Tak banyak yang tahu kalau Ayla sekolah di SMA Negeri B Tebet karena andil kedua orangtuanya. Sebenarnya nilai ujian Ayla tak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun, karena Ayla bersikeras untuk sekolah di sana, mau tak mau, Mama Papanya membantunya untuk masuk lewat “jalur khusus” yaitu jalur perkumpulan orangtua dengan sumbangan pembangunan di luar nominal yang disepakati oleh Dinas Pendidikan.
Tak perlu status kaya atau miskin, yang penting bisa menyediakan sejumlah uang sebagai jaminan sumbangan pembangunan. Nominalnya bervariasi, mulai dari 20 hingga ratusan juta, pihak sekolah bisa menerimanya. Dan siswa yang melewati jalur tersebut akan auto lolos, tanpa melihat nilainya yang mungkin jauh dari sistem perangkingan SMA yang masuk lewat jalur umum.
Selain semua hal itu, ada rahasia lain kenapa Ayla bersikeras masuk ke sekolah ini. Beberapa orang bisa menebaknya dengan benar. Semuanya karena Anton. Anton adalah mantan pacarnya saat SMP, dengan nilainya yang cukup tipis berhasil masuk dan bersekolah di sini.
Anton sendiri, setelah putus dengan Ayla, sebenarnya selalu gagal saat berniat mendekati cewek lain. Selalu saja Ayla menghalangi langkahnya. Entah dia menyebarkan rumor atau dia yang turun langsung menghadapi gebetannya, mempengaruhi mereka agar tidak menghiraukan Anton. Sehingga, Anton bertekad, dia akan mendekati cewek lain yang tidak dikenal Ayla saat nanti SMA. Apalagi SMA ini penuh dengan senioritas, yang pastinya akan membuat Ayla tidak bertingkah seenaknya.
Setidaknya, itulah yang membuat keduanya masih belum move on satu sama lain.
*************************************************************************
Dalam waktu singkat, pengurus kelas 1-3 terbentuk dengan cepat. Gara-gara Praja, Matari didapuk menjadi sekretaris. Praja sendiri, terpilih menjadi wakil ketua kelas, karena kalah dari Dinda, yang sekarang menjadi ketua kelasnya. Namun, karena Praja merasa terpaksa sejak awal, dia terkadang menyuruh Beno atau Hafis untuk menggantikan posisinya. Dinda yang cuma bisa pasrah, akhirnya menurut saja, yang penting tugas mereka beres.
“Eh, istirahat temenin gue dong,” kata Praja ke Matari.
“Ke mana?” tanya Matari.
“Ngumpulin berkas-berkas ekskul. Sama itungin nih, udah semua kumpul belum?”
Matari mendengus.
“Tolong-nya mana?”
“Tolong, Matari yang baik hati….”
Matari menghitung semua lembaran ekskul milik teman-teman sekelasnya. Sudah sesuai jumlah kelas mereka, 40 siswa.
“Sudah lengkap, Bos!”
“Bagus, anak buah. Yuk kita ke ruang guru. Guru mapel Matematika belom dateng kan?”
“Belum sih kayanya. Ya udah ayok!”
Setelah izin ke Dinda, Praja dan Matari berjalan beriringan ke ruang guru. Hampir tiga perempat lembar kertas dibawa seluruhnya oleh Matari. Praja hanya jalan santai disebelahnya membawa beberapa lembar saja.
Malas berdebat, Matari bersenandung menuju ke ruang guru.
“Lagunya Simple Plan ya?” tanya Praja.
Matari hanya mengangguk sambil tetap bersenandung.
“Suka juga lo?”
“Lumayan, dikenalin sama sepupu gue.”
“Eh iya, gue denger sepupu lo sekolah sini juga? Yang mane sih?”
“Sandra namanya, nanti gue tunjukin kalau ketemu.”
“Kelas 1 apa?”
“1-9.”
“Beneran? Cocok kalo gitu!”
“Hah, apaan sih?”
“Nanti lo pura-pura pinjem apa gitu sama sepupu lo ya?”
“Pinjem apaan?”
“Penggaris kek, jangka kek, apalah terserah lo!”
“Emang kenapa?”
“Nanti gue ceritain kenapa.”
Setelah mereka mengumpulkan dokumen ekskul pilihan siswa ke ruang guru, Praja memaksa Matari untuk terus mengikutinya menuju kelas 1-9.
Praja mendorong Matari untuk memanggil Sandra keluar. Kelas 1-9 masih belum ada guru yang datang. Makanya, Matari bisa masuk seenaknya.
“Kenapa lo?” tanya Sandra saat melihat Matari datang bersama seorang cowok bertopi baseball.
Sandra bisa menebak, itu adalah Praja, teman sebelah Matari yang sering diceritakannya di rumah. Meskipun berjerawat, Praja adalah sosok cowok yang good looking. Nggak ganteng sih, tapi style-nya oke juga.
“Eh Pipit duduk di sebelah mana?” tanya Praja sok kenal pada Sandra.
“Pipit?” sahut Sandra.
“Iya, Pipit, yang rambutnya potongan cowok,” jawab Praja.
“Pitaloka maksud lo?” tanya Sandra.
“Iya, Pipit kan panggilannya?” seru Praja lagi.
“Tuh dia, baru kelar dari toilet kayanya,” jawab Sandra sambil menunjuk pintu masuk kelas mereka.
Matari memperhatikan cewek yang ditunjuk Sandra. Pipit atau Pitaloka ini adalah cewek kurus bertubuh setinggi dirinya dan berambut cepak ala-ala pixie models. Wajahnya yang mungil dan manis tampak sempurna dengan giginya yang bertaring lebih panjang dibanding orang lain pada umumnya.
“PRAJAAAA! NGAPAIN LO?” seru Pipit heboh.
“Nih mau pinjem jangka, ya kan, Ri, San?” sahut Praja tergagap.
Matari dan Sandra cuma bengong. Tapi Praja buru-buru mengambil jangka milik Sandra yang ada di atas mejanya untuk menyempurnakan alibinya.
“Oh, gitu, eh guru kita udah deket, buruan balik!” kata Pipit.
Praja dan Matari tak sempat menyudahi percakapan mereka dengan Sandra maupun Pipit dan akhirnya bergegas keluar. Karena terburu-buru, Matari tak sengaja menyenggol bahu seorang cowok berkulit pucat yang terburu-buru masuk ke dalam kelas 1-9.
“Sorry, sorry!” kata Matari dan cowok itu hampir bersamaan.
Namun mereka tak memperpanjang lagi, karena guru kelas 1-9 berikutnya sudah berdiri di depan pintu.
“Eh lo tahu nggak, cowok yang lo tabrak tadi, itu mantannya si Ayla,” kata Praja.
“Oh ya?” tanya Matari kaget.
Kaget karena dua hal. Soal Anton itu sendiri dan satunya lagi, dia tak menyangka Praja banyak tahu soal kehidupan Ayla.
“Namanya Anton. Dulu mereka 1 SMP,” sahut Praja sambil berjalan cepat melewati kelas demi kelas menuju ke kelas 1-3.
Matari menarik napas. Tampaknya yang harus satu sekolah dengan mantan pacar bukan hanya dirinya saja. Ada sedikit rasa simpati yang tumbuh pada Ayla karena mereka senasib.
“Bokap kemarin katanya rapat sama orang-orang dari Golden Family, terus mereka ngobrol-ngobrol, katanya anak mereka satu sekolah sama lo!” seru Kak Erika saat mengantar adiknya, Davi ke sekolah dengan mobilnya yang sudah ganti menjadi J**p model terbaru.“Oh iya, Ayla kan, udah tahu gue, Kak!” sahut Davi sambil memainkan game Snake di hp-nya.Kak Erika tampak semakin penasaran.“Kenal?”“Belum sih. Cuma udah santer aja berita soal itu. Biasalah, kalo anak borju kaya dia pasti cepet populer.”“Emang lo kagak?”“Yeee, kakak emang nggak pernah ngitung supermarket Golden Family ada berapa? Banyak tahu kak! Kalo mau banding-bandingan, kita cuma remah rempeyek!”“Iya juga sih. Cakep anaknya?”“Hmmm, manis sih.”“Sama mantan lo cakepan mana?”“Idiiih, Kakak! Apaan sih?”“Hahahaha, baikan do
“Fis, Ben, kalian itu satu SMP juga sama si Praja kan?” tanya Matari sambil menoleh ke belakang, mengajak Beno dan Hafis mengobrol. Saat itu Praja masih ke toilet bersama beberapa anak laki-laki lain di kelasnya. Mereka berencana mampir ke kantin untuk beli cemilan, jadi Hafis dan Beno tidak ikut sama sekali. Kedua cowok ini memang lagi jaga badan. Cita-cita mereka adalah punya perut six pack. “Iya, kenapa?” timpal Beno. “Kenal sama Pipit dong?” tanya Matari. “Kenal dong! Itu kan gebetan Praja dari jaman kelas 1 SMP ya, Fis?” sahut Beno. “Iya, udah lama ngegebet Pipit, cuma nggak dapet-dapet,” kata Hafis. “Kenapa?” tanya Matari kepo. Dia memang ingin tahu segalanya soal Praja. Bagaimanapun juga, Praja kerap bertingkah jahil dan menyebalkan pada Matari. Dia ingin bisa balas dendam sesekali. Siapa tahu soal Pipit ini bisa menjadi jalan untuk membalaskan dendamnya. “Pernah ditembak 1 kali sih, katanya Pipit lebih nyaman sa
Choki menyodorkan sebatang rokok pada Arai yang dia bawa dari saku celananya. Choki tak pernah membawa satu bungkus penuh, dia hanya mampu membeli rokok ketengan (satuan) dengan uang saku pas-pasan yang diterimanya. Dia jarang jajan makanan, kalau ada uang lebih pun pasti rokok yang dibelinya.Melihat Arai masih tertegun menatap rokok dan tidak segera mengambilnya, Choki akhirnya mengulang pertanyaannya lagi.“Mau nggak?” tanya Choki.Sejujurnya, Arai belum pernah merokok selama ini. Jika dia mengambilnya, itu akan menjadi kali pertamanya merokok dalam hidupnya.“Kenapa atuh?” tanya Choki lagi. “Nggak ngerokok? Kirain teh lo ngerokok! Tampang lo cocok soalnya, HAHAHAHA!”“Jujur aja, gue belum pernah nyoba, hehehe,” kata Arai.Choki tersenyum kemudian memberikan rokok pada Arai. “Tarok ke mulut kaya gini deh coba,” ujar Choki sambil mencontohkan dengan rokok miliknya satu lagi.
“Jadi nanti sore mau balik dulu apa langsung?” tanya Sandra di depan kamar Matari saat gadis itu bersiap-siap ke sekolah. “Langsung aja gimana, San. Males gue capek duluan sebelum karate kalau harus bolak-balik. Mana kita kan masih beginner. Jadi kudu cek dulu gimana ekskulnya?” sahut Matari. “Oke, berarti sekalian bawa baju ganti ya? Katanya sementara pakai celana training sama kaos dulu nanti baru dikasih Dogi,” ujar Sandra. “Dogi apaan? Anjing?” seru Matari sambil tertawa. “Hush, jangan kenceng-kenceng ngomong Anjingnya, hahahaha. Dogi itu nama baju karate. Gimana sih? Katanya join karate, harus tahu dong!” jawab Sandra. Matari memasukkan celana training dan kaos yang sudah disiapkannya di sisi tempat tidurnya ke dalam tas ranselnya. Tas ransel itu langsung tampak besar. “Oh, namanya Dogi. Ya gimana dong, gue bingung banget, ekskul pilihannya banyak banget. Dan kenapa kita selalu wajib Pramuka sih? Jadinya cuma bisa milih 1 lagi deh
“Pagi, Ayla! Eh, La, rumah lo mana sih?” tanya Davi saat melihat Ayla berjalan menuju ke kelasnya.“Pagi juga. Deket sini kok. Bukan kompleks,” sahut Ayla.“Tiap hari dianterin Abang lo ya?” tanya Davi lagi, berbasa-basi.“Iya, soalnya sekalian dia berangkat sekolah juga. Lo juga gue lihat beberapa kali dianterin sama mobil J**p sama cewek, hayooo, siapa tuh?” timpal Ayla.“Itu kakak gue tahu! Sembarangan!” sahut Davi.Ayla tergelak lagi. Tawanya benar-benar membuat Davi terkesima sekali lagi. Apakah itu artinya dia mulai suka pada Ayla? Hanya tawa sederhana itu, membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Gue boleh main ke rumah lo nggak? Mmm, gue mau lihat koleksi motor Abang lo dong!” tanya Davi kemudian.Davi tahu, cuma itu salah satu alasan, dia bisa datang ke rumah Alya.“Oh, mau lihat motornya Bang Ali? Boleh-boleh aja. Besok Sabtu gimana? Anak
Mata pelajaran Sejarah terasa membosankan, Bu Anyelir, guru Sejarah mereka memberikan tugas untuk membuat ringkasan materi mengenai Peradaban Awal di Indonesia. Materi tersebut akan dikumpulkan minggu depan beserta LKS yang harus dikerjakan sebelumnya sesuai arahan beliau.Kebosanan melanda, Pito yang sedang merenggangkan otot, melayangkan pandangannya ke arah luar jendela.“Eh, kelas 1-3 olahraga tuh!” seru Pito sambil menarik kerah baju Kiwil dengan sengaja.“Serius?” sahut Kiwil. "Yakin itu 1-3?"“Ada temen gue di sana. Dia emang anak 1-3, satu band sama gue dulu,” sahut Pito.“Oh iya? Berarti temen lo bisa ngenalin gue ke dia dong! Kasih tahu nama aja dulu, udah cukup kok!” kata Kiwil.Davi melihat ke jendela. Kelas 1-3, kelas Matari tampak sedang berolahraga. Dia memperhatikan Ayla, yang karena badannya tidak cukup tinggi, harus berbaris paling depan.“Emang yang mana si
Sudah entah berapa kali malam minggu, Ayla hanya menghabiskan waktu dengan teman-teman Bang Ali, kakak laki-lakinya. Kalaupun ada yang datang menemuinya, pasti teman-temannya sendiri. Entah itu Dinda, entah teman-teman masa SMP-nya. Atau beberapa cowok yang datang ke rumahnya hanya untuk melihat koleksi motor milik Bang Ali saja.“Nggak jalan lo? Temen-temen lo udah pada balik yang kerjain tugas?” tanya Bang Ali sambil mengelap salah satu motor Harley Davidson klasik kesayangannya.“Udah, pada nggak mau malam mingguan di sini. Ada urusan sendiri-sendiri. Dinda mau nonton sama adeknya. Matari nggak bisa pulang malem. Praja juga mau ke gereja,” jawab Ayla dengan nada sedih.“Kasihaaan. Makanya cari cowok baru dong. Anton mulu dipikirin,” ledek Bang Ali.Ayla hanya merengut. “Habisnya susah Bang lupain Anton.”“Lo-nya aja yang nggak mau deket sama cowok lain. Lagian bukannya banyak cowok yang suka
“Emang lo belom ada SIM?” tanya Bang Ali heran.“Yaaa belumlah, Bang. Kan masih kelas 1,” jawab Davi.“Lah itu lo bawa motor. Kirain udah punya.”“Ya kucing-kucingan aja, Bang. Sama doa-doa aja, biar nggak kena Razia dadakan. Hehehe.”“Hahaha. Sama sih. Gue juga dulu gitu. Daripada baru punya SIM belum bisa banget naik motor kan? Mendingan punya SIM pas udah lancar.”“Iya, Bang. Hehehe.”“Kalau lo suka vespa, gue ada kenalan. Tuh gue ada vespa satu. Tapi cuma buat koleksi. Cuma buat punya-punyaan doang. Jarang gue pakek. Paling gue panasin doang. Soalnya gue kurang suka vespa buat jalan.”“Boleh lihat, Bang?”“Hahaha, boleh-boleh. Dia agak nyempil karena jarang keluar. Lo cek aja deh pojok-pojok sana.”Davi memperhatikan area yang ditunjuk oleh Bang Ali. Dengan cepat, dia mendekat ke arah motor-motor klasik, motor-
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”