Beranda / Fiksi Remaja / Senandung Masa SMA / Bab 4 Siapakah Ayla?

Share

Bab 4 Siapakah Ayla?

Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.

“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.

Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”

Bu Fitri mengangguk. “Betul sekali, apapun. Abstract juga boleh. Kamu, yang bertanya, kamu bisa bantu saya bagikan kertas untuk teman-teman kamu. Sambil menunggu kertas dibagikan seluruhnya, saya akan absensi satu persatu. Saya mungkin sudah tua, tapi ingatan saya masih bagus. Saya akan mengingat setiap dari kalian. Setelah absensi, bagi yang sudah mendapat kertas, kalian langsung menggambar. Sambil menunggu lagi, saya akan langsung adakan pemilihan pengurus kelas. Ada calon untuk ketua kelas dulu?”

“Dinda aja, Bu!” seru Ayla kencang menunjuk Dinda.

Dinda menendang Ayla dengan sedikit kasar. “Apa sih? Kenapa jadi gue?”

Namun tampaknya Bu Fitri setuju-setuju saja. Siswa lain pun tak ada yang memprotes. Mengingat Bu Fitri tampaknya orang yang suka to the point dan tidak suka hal yang terbelit-belit.

“Saya mau satu calon lagi. Selain Dinda, ada lagi? Yang cowok mungkin?” tanya Bu Fitri.

“Prajaaaa, Bu!” seru Hafis asal.

“Mana nih yang namanya Praja?” tanya Bu Fitri lagi.

“Yang ini, Bu, yang pakai topi,” sahut Hafis.

“Oh, kamu. Tolong dilepas topinya ya, ini di dalam kelas. Tadi saya mau negur, tapi untung aja kamu ditunjuk temen kamu sendiri, jadi saya bisa sekalian. Oke, Praja, kandidat satunya. Dinda, kamu bagikan juga kertas kecil-kecil di meja saya yang sudah saya siapkan. Setiap anak boleh memilih salah satu calon,” kata Bu Fitri menjelaskan.

“Tapi, Bu, kami belum mengenal mereka,” kata salah satu anak yang duduk paling depan.

“Betul sekali. Justru itu, saya mau kalian bisa mengenal mereka. Saya juga nggak kenal mereka kok. Saya juga nggak kenal kamu. Kita semua baru bertemu beberapa menit, kan? Tapi kita semua sama, penghuni kelas 1-3 selama 1 tahun ke depan. Maka, kalian harus bisa menebak-nebak dari luar saja. Kenapa? Saya akan jelaskan di pertemuan berikutnya.”

Akhirnya semuanya hanya menerima saja keputusan Bu Fitri. Setelah mengumumkan dua calon kandidat ketua kelas, Bu Fitri mulai mengabsensi satu per satu. Matari dan teman-temannya mulai menggambar. Tak lupa mereka mengisi pilihan mereka masing-masing sebagai kandidat ketua kelas. Cewek paling depan yang sempat protes tadi, disuruh untuk membantu mengumpulkan nama-nama di gulungan kertas tersebut di sebuah kotak kayu usang yang ada di meja guru.

Nama demi nama dipanggil. Hingga akhirnya, Bu Fitri terhenti di sebuah nama.

“Ayla Adriana Santoso? Hmmm, kamu masuk di kelas ini rupanya ya, Ayla?” tanya Bu Fitri.

Tak hanya Praja, tampaknya Bu Fitri juga mengenal Ayla dengan baik. Matari terhenyak saat menyadari bahwa hampir seluruh kelasnya mengenal Ayla. Mereka bahkan berbisik-bisik sambil memperhatikan Ayla. Dia jadi bingung, siapa sebenarnya Ayla ini. Dia tak ingat di mana dia pernah mendengar nama itu.

Yang lebih mengejutkan lagi, Ayla tampak tenang-tenang saja diperlakukan seperti itu. Dia bahkan hanya tersenyum-senyum penuh kebanggaan.

“Praja, gue mau nanya boleh?” tanya Matari akhirnya berbisik di dekat Praja.

“Kenapa kudu bisik-bisik?” tanya Praja bingung.

Matari menunjuk Ayla diam-diam. “Siapa sih, gue kaya pernah denger namanya, terus…”

Praja terkikik. “Serius lo nggak tahu?”

“Bukan nggak tahu, gue nggak inget.”

“Hmmm, tahu klan Santoso kan? Pemilik supermarket Golden Family?”

Matari mulai teringat sesuatu. Hingga akhirnya Praja berbisik lagi di dekat Matari. “Dia cucu keempat tertua dari 16 cucu yang ada. Dia anak dari anak kedua klan Santoso. Lo bayangin aja duitnya seberapa banyak.”

Praja masih melanjutkan lagi. “Kalau dari nama lo nggak bisa inget, parah sih lo. Dia udah sering masuk ke majalah bisnis bareng keluarganya. Bahkan si Kakek Santoso masuk iklan tv beberapa kali setiap hari raya semua umat, buat ngucapin selamat. Masih nggak inget juga lo?”

Matari meringis. “Nggak, udah inget kok sekarang.”

“Nah, itulah kenapa, jangan kaget kalau semua orang pasti mendadak mau jadi temennya atau sok kenal sama dia. Emang dia udah seterkenal itu. Tapi jangan kaget juga, di sekolah ini, banyak yang mirip dia. Beberapa anak pejabat juga gue tahu.”

“Jangan ngobrol terus, mulai gambar! Mentang-mentang saya udah selesai absen!” kata Bu Fitri yang ternyata sudah berdiri di dekat Matari.

“Eh, iya, Bu,” sahut Matari.

“Yang udah selesai duluan boleh dikumpulin ke depan, yang sampai bunyi bel pergantian pelajaran belum selesai, tetep dikumpulin ke depan,” kata Bu Fitri dan mulai keliling lagi.

“Baik, Bu!” sahut seluruh penghuni kelas 1-3 kompak.

Matari mulai menggambar sambil sesekali melirik Ayla. Rambut panjang gadis itu direbonding, sehingga Matari tak yakin, rambut aslinya seperti apa. Teknik pelurusan rebonding memang lagi ngetren banget di tahun 2003. Banyak remaja putri yang meluruskan rambut mereka yang keriting dengan teknik tersebut. 

Matari baru menyadari, Dinda juga direbonding seperti Ayla. Namun entah kenapa hasil pelurusan rambut Dinda tak terlalu bagus. Bahkan mengembang seperti singa. 

“Lo nggambar mereka?” ledek Praja saat melihat Matari menggambar dua punggung remaja perempuan yang sosoknya persis sama dengan Ayla dan Dinda.

“Mana lihat dong!” seru Hafis ikut campur.

Matari menunjukkan gambarnya dengan malu-malu ke Hafis dan Beno. Keduanya takjub.

“Jago juga lo!” puji Beno.

Matari hanya tersenyum simpul. Tampaknya bakat kakeknya yang lain, menggambar, menurun ke dirinya sekali lagi, setelah bakat memanah saat SMP.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status