Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya.
“Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya.
Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama.
“Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum.
“Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya.
“Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Davi.
“Iyes. Bukan nama asli. Nama panggilan dari SD sih karena kalau rambut gue panjang dikit kriwil-kriwil. Jadi kebiasaan deh sampai sekarang. Lo panggil aja gue itu,” sahut Kiwil sambil tertawa.
“Oh, kirain. Siap, Bung Kiwil!” timpal Davi sambil tertawa.
“Udah punya temen sebangku lo?” tanya Kiwil.
“Belum sih. Nggak banyak yang gue kenal dari SMP gue,” sahut Davi.
“Mau duduk sama gue, nggak?” tanya Kiwil lagi.
Davi mengangguk. “Boleh, boleh aja. Tapi jangan belakang banget ya, boleh tuh kalau nomor 2 atau nomor 3 dari belakang.”
“Tenang, gue juga minus kok. Cuma males pakai kacamata.”
Davi sumringah. Kiwil tampaknya baik. Dia bersyukur, bisa dapat teman sebelah dalam waktu singkat. Dia sudah bertekad, dia nggak akan bersikap sepasif waktu SMP dulu. Dia harus punya banyak teman dan bergaul. Bukannya banyak orang bilang, masa yang paling indah adalah masa SMA? Dia tak boleh menyia-nyiakan masa-masa ini.
BRUK!
Davi hampir terpental saat seorang cewek lewat dan menabraknya secara tak sengaja. Cewek itu memakai baju SMP tanpa badge, sehingga Davi pun tak bisa menerka dia berasal darimana. Bahkan badge nama dia pun tak ada.
“Maaf, maaf, sakit ya?” tanya cewek itu pada Davi. “Marsha, kamu jangan lari-lari dong! Engap nih! Tuh lihat, aku sampai nabrak orang nih!”
Davi menatap cewek bernama Marsha yang berdiri tak jauh dari mereka. Rambut kecokelatannya yang terang dan mencolok tentu menarik perhatian siapapun di dekatnya. Namun, Davi tahu, Marsha adalah tipikal cewek angkuh yang enggan berurusan dengan siapapun. Cewek-cewek seperti itu banyak ditemuinya saat gathering antar keluarga pejabat di seluruh pelosok Jakarta. Sikap mereka kurang lebih sama.
“Lagian elo sih jalan lambat banget!” seru cewek bernama Marsha itu.
“Iya, iya! Maaf deh!” timpal cewek yang baru saja menabrak Davi tersebut. “Eh, beneran kamu nggak papa kan?”
Davi tersenyum. “Santai aja, nggak papa kok gue!”
Cewek berambut model bob pendek itu tertegun menatap Davi terlalu lama, entah kenapa. Hingga akhirnya cewek lain bernama Marsha itu menariknya segera untuk pergi ke kelas mereka.
“Gue denger, dia pakek jalur belakang,” bisik Kiwil pada Davi.
Davi tak menyahut. Kiwil melanjutkan informasinya lagi.
“Dia dulu anak salah satu SMP swasta, makanya lo bisa lihat, rambutnya boleh dicat warna macem-macem kan? Belum aja kena operasi dadakan. Denger-denger, SMA ini sering ngadain kaya gituan,” kata Kiwil lagi.
Davi merasa Kiwil seperti seorang informan. Baru juga sekolah 1 minggu, itupun MOS, dia sudah memegang banyak informasi-informasi ringan. Dia jadi teringat Abdi, dulu, Abdi yang selalu punya informasi-informasi seperti ini saat dia SMP. Sayang, Abdi, sahabat masa SMP-nya itu memilih sekolah militer di luar kota.
“Ini kelas 1-10 ya, Dav?” seorang anak laki-laki bertubuh tambun dan menjulang tinggi berdiri di belakang mereka berdua.
“Iya,” sahut Davi bingung, siapa dia? Sok kenal banget?
“Kata temen gue, gue di sini. Trus barusan cek di daftar nama eh ternyata bener, ada,” kata si cowok sambil mengulum permen karetnya.
“Berarti lo sekelas sama kami!” kata Kiwil.
“Hmmm, gitu ya. Asyiiiik, ada yang kenal!” sahut si cowok dengan wajah polos.
“Nama lo siapa, btw?” tanya Kiwil sok kenal. “Gue Kiwil, ini temen sebelah gue nanti, namanya Davi.”
“Petter Oktavianus, panggil aja Pito, gue dari SMP C Menteng.” sahut cowok itu sambil tersenyum.
“Pito? Lo Pito si drummer?” tanya Davi curiga.
“Ya iyalah! Kalau nggak ngapain tadi gue sok kenal sama lo?”ujar Pito kesal.
Davi sungguh tak percaya. Pito yang dikenalnya saat SMP, meskipun hanya sepintas karena tak pernah dekat, berbeda jauh dari segi fisik saat ini. Pito yang dikenalnya, dulu kurus. Sedangkan cowok di hadapannya itu, hampir 3 kali lebih besar. Tubuhnya yang tinggi, membuatnya semakin seperti raksasa berkulit terang.
“Gue nggak ngenalin tadi, maaf ya?! Hahaha,” sahut Davi.
“Iya, gue beda banget ya? Gue emang menggendut waktu libur sekolah karena banyak makan. Sadar-sadar udah segede ini, ya maklum aja lo pangling lihat gue,” timpal Pito.
“Tenang aja, sob! Masih dalam masa pertumbuhan!” seru Kiwil.
Pito tertawa. Davi merasa lega, ternyata di kelasnya ada yang berasal dari SMP yang sama dengan dirinya. Pito, si drummer yang pernah populer karena satu band dengan Matari, mantan pacarnya, waktu SMP.
Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina
Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”Bu Fitri mengangguk. “Betul
Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.
“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah. “Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari. “Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra. “Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa. “Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra. Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar. “Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh
“Pagi, Ayla! Eh, La, rumah lo mana sih?” tanya Davi saat melihat Ayla berjalan menuju ke kelasnya.“Pagi juga. Deket sini kok. Bukan kompleks,” sahut Ayla.“Tiap hari dianterin Abang lo ya?” tanya Davi lagi, berbasa-basi.“Iya, soalnya sekalian dia berangkat sekolah juga. Lo juga gue lihat beberapa kali dianterin sama mobil J**p sama cewek, hayooo, siapa tuh?” timpal Ayla.“Itu kakak gue tahu! Sembarangan!” sahut Davi.Ayla tergelak lagi. Tawanya benar-benar membuat Davi terkesima sekali lagi. Apakah itu artinya dia mulai suka pada Ayla? Hanya tawa sederhana itu, membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Gue boleh main ke rumah lo nggak? Mmm, gue mau lihat koleksi motor Abang lo dong!” tanya Davi kemudian.Davi tahu, cuma itu salah satu alasan, dia bisa datang ke rumah Alya.“Oh, mau lihat motornya Bang Ali? Boleh-boleh aja. Besok Sabtu gimana? Anak