Sebelum pembekalan berakhir, Matari telah mengumpulkan naskah cerpen barunya ke Bu Cita. Bu Cita bilang, pengumuman paling lambat 1 bulan lagi. Dia cukup bangga pada Matari, bisa menyelesaikan lebih cepat dari tenggat waktu yang diberikan. Padahal dia tak berkelompok dengan siapapun sekarang. Kemunduran Arai tampaknya tetap membuatnya semangat maju terus pantang mundur.
Keluar dari ruang guru, Matari berpapasan dengan Ayla dan Davi. Entah apa yang mereka berdua lakukan bersama-sama, namun, Matari tak bisa menghindar. Bahkan Ayla menarik tangannya untuk ikut bersamanya ke taman sekolah.
“Sekarang kalian baikan di depan mata gue!” kata Ayla.
Davi dan Matari sama-sama tertegun. Tak menyangka, Ayla berkata seperti itu pada mereka.
“Helooo? Kok bengong? Baikan doang masa nggak bisa? Gue nggak minta kalian BALIKAN lho ya!” kata Ayla memaksa.
Davi menarik napas. Sebenarnya ada benarnya juga ucapan Ayla. Baikan apa salahnya? T
“Jangan bubar dulu ya, nanti setelah upacara, akan ada penyerahan simbolis untuk para pemenang dari sekolah kita yang ikut perlombaan Sastra beberapa saat yang lalu. Baik, begitu saja pidato saya hari ini. Pemimpin upacara, saya kembalikan susunan acaranya ya, terimakasih. Wassalamualaikum!” kata Pak Janus, yang kali ini bergiliran menjadi pembina upacara hari Senin.Pemimpin upacara yang berasal dari ekskul paskibra, segera berteriak lantang untuk melakukan gerakan siap grak. Setelah penghormatan terakhir untuk mengiringi pembina upacara meninggalkan lapangan upacara, dan beberapa acara penutup lainnya, protokol upacara segera memberikan info agar para peserta tetap tenang untuk mendengarkan pengumuman pemenang lomba.Bu Cita, selaku guru Bahasa Indonesia, meminjam mic milik protokoler.“Assalamualaikum warohmatulohi wabarokatuh. Ibu minta waktunya sebentar ya. Tolong tetap tenang. Saya tahu kalian lelah, kepanasan dan capek. Tapi, Ibu harus m
“Widih tadi ada cewek cakep maju ke depan, rambutnya baru dipotong sebahu, hey, hey siapa diaaaaa?” ledek Pito bernyanyi pada Davi yang duduk kembali di kursinya setelah upacara selesai.“Iya, tambah cakep aja si Matari ya? To, kenalin dong!” kata Kiwil yang mengira ledekan Pito untuk dirinya.“Wil, lo izin dulu tuh sama sebelah lo!” sahut Pito sambil tertawa.“Hah? Emang siapa dia sampe harus izin-izin segala?” timpal Kiwil bingung.“Apaan sih? Norak lu! Ya emang dari dulu dia cakep, trus kenapa?” sahut Davi pada Pito.“Kan gue denger udah baikan tuh kalian. Nggak mau diajak sekalian balikan apa?” tandas Pito.Kiwil tampak semakin bingung. Pito langsung menutup mulutnya. “Ups!”“Heh, Tambun! Kasih tahu dong, balikan gimana maksud kalian?” tanya Kiwil terus memaksa.“Sial, jangan pakek ngatain orang tambun dong!” kata Pit
Hera datang ke kota Jakarta dari Bengkulu setelah Ayahnya meninggal. Bi Narti, salah satu Bibinya yang mencoba membantu Bu Sisi, Ibu Hera, membujuk Hera agar tinggal di rumahnya di Jakarta. Bibinya tahu, dengan beban 4 orang anak perempuan yang masih gadis, tentunya susah merawat mereka semua tanpa adanya Ayah mereka lagi. Untuk itulah, selepas SMP, Hera pindah ke Jakarta dan bersekolah di SMA Negeri B Tebet.Logat Jakartanya memang terdengar cukup aneh dan kikuk, mungkin dia sedang membiasakan diri untuk dapat berbicara dengan bahasa gaul anak Jakarta. Hal itu dilakukannya agar bisa diterima dengan baik oleh mereka semua. Dia merasa cukup beruntung, perkenalannya dengan Marsha saat hari pendaftaran, membawanya menjadi salah satu anggota geng populer di kelas 1.Kini, dia menghadapi dilema. Gejolak mudanya untuk jatuh cinta pada lawan jenis, membuncah saat pertama kali bertemu Davi setelah hari MOS berakhir. Cinta pada pandangan pertama yang dia yakini untuk pertama ka
Sudah sebulan lebih Arai menitipkan motor di warung rokok milik Rambo. Karena biayanya jauh lebih murah. Dia bahkan bisa mendapatkan lebihan uang saku dari jatah parkir yang diberikan Ayahnya.Sebenarnya sejak awal, Ayahnya cukup khawatir pada Arai karena harus membawa motor sendiri. Apalagi dia belum ada SIM. Tapi mengingat sekolah mereka cukup jauh dari rumah dan beliau sendiri tak bisa mengantarkan, mau tak mau Ayahnnya akhirnya mengizinkan.“Rai, motor lo standar pabrikan banget, nggak mau di modif apa?” tanya Bang Luigi. “Di chrome aja dikit-dikit. Biar keren gitu.”Arai memperhatikan motor Bang Luigi. Motor balap itu sudah full modif sana-sini.“Murah kok, motor lo kan motor bebek. Di langganan gue aja, Bang Ali juga di sana. Tempatnya enak, bisa nongkrong. Ada PS, tv, ada warung nasinya. Nungguin jadi berasa nggak ngebosenin deh!” ujar Bang Luigi lagi.Menyebut nama Bang Ali, tentu saja Arai langsung meras
Entah sudah kali keberapa malam minggu Arai dan Choki diisi mampir ke rumah Ayla dulu. Bang Luigi mengajak teman-temannya di geng GWR untuk nongkrong bersama karena keberhasilan touring mereka ke Bandung beberapa saat yang lalu. Entah ada angin apa, kali ini Anton ikut bersama mereka. Padahal biasanya, dia nggak mau ikut kalo harus mampir ke rumah Ayla dulu. Choki menebak sih, Bang Luigilah yang berhasil membujuknya kali ini.Saat membantu Ayla dan Bi Wuri di dapur, Bi Jaja, ART-nya yang lain datang mendekat.“Non, ada yang nyariin tuh. Namanya Davi,” kata Bi Jaja.Ayla mengerutkan dahi. Menyadari bahwa garasi belakang sedang penuh dengan geng-nya Bang Luigi, Ayla akhirnya memutuskan untuk meminta Bi Jaja agar Davi diterima di ruang tamu utama saja.“CIYEEE, Ayla diapelin nih. Ada Anton juga lho, La. Mau tandem sekalian apa?” ledek Choki.“Najis! Dia temen gue tahu. Udah kalian bawa minuman ini ke garasi belakang. Trus
Sepeninggal Davi pulang, Ayla masih duduk di ruang tamu. Mendengarkan MP3 lagu-lagu sendu favoritnya dari HP yang dia miliki. Tanpa disadarinya, Arai sudah duduk di dekatnya membolak-balik majalah bisnis lama milik papanya.“Ya ampun! Kaget!” seru Ayla.“Laaaa, gue udah di sini dari 5 menit yang lalu kali! Lo aja yang lagi bengong sambil dengerin lagu sedih gitu. Kenapa lo? Nggak kesambet kan?” timpal Arai bingung.“Enggak, gue lagi menyesali beberapa hal,” kata Ayla.“Widih, serius nih kayanya. Diapain Davi lo?”“Hah? Davi?”“Iya, Davi anak 1-5 kan? Yang anak skater? Yang barusan dateng? Gue ngintip-ngintip tadi!”“Eh, iya. Lo kenal?”“Nggak sih. Tahu aja. Anak pejabat di sekolah kita kan bisa dihitung pakai jari. Nggak ada 10.”“Iya juga sih.”“Diapain sama dia lo? Perlu gue bilang sama Abang lo?&rdq
Setelah sekian lama berbagi HP dengan Sandra dan Tante Dina, akhirnya Matari bisa membeli HP dengan uang hasil keringatnya sendiri mengikuti lomba menulis sastra itu. Matari masih tak percaya, benda mungil yang sering diinginkannya itu sudah bisa dia miliki sekarang sendirian. Tak ada lagi meminjam ke Sandra untuk bertanya PR. Tak ada lagi menjawab: “nggak punya HP” apabila ditanya oleh teman-temannya di sekolah.Hari pertamanya ke sekolah dengan HP barunya, membuatnya cukup bangga pada diri sendiri. Meskipun uang pulsa belum dijatah secara resmi oleh Ayahnya tapi Tante Dina membantu Matari mengisi dengan nominal Rp 25.000,- setiap bulannya. Hal ini dikarenakan Ayahnya masih belum setuju Matari punya HP sendiri. Dia merasa benda itu terlalu mahal untuk anak seusianya. Walaupun jelas-jelas HP itu dibelinya tanpa meminta sepeserpun dari Ayahnya sama sekali.Matari masih asyik memainkan HP barunya, saat Ayla datang. Dinda menyusul di belakangnya.&ldquo
“RAI! Sampe kapan lo mantengin HP lo terus-terusan?” ledek Choki saat mereka nongkrong di salah satu sudut taman kompleks, dekat rumah Ayla saat malam Minggu tiba.Arai hanya tersenyum gelisah. Dia menggaruk-garuk kepalanya.“Emang lo belum SMS si Matari juga, Rai?” tanya Anton ikut nimbrung.“Belum dia. Cemen emang. Ajarin dong, Ton!” seru Choki.Anton tergelak. “Gue sih selama ini ya tinggal SMS aja kalo sama cewek. Nggak pake mikir-mikir yang gimana-gimana. Emang kudu gimana sih?”Arai tak menjawab. Dia sendiri bingung harus menjawab apa.“Mulainya yang gimana? Masa iya tiba-tiba ngajakin keluar!” timpal Choki.“Hmmm, itu toh yang lo bingungin? Kalo udah kenal mah santaaaai. Sok-sokan tanya tugas sekolah kek atau apa kek. Kan kita suka dapet tugas yang sama walaupun beda kelas,” ujar Anton.Arai semakin merasa bingung. Choki juga sama bingungnya. Keduany