Matari mengucek kemeja bagian bawahnya dengan susah payah dengan air kran, namun noda cokelat dari tanah itu tak mau hilang. Toilet perempuan SMA Negeri B Tebet sudah tampak lengang. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Tak banyak senior SMA yang tersisa di kelas mereka masing-masing. Kebanyakan berkumpul di sekitar area lapangan untuk menonton MOS (Masa Orientasi Siswa) kelas 1 di lapangan.
“Eh, kamu ya, yang tadi kena tanah waktu dikerjain kakak-kakak MOS? Aku juga nih! Aku ada garam nih, minta sama orang kantin. Kata Mama aku, kamu bisa pakai garam biar ilang sementara waktu. Nanti di rumah pakai baking soda ya atau lemon kalau ada,” kata seorang cewek berambut panjang lurus menatapnya dengan lekat-lekat yang datang tiba-tiba di belakang Matari.
Dari seragam yang dipakainya, Matari tahu dia mantan anak SMP swasta mahal yang berada di dekat sini. Cewek itu memberikan sedikit garam yang digenggamnya di tangan dengan hati-hati ke tangan Matari.
“Makasih ya,” kata Matari sambil tersenyum.
“Sama-sama. Kayanya cuma kita sama anak-anak cowok ya yang apes?” timpal cewek itu sambil tergelak.
“Iya soalnya aku nggak punya tusuk sate, jadi tadi pakai lidi biasa di rumah. Alhasil nggak kuat buat bikin nasi kepal tusuk tiganya, trus waktu disuruh angkat buat nunjukin, nasinya jatuh ke tanah,” kata Matari. “Habis itu kena hukum buat merayap deh pakai seragam.”
“Hihihi, coba kamu kenal sama aku, aku pasti kasih kamu tusuk sate banyak. Gratis!” sahut cewek itu lagi.
“Kalo kamu tadi dihukum kenapa?” tanya Matari penasaran, karena dia pikir gadis itu juga dihukum karena kesalahan yang sama.
“Hmmm kalau aku, aku ketahuan pura-pura sakit, hehehehe,” sahutnya polos.
“Hahaha, beneran?”
“Iya. Aku tadi sok-sok lemes gitu minta ke UKS, tapi mereka tahu aku bohong. Eh lihat-lihat! Udah lumayan kan, nodanya jadi tipis? Nanti di rumah dibersihin lagi ya? Yuk kita balik lagi ke lapangan.”
Matari dan cewek yang tak diketahui namanya itu berjalan bersama-sama menuju lapangan dan segera berpisah masuk ke barisan masing-masing. Matari lupa menanyakan namanya. Cewek itu dilihatnya telah bergabung dengan gugus 2, kelompok yang berbeda dengan Matari, di gugus 4. Di seragamnya sendiri tak ada badge nama atau apapun. Hanya bordiran nama sekolah swastanya yang terkenal mahal itu. Matari yakin, cewek itu pasti anak orang kaya. Cuma orang-orang kaya yang bisa masuk sekolah swasta itu.
Matari masih memperhatikan cewek pemberi garam di kelompoknya saat dia menyadari bahwa ternyata cewek itu bersebelahan dengan gugus milik Davi. Untung ini sudah hari terakhir MOS dan dia baru ingat kalau Davi satu sekolah dengannya lagi sekarang. Ingin dia maki dirinya sendiri yang punya nasib sesial itu harus satu sekolah dengan mantan pacarnya yang bernama Davi ini. Kenapa harus satu sekolah lagi dengan dia? Bukannya dia mau masuk sekolah swasta internasional yang akan dituju oleh Lisa, sahabatnya semasa SMP, juga?
“Kenapa bengong?” bisik Sandra, sepupunya yang berdiri di sebelahnya.
Beruntungnya kali ini dia satu kelompok dengan sepupunya itu. Meskipun dia nggak yakin dia akan satu kelas juga dengan Sandra. Sandra adalah sepupunya yang juga masuk ke sekolah yang sama dengan dirinya. Selain satu sekolah, Sandra juga satu rumah dengannya.
“Liatin Davi lo ye?” bisik Sandra.
Matari cuma meringis. Sandra menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan.
“Lo lihatin kakak senior cewek yang rambut panjang diiket tinggi itu. Mukanya mirip sama Arga nggak sih?” bisik Sandra lagi.
Matari menatap cewek yang dimaksud. Persis sesuai pendapat Sandra, memang cewek itu mirip banget sama Arga. Bahkan itu seperti Arga dengan rambut panjang dan bertubuh perempuan. Arga, si adik kelas yang pernah sedikit mencuri perhatiannya waktu SMP. Bagaimana kabar dia sekarang ya? Entahlah, dia pasti sudah naik kelas 3 sekarang. Dan Matari sudah sangat jarang berpapasan di sekitar rumah seperti dulu waktu mereka masih satu sekolah. Rumah Arga yang dekat dengan Matari, selalu membuatnya sering bertemu tanpa sengaja. Tapi entah kenapa, sejak Matari mempersiapkan masuk SMA hingga sekarang sudah resmi menjadi murid SMA, Arga sudah jarang terlihat olehnya. Bahkan untuk sekedar jalan kaki lewat depan rumahnya pun tidak.
“Iya, mirip. Kakaknya kali ya?” tanya Matari penasaran.
Sandra mengangguk. “Gue yakin sih. Bukannya dia pernah cerita punya kakak cewek kelas 1 SMA waktu kita kelas 3 SMP kemarin dulu itu?”
“Emang sekolah sini ya?”
“Nggak tahu juga, gue nggak nanya sih waktu itu. Mirip beneran tahu, kaya ini versi ceweknya Arga!”
“HEI KALIAN BERDUA! BISA DIEM NGGAK?” serang salah satu kakak senior membentak Matari dan Sandra yang ketahuan mengobrol. “Kakak ketua OSIS lagi sibuk ngejelasin informasi sekolah, kenapa kalian ngobrol? Kalau kalian ketinggalan informasi bukan salah gue ya!”
Matari dan Sandra langsung kompak terdiam. Kakak ketua OSIS yang dimaksud sedang menjelaskan bahwa seluruh murid baru kelas 1, bisa langsung mengecek kelasnya masing-masing setelah acara MOS ini selesai. Ketua OSIS berkacamata itu menjelaskan dengan detail seluruh area sekolah dengan pelan-pelan dan jelas seakan-akan dia sangat hapal seluruh sudut sekolah ini.
Matari tahu SMA Negeri B Tebet ini memang cukup besar dan luas hingga bertingkat 3. Tingkat pertama berisi deretan kelas 1, disusul deretan kelas 2 di lantai 2 dan untuk kelas 3 ada di deretan paling atas, lantai 3. Tak lupa dia mengucapkan selamat datang pada seluruh siswa kelas 1 dan berterimakasih karena telah mengikuti pekan MOS dengan baik hingga hari Jumat. Matari cukup beruntung, saat dia kelas 1 SMA, pemerintah Kota DKI Jakarta telah mengubah hari sekolah menjadi hanya 5 hari saja dari Senin hingga Jumat. Bedanya, Senin sampai Jumat sekolah lebih lama hingga pukul 2 atau 3 siang. Tapi lumayanlah, ada jeda 2 hari sebelum hari Senin datang kembali.
Setelah diperbolehkan bubar, Matari dan seluruh siswa kelas 1 berhamburan menuju ruangan demi ruangan kelas 1, mengecek daftar nama mereka masing-masing. Berhimpitan dengan anak-anak lain, Matari ahirnya menemukan namanya di kelas 1-3, sedangkan Sandra harus berjalan lurus lagi dan akhirnya menemukan namanya ada di 1-9. Matari merasa sedikit kecewa karena dia tidak bisa satu kelas dengan Sandra dan minimal duduk 1 meja dengannya. Di kelas 1-3 saat itu hanya sedikit nama yang dikenalnya saat SMP. Dan semuanya dari yang sedikit itu adalah nama yang tidak pernah satu kelas dengannya semasa SMP dulu.
“Hei, kita satu kelas kayanya ya?” tanya si cewek pemberi garam sambil tersenyum manis.
“Eh, kamu, di 1-3 juga?” tanya Matari canggung.
“Iya, hehehe. Gue lo aja ya ngobrolnya biar enak. Gimana?” tanya si cewek itu dengan ramah. “Nama gue Ayla.”
“Gue Matari,” sahut Matari sambil menyalami gadis itu dengan perasaan senang, setidaknya ada orang lain lagi yang dikenalnya.
“Eh sini deh, Din! Gue kenalin sama temen gue!” seru Ayla memanggil seorang cewek bertubuh sangat kurus dan jangkung.
Cewek kurus itu menyapa Matari. “Haloooo! Siapa nama lo? Gue Adinda Kartasasmita Handoyo, biasa dipanggil: Dindaaaaa di manakah kau beradaaaa?” serunya heboh sambil menyanyi salah satu lagu lama Katon Bagaskara.
“Hehehe, gue Matari. Kalian satu sekolah ya dulu?” sahut Matari yang menyadari warna seragam sekolah mereka yang sama.
“Iya dong, Cyin! Gue sama Ayla satu sekolah dan satu kelas mulu waktu SMP. Eh sekarang satu kelas lagi sama dia?!” seru Dinda heboh. “JANGAN BILANG LO MAU SEBELAHAN LAGI SAMA GUE?”
Matari tergelak melihat tingkah Dinda yang centil dan heboh tapi sekaligus juga lucu itu. Dia merasa cukup beruntung, selesai MOS dia sudah mendapatkan teman baru yang baik dan ramah.
Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya. “Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya. Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama. “Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum. “Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya. “Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Dav
Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina
Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”Bu Fitri mengangguk. “Betul
Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.
“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah. “Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari. “Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra. “Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa. “Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra. Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar. “Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh