo cek aja deh pojok-pojok sana.”
Davi memperhatikan area yang ditunjuk oleh Bang Ali. Dengan cepat, dia mendekat ke arah motor-motor klasik, motor-
“Muka lo nggak enak banget. Diinterogasi sama Abang gue macem-macem ya?” tanya Ayla saat mereka sudah duduk di teras samping rumahnya.Davi tersenyum.“Dia kaya gitu ke semua temen cowok gue yang dateng sendirian ke sini. Kalau yang rame-rame macem Praja tadi buat kerjain tugas ya enggak. Apalagi ini malem minggu. Jadinya ya gitu deh. Maaf ya kalo bikin lo nggak nyaman.”“Nggak kok, La. Santai aja. Namanya juga kakak, biasalah kaya gitu. Kakak gue juga kadang gitu, dengan caranya sendiri.”“Nah, baguslah kalo lo bisa ngerti. Karena ada juga yang habis digituin sama Abang gue, kabur, pada takut kali. Yang niatnya temenan atau baik beneran mah, biasanya malah jadi temenan sama Abang gue juga.”“Iya. Tenang aja, La. Gue kan ada misi pencarian vespa sama Abang lo juga.”“Oh ya? Lo suka vespa?”“Iya. Kemarin gue lihat di jalan, bagus. Makanya gue punya niat, kalo
“Puisi kamu bagus, Rai. Ibu ikutkan ke lomba sastra tahun ini ya?” tanya Bu Cita, guru Bahasa Indonesia kelas 1, saat menyerahkan hasil tugas Arai ke pemiliknya.Murid-murid kelas 1-5 seketika langsung diam. Beberapa ada yang tak percaya atas apa yang didengarnya. Ada pula yang mendadak kagum, ternyata ada juga kelebihan Arai, teman mereka yang hobi duduk paling belakang dan ngerusuh di kelas.“Woooow, ada berandalan pinter bikin puisi!” ledek Choki.“Ssstttt! Tenang dulu, Choki. Saya lagi ngomong sama Arai nih. Rai, gimana? Boleh nggak Ibu ikutkan?” timpal Bu Cita.“Hadiahnya apa, Bu?” tanya Arai.“Ada uang dengan nominal lumayan serta piagam. Piagam ini bisa kamu pakai nanti waktu tes ujian masuk kuliah. Lombanya satu provinsi se-DKI aja kok,” jawab Bu Cita tenang. “Tertarik?”“Uangnya berapa, Bu?” tanya Arai.“Huuuu, dasar mata duitan!”
Arai masuk ke lab Bahasa dengan lebih dulu melepaskan sepatu sneakersnya dan meletakkannya di rak sepatu yang disediakan. Lab Bahasa sekolah mereka adalah yang terbaik dan tercanggih di wilayah itu. Selain dilengkapi komputer, masing-masing meja juga memiliki headphone untuk mendengarkan pronunciation saat pelajaran Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya yang diajarkan.Ruangan lab ini mengharuskan pengunjungnya melepas alas kaki mereka. Hal ini dikarenakan ruangan itu ditutupi oleh karpet untuk membantu meredam suara dari luar.Di dalam, ada 3 siswi lain yang sudah duduk di meja masing-masing. Arai segera duduk tak jauh dari mereka. Beberapa menit kemudian Bu Cita masuk.“Selamat siang, selamat dan terimakasih untuk kalian yang mau melewatkan pembekalan untuk proses tahapan perlombaan selanjutnya. Ada pepatah mengatakan: “Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Untuk itu, ayo silahkan satu-satu berkenalan dulu. Mulai dari kamu, Matari. Sebutkan Nama, ke
“Yang mana sih orangnya?” tanya Sandra kepo setelah Matari menceritakan kejadian tempo hari tentang Arai.“Anak 1-5, kurus, kecil. Mungkin sama gue tingginya sama atau malah lebih pendek?” kata Matari menyebutkan ciri-ciri Arai.“Mungkin dia bukan tipe yang suka ikut acara resmi kaya gitu. Namanya cowok. Apalagi kalau bener kata lo, dia anak GWR.”Geng GWR sebenarnya sudah terkenal di seluruh pelosok SMA Negeri B Tebet. Geng tersebut ternyata turun temurun. Sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu dengan anggotanya yang akan berganti-ganti sesuai angkatan yang ada.Bagi anak kelas 1, masuk ke geng tersebut ada yang menganggap keren, ada juga yang menganggap tidak penting. Apa sih kerjaan mereka sepulang sekolah? Paling cuma ngerokok, cat calling cewek-cewek cakep yang lewat dan ngobrol nggak jelas berjam-jam. Menjelang Ashar biasanya emang udah pada bubar, tapi ada juga yang betah nongkrong sampai Magrib.Matari
“Rai, ada yang nyari lo tuh,” kata Anton saat jam istirahat sudah hampir habis.“Hah? Siapa?” tanya Arai bingung.“Nggak tahu, cewek,” jawab Anton sambil mengangkat bahu.“Ciyeee, siapa tuh,” ledek Choki yang karena rasa penasarannya mengikuti Arai keluar kelas.Di sana ada Matari yang berdiri bersama anak perempuan berambut pendek dengan tulisan nama depan Sandra di bagian badge namanya. Choki sama sekali belum pernah melihat mereka. Meskipun tampaknya mereka juga sama-sama kelas 1 seperti dirinya.“Widiiiih, siapa nih cakep-cakep pisan. Kenal di mana lo?” bisik Choki pada Arai.“Sssst, diem, cuy!” sahut Arai. “Kenapa, Ri?”Matari menyerahkan selembar kertas folio pada Arai. Arai membaca isi kertas itu. Ternyata kerangka karangan milik Matari yang akan digunakannya untuk lomba cerpen.“Ini punya gue, gue harap punya lo bisa segera jadi ya
Kelompok berisi 2 orang sudah ditetapkan secara acak oleh Pak Janus, guru Bahasa Inggris mereka saat pelajaran baru saja dimulai. Setelah selesai membagi, tanpa terkecuali, semua harus duduk berdasarkan kelompok masing-masing.Matari segera duduk di sebelah Ayla, tanpa perlu jauh-jauh bertukar seperti Praja yang harus pindah ke sisi lain ataupun Dinda yang harus berpindah ke sisi depan. Ayla sih cukup senang satu kelompok dengan Matari. Menurut pengamatannya dia cukup pintar dalam semua mata pelajaran. Dan itu cukup menguntungkan dirinya sendiri, yang telah menyadari kapasitas otaknya cukup terbatas.“Sekarang, kalian hapalkan conversation itu. Kelompok ganjil menghapalkan convo A, dan kelompok genap convo B. Nanti saya panggil random ya. Siapapun bisa dapat giliran pertama. Menghapal selama setengah jam ya. Saya ke toilet dulu,” kata Pak Janus sambil keluar kelas.Kelas berubah riuh, semua orang menghapalkan dengan cara masing-masing. Ada yang sampa
Malam Minggu berikutnya, Ayla kedatangan Bang Luigi, leader geng GWR yang sekarang duduk di kelas 3. Luigi tak sendiri. Dia membawa beberapa teman seangkatannya yang tergabung di dalamnya serta beberapa anak kelas 1 yang baru bergabung. Termasuk di dalamnya Arai dan Choki. Anton enggan ikut, karena dia tahu, tujuan utama mereka adalah rumah Ayla, mantan pacarnya. Bang Luigi bisa memaklumi alasan itu. Meskipun mereka sebenarnya hendak menemui Bang Ali untuk membahas touring motor ke Bandung 2 minggu lagi.Arai dan Choki sudah diajak berkali-kali untuk join di acara touring ini. Mereka disarankan untuk membonceng saja, tak usah membawa motor, karena sama-sama belum punya SIM. Namun, keduanya kompak menolak. Arai malas izin ke Ayahnya untuk menginap, sedangkan Choki, masih sedikit takut pada Bapaknya untuk ikut acara di luar sekolah.“Abang lo mane, La?” tanya Bang Luigi yang kaget saat Ayla yang keluar menemui mereka, bukan Bang Ali.“Lagi keluar
Sebelum pembekalan berakhir, Matari telah mengumpulkan naskah cerpen barunya ke Bu Cita. Bu Cita bilang, pengumuman paling lambat 1 bulan lagi. Dia cukup bangga pada Matari, bisa menyelesaikan lebih cepat dari tenggat waktu yang diberikan. Padahal dia tak berkelompok dengan siapapun sekarang. Kemunduran Arai tampaknya tetap membuatnya semangat maju terus pantang mundur.Keluar dari ruang guru, Matari berpapasan dengan Ayla dan Davi. Entah apa yang mereka berdua lakukan bersama-sama, namun, Matari tak bisa menghindar. Bahkan Ayla menarik tangannya untuk ikut bersamanya ke taman sekolah.“Sekarang kalian baikan di depan mata gue!” kata Ayla.Davi dan Matari sama-sama tertegun. Tak menyangka, Ayla berkata seperti itu pada mereka.“Helooo? Kok bengong? Baikan doang masa nggak bisa? Gue nggak minta kalian BALIKAN lho ya!” kata Ayla memaksa.Davi menarik napas. Sebenarnya ada benarnya juga ucapan Ayla. Baikan apa salahnya? T