Home / Fiksi Remaja / Senandung Masa SMA / Bab 1 Setelah Sekian Lama

Share

Bab 1 Setelah Sekian Lama

Matari mengucek kemeja bagian bawahnya dengan susah payah dengan air kran, namun noda cokelat dari tanah itu tak mau hilang. Toilet perempuan SMA Negeri B Tebet sudah tampak lengang. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Tak banyak senior SMA yang tersisa di kelas mereka masing-masing. Kebanyakan berkumpul di sekitar area lapangan untuk menonton MOS (Masa Orientasi Siswa) kelas 1 di lapangan.

“Eh, kamu ya, yang tadi kena tanah waktu dikerjain kakak-kakak MOS? Aku juga nih! Aku ada garam nih, minta sama orang kantin. Kata Mama aku, kamu bisa pakai garam biar ilang sementara waktu. Nanti di rumah pakai baking soda ya atau lemon kalau ada,” kata seorang cewek berambut panjang lurus menatapnya dengan lekat-lekat yang datang tiba-tiba di belakang Matari.

Dari seragam yang dipakainya, Matari tahu dia mantan anak SMP swasta mahal yang berada di dekat sini. Cewek itu memberikan sedikit garam yang digenggamnya di tangan dengan hati-hati ke tangan Matari.

“Makasih ya,” kata Matari sambil tersenyum.

“Sama-sama. Kayanya cuma kita sama anak-anak cowok ya yang apes?” timpal cewek itu sambil tergelak.

“Iya soalnya aku nggak punya tusuk sate, jadi tadi pakai lidi biasa di rumah. Alhasil nggak kuat buat bikin nasi kepal tusuk tiganya, trus waktu disuruh angkat buat nunjukin, nasinya jatuh ke tanah,” kata Matari. “Habis itu kena hukum buat merayap deh pakai seragam.”

“Hihihi, coba kamu kenal sama aku, aku pasti kasih kamu tusuk sate banyak. Gratis!” sahut cewek itu lagi.

“Kalo kamu tadi dihukum kenapa?” tanya Matari penasaran, karena dia pikir gadis itu juga dihukum karena kesalahan yang sama.

“Hmmm kalau aku, aku ketahuan pura-pura sakit, hehehehe,” sahutnya polos.

“Hahaha, beneran?”

“Iya. Aku tadi sok-sok lemes gitu minta ke UKS, tapi mereka tahu aku bohong. Eh lihat-lihat! Udah lumayan kan, nodanya jadi tipis? Nanti di rumah dibersihin lagi ya? Yuk kita balik lagi ke lapangan.”

Matari dan cewek yang tak diketahui namanya itu berjalan bersama-sama menuju lapangan dan segera berpisah masuk ke barisan masing-masing. Matari lupa menanyakan namanya.  Cewek itu dilihatnya telah bergabung dengan gugus 2, kelompok yang berbeda dengan Matari, di gugus 4. Di seragamnya sendiri tak ada badge nama atau apapun. Hanya bordiran nama sekolah swastanya yang terkenal mahal itu. Matari yakin, cewek itu pasti anak orang kaya. Cuma orang-orang kaya yang bisa masuk sekolah swasta itu.

Matari masih memperhatikan cewek pemberi garam di kelompoknya saat dia menyadari bahwa ternyata cewek itu bersebelahan dengan gugus milik Davi. Untung ini sudah hari terakhir MOS dan dia baru ingat kalau Davi satu sekolah dengannya lagi sekarang. Ingin dia maki dirinya sendiri yang punya nasib sesial itu harus satu sekolah dengan mantan pacarnya yang bernama Davi ini. Kenapa harus satu sekolah lagi dengan dia? Bukannya dia mau masuk sekolah swasta internasional yang akan dituju oleh Lisa, sahabatnya semasa SMP, juga?

“Kenapa bengong?” bisik Sandra, sepupunya yang berdiri di sebelahnya.

Beruntungnya kali ini dia satu kelompok dengan sepupunya itu. Meskipun dia nggak yakin dia akan satu kelas juga dengan Sandra. Sandra adalah sepupunya yang juga masuk ke sekolah yang sama dengan dirinya. Selain satu sekolah, Sandra juga satu rumah dengannya.

“Liatin Davi lo ye?” bisik Sandra.

Matari cuma meringis. Sandra menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan.

“Lo lihatin kakak senior cewek yang rambut panjang diiket tinggi itu. Mukanya mirip sama Arga nggak sih?” bisik Sandra lagi.

Matari menatap cewek yang dimaksud. Persis sesuai pendapat Sandra, memang cewek itu mirip banget sama Arga. Bahkan itu seperti Arga dengan rambut panjang dan bertubuh perempuan. Arga, si adik kelas yang pernah sedikit mencuri perhatiannya waktu SMP. Bagaimana kabar dia sekarang ya? Entahlah, dia pasti sudah naik kelas 3 sekarang. Dan Matari sudah sangat jarang berpapasan di sekitar rumah seperti dulu waktu mereka masih satu sekolah. Rumah Arga yang dekat dengan Matari, selalu membuatnya sering bertemu tanpa sengaja. Tapi entah kenapa, sejak Matari mempersiapkan masuk SMA hingga sekarang sudah resmi menjadi murid SMA, Arga sudah jarang terlihat olehnya. Bahkan untuk sekedar jalan kaki lewat depan rumahnya pun tidak.

“Iya, mirip. Kakaknya kali ya?” tanya Matari penasaran.

Sandra mengangguk. “Gue yakin sih. Bukannya dia pernah cerita punya kakak cewek kelas 1 SMA waktu kita kelas 3 SMP kemarin dulu itu?”

“Emang sekolah sini ya?”

“Nggak tahu juga, gue nggak nanya sih waktu itu. Mirip beneran tahu, kaya ini versi ceweknya Arga!”

“HEI KALIAN BERDUA! BISA DIEM NGGAK?” serang salah satu kakak senior membentak Matari dan Sandra yang ketahuan mengobrol. “Kakak ketua OSIS lagi sibuk ngejelasin informasi sekolah, kenapa kalian ngobrol? Kalau kalian ketinggalan informasi bukan salah gue ya!”

Matari dan Sandra langsung kompak terdiam. Kakak ketua OSIS yang dimaksud sedang menjelaskan bahwa seluruh murid baru kelas 1, bisa langsung mengecek kelasnya masing-masing setelah acara MOS ini selesai. Ketua OSIS berkacamata itu menjelaskan dengan detail seluruh area sekolah dengan pelan-pelan dan jelas seakan-akan dia sangat hapal seluruh sudut sekolah ini.

Matari tahu SMA Negeri B Tebet ini memang cukup besar dan luas hingga bertingkat 3. Tingkat pertama berisi deretan kelas 1, disusul deretan kelas 2 di lantai 2 dan untuk kelas 3 ada di deretan paling atas, lantai 3. Tak lupa dia mengucapkan selamat datang pada seluruh siswa kelas 1 dan berterimakasih karena telah mengikuti pekan MOS dengan baik hingga hari Jumat. Matari cukup beruntung, saat dia kelas 1 SMA, pemerintah Kota DKI Jakarta telah mengubah hari sekolah menjadi hanya 5 hari saja dari Senin hingga Jumat. Bedanya, Senin sampai Jumat sekolah lebih lama hingga pukul 2 atau 3 siang. Tapi lumayanlah, ada jeda 2 hari sebelum hari Senin datang kembali.

Setelah diperbolehkan bubar, Matari dan seluruh siswa kelas 1 berhamburan menuju ruangan demi ruangan kelas 1, mengecek daftar nama mereka masing-masing. Berhimpitan dengan anak-anak lain, Matari ahirnya menemukan namanya di kelas 1-3, sedangkan Sandra harus berjalan lurus lagi dan akhirnya menemukan namanya ada di 1-9. Matari merasa sedikit kecewa karena dia tidak bisa satu kelas dengan Sandra dan minimal duduk 1 meja dengannya. Di kelas 1-3 saat itu hanya sedikit nama yang dikenalnya saat SMP. Dan semuanya dari yang sedikit itu adalah nama yang tidak pernah satu kelas dengannya semasa SMP dulu.

“Hei, kita satu kelas kayanya ya?” tanya si cewek pemberi garam sambil tersenyum manis.

“Eh, kamu, di 1-3 juga?” tanya Matari canggung.

“Iya, hehehe. Gue lo aja ya ngobrolnya biar enak. Gimana?” tanya si cewek itu dengan ramah. “Nama gue Ayla.”

“Gue Matari,” sahut Matari sambil menyalami gadis itu dengan perasaan senang, setidaknya ada orang lain lagi yang dikenalnya.

“Eh sini deh, Din! Gue kenalin sama temen gue!” seru Ayla memanggil seorang cewek bertubuh sangat kurus dan jangkung.

Cewek kurus itu menyapa Matari. “Haloooo! Siapa nama lo? Gue Adinda Kartasasmita Handoyo, biasa dipanggil: Dindaaaaa di manakah kau beradaaaa?” serunya heboh sambil menyanyi salah satu lagu lama Katon Bagaskara.

“Hehehe, gue Matari. Kalian satu sekolah ya dulu?” sahut Matari yang menyadari warna seragam sekolah mereka yang sama.

“Iya dong, Cyin! Gue sama Ayla satu sekolah dan satu kelas mulu waktu SMP. Eh sekarang satu kelas lagi sama dia?!” seru Dinda heboh. “JANGAN BILANG LO MAU SEBELAHAN LAGI SAMA GUE?”

Matari tergelak melihat tingkah Dinda yang centil dan heboh tapi sekaligus juga lucu itu. Dia merasa cukup beruntung, selesai MOS dia sudah mendapatkan teman baru yang baik dan ramah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status