Sebelum liburan Ujian Nasional yang diadakan khusus agar siswa-siswi kelas 3 bisa tenang melaksanakan ujian, seluruh siswa-siswi kelas 1 mendapatkan jatah konseling perkelompok. Kenapa berkelompok, bukannya sendiri-sendiri? Karena jumlah murid yang banyak dan mereka semua harus dibagi ber-5 hingga 6 orang untuk konseling bersama-sama.
Setiap kelompok mendapat jatah 1 jam. Dalam satu hari bisa ada 8 hingga 10 kelompok yang dipanggil. Hari ini, giliran Matari dipanggil bersama teman-teman satu kelompoknya yang diurutkan berdasarkan tempat duduk.
Dia merasa beruntung, karena itu artinya satu kelompoknya akan berisi teman-teman dekatnya sendiri yaitu Praja, Hafis, Beno, Ayla dan tentu saja Dinda. Konseling jadi terasa lebih privat.
“Halo, mungkin udah banyak yang kenal. Nama saya Bu Dian, guru BK kelas 1 yang akan memimpin sesi konseling kali ini. Saya absen dulu ya. Adinda Kartasasmita Handoyo? Oh, Dinda, si Ketua Kelas 1-3 ya? Ayla Adriana Santoso? Oke, ada.
Matari bisa melihat punggung Dinda yang pergi lebih duluan dibanding dirinya. Wajah gadis itu sekilas tampak serius dan menyimpan sesuatu. Berteman dengannya selama ini, Matari tak mengenalnya lebih dekat dibanding Ayla. Dia hanya tahu kondisi keluarga Dinda sebatas di permukaannya saja.“Halo, Matari. Duduk ya. Nih, air mineral gelas buat kamu. Boleh sambil diminum. Oke, saya cek profil kamu dulu di berkas ya. Saya takut salah informasi,” kata Bu Dian mengawali pembicaraan saat Matari duduk di depannya persis.“Baik, Bu,” sahut Matari sopan.“Setelah saya baca, kamu anak yang berbakat di bidang menulis, kamu udah pernah membawa nama baik sekolah di provinsi. Itu luar biasa lho. Kamu bisa kembangkan bakat kamu di jurusan Bahasa. Di sana banyak sekali cabang ilmu Bahasa dan Sastra yang bisa membantu kamu untuk lebih berkembang. Gimana? Tertarik nggak?”Matari hanya melempar senyum tipis. Dia sejujurnya sama sekali tak te
Ayla menyeruput es jeruknya saat Davi datang mendekat.“Belum pulang lo, La?” tanya Davi. “Ekskul ya? Eh ini kan bukan Kamis ya?”“Hahaha, iya, gue nungguin Gabriel sama Pauline. Pauline lagi ke toilet. Dia juga nungguin Gilang,” jawab Ayla.Davi bisa melihat tas asing berwarna ungu tua yang ada di sebelah Ayla. Tas itu banyak coretan tipe-ex di mana-mana. Ada tandatangan orang, ada nama orang, bahkan ada quotes yang sengaja ditulis di tas yang mungkin tadinya dianggap terlalu polos itu.Dia bisa menebak itu milik Gabriel. Gabriel adalah anak kelas 3 Bahasa yang terkenal tulisannya bagus. Dia juga ada andil melakukan coretan-coretan di tembok belakang sekolah dengan phylox. Meskipun coretannya bagus-bagus.“Lo udah konseling?” tanya Ayla.“Udah, tadi. Gue sih nggak kena apa-apa, jawaban gue mantep, IPS. Si Pito kena konseling sebelum kelar, karena kelihatan masih ragu. Lo sendiri?”
Ujian Nasional plus Ujian Sekolah diadakan 2 minggu berturut-turut, itu artinya seluruh siswa SMA kelas 1 dan 2 libur di rumah masing-masing agar tidak mengganggu kakak-kakaknya berjuang.Tapi libur bukan berarti tak ada tugas. Tugas menumpuk lebih banyak. Lembaran fotokopian, lembaran LKS, lembaran artikel dan novel yang harus direview dan dibuat ringkasannya, menunggu dikerjakan Matari dan teman-temannya.Untungnya, beberapa tugasnya ada yang sama dengan tugas Sandra. Sehingga mereka berdua sering mengerjakan tugas bersama-sama. Kadang, Ayla dan Dinda ikut nimbrung. Praja, Beno dan Hafis hanya sesekali muncul. Mereka lebih suka menghabiskan waktunya untuk main game.Maka, saat sore itu Praja muncul sendirian, memohon untuk mencontek tugas-tugas Matari, Matari cuma bisa sewot.“Ya udah nggak usah marah-marah mulu. Lo lagi dateng bulan ya? Gini aja, gue fotokopi deh artikelnya, nanti gue bikin sendiri. Sebagai gantinya, gue print-in tugas a
“Guys, bikin acara farewell yuk!” ajak Dinda semangat.“Belom juga ujian naik kelas, Din,” sahut Praja cuek sambil tetap mengerjakan tugasnya.“Ya harus direncanain dari sekarang, dong! Ke villa kek, sekedar jalan ke Monas, ke mana gitu sama-sama. Nanti kelas 2 itu kita semua udah beda-beda. Udah beda jurusan, diacak lagi. Gue sama lo-lo semua nggak akan sekelas. Gue udah mantep milih IPA, kalian semua IPS kan?” seru Dinda.“Iya juga, ya udah. Ajak aja anak-anak sekelas, Din!” seru Praja. “Gue mah ikut kata Buketu aja. La, tumben lo diem aja. Biasanya semangat kalo acara hura-hura.”“Atur aja, Din, hehehe,” timpal Ayla cuek.“Lagi jatuh cinta dia. SMS-an mulu sama Gabriel,” sahut Dinda kesal.“Wah, bau-bau bakalan ada yang jadian nih,” kata Matari. “Udah mantep lu, La?”Ayla hanya melempar senyum. “Nyokap Bokap si
Entah sudah sekian lama Matari tak pernah bertatapan muka langsung dengan Arai. Cowok itu selalu tak pernah melintas di sekitarnya. Sejak putus, bahkan lorong-lorong di sekolah seakan-akan tak pernah mengizinkan mereka bertemu secara langsung.Sebenarnya, Matari lebih sering melihat dari kejauhan. Sosok Arai yang kurus, yang pernah dipeluknya saat naik motor dulu, hanya tampak seperti sosok kecil yang hampir serupa dengan Choki.Pertemuan yang tidak pernah secara langsung itu, mungkin yang membuat Matari tampak lebih tegar kali ini. Tapi bisa juga karena putus bukan lagi pengalaman pertamanya. Meskipun rasa sakitnya sama, penyembuhannya lebih terasa cepat.“Gue denger, area rahasia di pojokan bakalan dipugar,” kata Praja saat jam olahraga, duduk di sebelah Matari dan Ayla.Saat itu semua tim di depan mereka sedang bertanding voli. Sisanya, yang tidak mendapatkan giliran, boleh duduk-duduk bersama sambil merenggangkan otot.“Area t
Selama seminggu, Matari berkutat pada ujian kenaikan kelas bersama seluruh siswa dan siswi kelas 1 dan 2 lainnya. Untungnya seluruh teman-temannya bisa berhasil melewati seminggu itu dengan sesuai kemampuan mereka masing-masing. Matari pun merasa ujian terasa lebih mudah karena Dinda banyak membantunya akhir-akhir ini.Matari yakin dia bisa naik kelas, namun pastinya dia akan masuk ke jurusan IPS yang desas-desusnya akan diganti namanya mulai tahun ajaran baru nanti. Dia cukup merasa deg-degan akan jurusan yang nantinya akan dia ambil di akhir kelas satu.IPA benar-benar sudah jauh dari jangkauan. Formulir telah lama dikumpulkan. Sudah tak selayaknya menyesali keputusannya sekarang.Sandra sendiri tampaknya cukup berhasil melaju masuk ke jurusan IPA, karena nilainya masih mencukupi persyaratan yang ada. Bahkan jika dia mau, dia juga bisa mengambil jurusan lain sekalipun.Namun, IPA sudah menjadi tujuan utamanya, sesuai amanat Tante Dina. Karena keberh
“Eh, Ri, gue mau cerita banyak hal soal Cakra. Gue harap lo nggak salah paham ya. Maksud gue tuh, cerita gini bukan buat pamer. Gue tahu lo lagi jomblo, tapi gue…,” Sandra terhenti.“Apaan sih, San? Kalo mau cerita mah cerita aja. Nggak ada hubungan gue lagi jomblo atau gue lagi ada cowok. Soal si Cakra ya?” timpal Matari sambil memarkir sepedanya di pekarangan rumah Eyang Putri.“Iya. Menurut lo dia gimana orangnya?”Matari mengangkat bahu.“Gue nggak terlalu kenal. Tapi sepanjang nggak bagian dari anak-anak GWR sih, harusnya aman ya.”“Huuuh, kok GWR sih? Belum move on dari Arai?”“Kok jadi Arai? Bukan! Maksud gue, kalo bagian dari mereka, udah pasti harus was-was, San. Kebanyakan nggak ada yang bener.”“Tenaaaang. Cakra mah mainnya sama temen-temennya sendiri di kelas gue. Kalo dikata populer, tentu saja enggak. Beberapa dari mereka aja ng
Ayah Matari pulang tepat waktu setiap Sabtu. Dia selalu datang pagi hari pukul 10 atau jika sore hari pasti di sekitar pukul 5. Kali ini, hari itu beliau datang pukul 10 pagi. Setelah sampai, Ayahnya langsung duduk di teras belakang, membaca koran harian sambil mengobrol dengan Mbok Kalis serta Eyang Putri sesekali.Matari pikir, ini saat yang tepat untuk bicara. Mengingat ada dua orang lain selain mereka, dia sempat ragu. Bisa saja dua orang itu akan membantu Matari berbicara. Meskipun kemungkinan besar tidak.Namun, akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Dia tahu, waktunya tak banyak.“Yah, mau ngomong. Minggu depan kan, Matari mau terima rapor. Ayah bisa dateng nggak?” tanya Matari dengan takut-takut.“Ya nggak bisa, Ri. Kalau Sabtu sih Ayah usahain, kalau Jumat gitu, udah pasti nggak bisa. Nanti Ayah minta tolong sama Tante Dina atau Kak Bulan aja kaya biasanya ya?” sahut Ayah sambil menyeruput kopinya.“Tapi
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”