Seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan langkah tergopoh-gopoh yang menimbulkan gesekan di lantai. Dia seorang wanita berusia lanjut. Matari atau siapapun di kelasnya bisa menebak, dia pasti tak lama lagi akan memasuki masa pensiun. Mungkin paling lama 5 tahun lagi.
“Assalamualaikum, selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Fitriasih. Kalian bisa panggil saya Bu Fitri. Saya wali kelas kalian di kelas 1-3, sekaligus akan mengajar kalian mengenai mata pelajaran Seni Rupa di jam pelajaran pertama ini. Karena ini kali pertama, saya akan bagikan kertas A4 dan kalian boleh menggambar apapun, sesuka kalian. Ingat, tugas ini saya nilai. Bukan karena bagusnya, tapi karena kreatifitasnya dan usahanya. Oke. Ada yang mau bertanya?” kata ibu guru Fitri panjang lebar dan semangat.
Dinda mengacungkan tangannya. “Bebas itu kita boleh gambar manusia, hewan, burung, benda mati, apapun kan, Bu?”
Bu Fitri mengangguk. “Betul sekali, apapun. Abstract juga boleh. Kamu, yang bertanya, kamu bisa bantu saya bagikan kertas untuk teman-teman kamu. Sambil menunggu kertas dibagikan seluruhnya, saya akan absensi satu persatu. Saya mungkin sudah tua, tapi ingatan saya masih bagus. Saya akan mengingat setiap dari kalian. Setelah absensi, bagi yang sudah mendapat kertas, kalian langsung menggambar. Sambil menunggu lagi, saya akan langsung adakan pemilihan pengurus kelas. Ada calon untuk ketua kelas dulu?”
“Dinda aja, Bu!” seru Ayla kencang menunjuk Dinda.
Dinda menendang Ayla dengan sedikit kasar. “Apa sih? Kenapa jadi gue?”
Namun tampaknya Bu Fitri setuju-setuju saja. Siswa lain pun tak ada yang memprotes. Mengingat Bu Fitri tampaknya orang yang suka to the point dan tidak suka hal yang terbelit-belit.
“Saya mau satu calon lagi. Selain Dinda, ada lagi? Yang cowok mungkin?” tanya Bu Fitri.
“Prajaaaa, Bu!” seru Hafis asal.
“Mana nih yang namanya Praja?” tanya Bu Fitri lagi.
“Yang ini, Bu, yang pakai topi,” sahut Hafis.
“Oh, kamu. Tolong dilepas topinya ya, ini di dalam kelas. Tadi saya mau negur, tapi untung aja kamu ditunjuk temen kamu sendiri, jadi saya bisa sekalian. Oke, Praja, kandidat satunya. Dinda, kamu bagikan juga kertas kecil-kecil di meja saya yang sudah saya siapkan. Setiap anak boleh memilih salah satu calon,” kata Bu Fitri menjelaskan.
“Tapi, Bu, kami belum mengenal mereka,” kata salah satu anak yang duduk paling depan.
“Betul sekali. Justru itu, saya mau kalian bisa mengenal mereka. Saya juga nggak kenal mereka kok. Saya juga nggak kenal kamu. Kita semua baru bertemu beberapa menit, kan? Tapi kita semua sama, penghuni kelas 1-3 selama 1 tahun ke depan. Maka, kalian harus bisa menebak-nebak dari luar saja. Kenapa? Saya akan jelaskan di pertemuan berikutnya.”
Akhirnya semuanya hanya menerima saja keputusan Bu Fitri. Setelah mengumumkan dua calon kandidat ketua kelas, Bu Fitri mulai mengabsensi satu per satu. Matari dan teman-temannya mulai menggambar. Tak lupa mereka mengisi pilihan mereka masing-masing sebagai kandidat ketua kelas. Cewek paling depan yang sempat protes tadi, disuruh untuk membantu mengumpulkan nama-nama di gulungan kertas tersebut di sebuah kotak kayu usang yang ada di meja guru.
Nama demi nama dipanggil. Hingga akhirnya, Bu Fitri terhenti di sebuah nama.
“Ayla Adriana Santoso? Hmmm, kamu masuk di kelas ini rupanya ya, Ayla?” tanya Bu Fitri.
Tak hanya Praja, tampaknya Bu Fitri juga mengenal Ayla dengan baik. Matari terhenyak saat menyadari bahwa hampir seluruh kelasnya mengenal Ayla. Mereka bahkan berbisik-bisik sambil memperhatikan Ayla. Dia jadi bingung, siapa sebenarnya Ayla ini. Dia tak ingat di mana dia pernah mendengar nama itu.
Yang lebih mengejutkan lagi, Ayla tampak tenang-tenang saja diperlakukan seperti itu. Dia bahkan hanya tersenyum-senyum penuh kebanggaan.
“Praja, gue mau nanya boleh?” tanya Matari akhirnya berbisik di dekat Praja.
“Kenapa kudu bisik-bisik?” tanya Praja bingung.
Matari menunjuk Ayla diam-diam. “Siapa sih, gue kaya pernah denger namanya, terus…”
Praja terkikik. “Serius lo nggak tahu?”
“Bukan nggak tahu, gue nggak inget.”
“Hmmm, tahu klan Santoso kan? Pemilik supermarket Golden Family?”
Matari mulai teringat sesuatu. Hingga akhirnya Praja berbisik lagi di dekat Matari. “Dia cucu keempat tertua dari 16 cucu yang ada. Dia anak dari anak kedua klan Santoso. Lo bayangin aja duitnya seberapa banyak.”
Praja masih melanjutkan lagi. “Kalau dari nama lo nggak bisa inget, parah sih lo. Dia udah sering masuk ke majalah bisnis bareng keluarganya. Bahkan si Kakek Santoso masuk iklan tv beberapa kali setiap hari raya semua umat, buat ngucapin selamat. Masih nggak inget juga lo?”
Matari meringis. “Nggak, udah inget kok sekarang.”
“Nah, itulah kenapa, jangan kaget kalau semua orang pasti mendadak mau jadi temennya atau sok kenal sama dia. Emang dia udah seterkenal itu. Tapi jangan kaget juga, di sekolah ini, banyak yang mirip dia. Beberapa anak pejabat juga gue tahu.”
“Jangan ngobrol terus, mulai gambar! Mentang-mentang saya udah selesai absen!” kata Bu Fitri yang ternyata sudah berdiri di dekat Matari.
“Eh, iya, Bu,” sahut Matari.
“Yang udah selesai duluan boleh dikumpulin ke depan, yang sampai bunyi bel pergantian pelajaran belum selesai, tetep dikumpulin ke depan,” kata Bu Fitri dan mulai keliling lagi.
“Baik, Bu!” sahut seluruh penghuni kelas 1-3 kompak.
Matari mulai menggambar sambil sesekali melirik Ayla. Rambut panjang gadis itu direbonding, sehingga Matari tak yakin, rambut aslinya seperti apa. Teknik pelurusan rebonding memang lagi ngetren banget di tahun 2003. Banyak remaja putri yang meluruskan rambut mereka yang keriting dengan teknik tersebut.
Matari baru menyadari, Dinda juga direbonding seperti Ayla. Namun entah kenapa hasil pelurusan rambut Dinda tak terlalu bagus. Bahkan mengembang seperti singa.
“Lo nggambar mereka?” ledek Praja saat melihat Matari menggambar dua punggung remaja perempuan yang sosoknya persis sama dengan Ayla dan Dinda.
“Mana lihat dong!” seru Hafis ikut campur.
Matari menunjukkan gambarnya dengan malu-malu ke Hafis dan Beno. Keduanya takjub.
“Jago juga lo!” puji Beno.
Matari hanya tersenyum simpul. Tampaknya bakat kakeknya yang lain, menggambar, menurun ke dirinya sekali lagi, setelah bakat memanah saat SMP.
Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.
“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah. “Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari. “Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra. “Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa. “Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra. Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar. “Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh
“Pagi, Ayla! Eh, La, rumah lo mana sih?” tanya Davi saat melihat Ayla berjalan menuju ke kelasnya.“Pagi juga. Deket sini kok. Bukan kompleks,” sahut Ayla.“Tiap hari dianterin Abang lo ya?” tanya Davi lagi, berbasa-basi.“Iya, soalnya sekalian dia berangkat sekolah juga. Lo juga gue lihat beberapa kali dianterin sama mobil J**p sama cewek, hayooo, siapa tuh?” timpal Ayla.“Itu kakak gue tahu! Sembarangan!” sahut Davi.Ayla tergelak lagi. Tawanya benar-benar membuat Davi terkesima sekali lagi. Apakah itu artinya dia mulai suka pada Ayla? Hanya tawa sederhana itu, membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Gue boleh main ke rumah lo nggak? Mmm, gue mau lihat koleksi motor Abang lo dong!” tanya Davi kemudian.Davi tahu, cuma itu salah satu alasan, dia bisa datang ke rumah Alya.“Oh, mau lihat motornya Bang Ali? Boleh-boleh aja. Besok Sabtu gimana? Anak
Mata pelajaran Sejarah terasa membosankan, Bu Anyelir, guru Sejarah mereka memberikan tugas untuk membuat ringkasan materi mengenai Peradaban Awal di Indonesia. Materi tersebut akan dikumpulkan minggu depan beserta LKS yang harus dikerjakan sebelumnya sesuai arahan beliau.Kebosanan melanda, Pito yang sedang merenggangkan otot, melayangkan pandangannya ke arah luar jendela.“Eh, kelas 1-3 olahraga tuh!” seru Pito sambil menarik kerah baju Kiwil dengan sengaja.“Serius?” sahut Kiwil. "Yakin itu 1-3?"“Ada temen gue di sana. Dia emang anak 1-3, satu band sama gue dulu,” sahut Pito.“Oh iya? Berarti temen lo bisa ngenalin gue ke dia dong! Kasih tahu nama aja dulu, udah cukup kok!” kata Kiwil.Davi melihat ke jendela. Kelas 1-3, kelas Matari tampak sedang berolahraga. Dia memperhatikan Ayla, yang karena badannya tidak cukup tinggi, harus berbaris paling depan.“Emang yang mana si
Sudah entah berapa kali malam minggu, Ayla hanya menghabiskan waktu dengan teman-teman Bang Ali, kakak laki-lakinya. Kalaupun ada yang datang menemuinya, pasti teman-temannya sendiri. Entah itu Dinda, entah teman-teman masa SMP-nya. Atau beberapa cowok yang datang ke rumahnya hanya untuk melihat koleksi motor milik Bang Ali saja.“Nggak jalan lo? Temen-temen lo udah pada balik yang kerjain tugas?” tanya Bang Ali sambil mengelap salah satu motor Harley Davidson klasik kesayangannya.“Udah, pada nggak mau malam mingguan di sini. Ada urusan sendiri-sendiri. Dinda mau nonton sama adeknya. Matari nggak bisa pulang malem. Praja juga mau ke gereja,” jawab Ayla dengan nada sedih.“Kasihaaan. Makanya cari cowok baru dong. Anton mulu dipikirin,” ledek Bang Ali.Ayla hanya merengut. “Habisnya susah Bang lupain Anton.”“Lo-nya aja yang nggak mau deket sama cowok lain. Lagian bukannya banyak cowok yang suka
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”