“Guys, bikin acara farewell yuk!” ajak Dinda semangat.
“Belom juga ujian naik kelas, Din,” sahut Praja cuek sambil tetap mengerjakan tugasnya.
“Ya harus direncanain dari sekarang, dong! Ke villa kek, sekedar jalan ke Monas, ke mana gitu sama-sama. Nanti kelas 2 itu kita semua udah beda-beda. Udah beda jurusan, diacak lagi. Gue sama lo-lo semua nggak akan sekelas. Gue udah mantep milih IPA, kalian semua IPS kan?” seru Dinda.
“Iya juga, ya udah. Ajak aja anak-anak sekelas, Din!” seru Praja. “Gue mah ikut kata Buketu aja. La, tumben lo diem aja. Biasanya semangat kalo acara hura-hura.”
“Atur aja, Din, hehehe,” timpal Ayla cuek.
“Lagi jatuh cinta dia. SMS-an mulu sama Gabriel,” sahut Dinda kesal.
“Wah, bau-bau bakalan ada yang jadian nih,” kata Matari. “Udah mantep lu, La?”
Ayla hanya melempar senyum. “Nyokap Bokap si
Entah sudah sekian lama Matari tak pernah bertatapan muka langsung dengan Arai. Cowok itu selalu tak pernah melintas di sekitarnya. Sejak putus, bahkan lorong-lorong di sekolah seakan-akan tak pernah mengizinkan mereka bertemu secara langsung.Sebenarnya, Matari lebih sering melihat dari kejauhan. Sosok Arai yang kurus, yang pernah dipeluknya saat naik motor dulu, hanya tampak seperti sosok kecil yang hampir serupa dengan Choki.Pertemuan yang tidak pernah secara langsung itu, mungkin yang membuat Matari tampak lebih tegar kali ini. Tapi bisa juga karena putus bukan lagi pengalaman pertamanya. Meskipun rasa sakitnya sama, penyembuhannya lebih terasa cepat.“Gue denger, area rahasia di pojokan bakalan dipugar,” kata Praja saat jam olahraga, duduk di sebelah Matari dan Ayla.Saat itu semua tim di depan mereka sedang bertanding voli. Sisanya, yang tidak mendapatkan giliran, boleh duduk-duduk bersama sambil merenggangkan otot.“Area t
Selama seminggu, Matari berkutat pada ujian kenaikan kelas bersama seluruh siswa dan siswi kelas 1 dan 2 lainnya. Untungnya seluruh teman-temannya bisa berhasil melewati seminggu itu dengan sesuai kemampuan mereka masing-masing. Matari pun merasa ujian terasa lebih mudah karena Dinda banyak membantunya akhir-akhir ini.Matari yakin dia bisa naik kelas, namun pastinya dia akan masuk ke jurusan IPS yang desas-desusnya akan diganti namanya mulai tahun ajaran baru nanti. Dia cukup merasa deg-degan akan jurusan yang nantinya akan dia ambil di akhir kelas satu.IPA benar-benar sudah jauh dari jangkauan. Formulir telah lama dikumpulkan. Sudah tak selayaknya menyesali keputusannya sekarang.Sandra sendiri tampaknya cukup berhasil melaju masuk ke jurusan IPA, karena nilainya masih mencukupi persyaratan yang ada. Bahkan jika dia mau, dia juga bisa mengambil jurusan lain sekalipun.Namun, IPA sudah menjadi tujuan utamanya, sesuai amanat Tante Dina. Karena keberh
“Eh, Ri, gue mau cerita banyak hal soal Cakra. Gue harap lo nggak salah paham ya. Maksud gue tuh, cerita gini bukan buat pamer. Gue tahu lo lagi jomblo, tapi gue…,” Sandra terhenti.“Apaan sih, San? Kalo mau cerita mah cerita aja. Nggak ada hubungan gue lagi jomblo atau gue lagi ada cowok. Soal si Cakra ya?” timpal Matari sambil memarkir sepedanya di pekarangan rumah Eyang Putri.“Iya. Menurut lo dia gimana orangnya?”Matari mengangkat bahu.“Gue nggak terlalu kenal. Tapi sepanjang nggak bagian dari anak-anak GWR sih, harusnya aman ya.”“Huuuh, kok GWR sih? Belum move on dari Arai?”“Kok jadi Arai? Bukan! Maksud gue, kalo bagian dari mereka, udah pasti harus was-was, San. Kebanyakan nggak ada yang bener.”“Tenaaaang. Cakra mah mainnya sama temen-temennya sendiri di kelas gue. Kalo dikata populer, tentu saja enggak. Beberapa dari mereka aja ng
Ayah Matari pulang tepat waktu setiap Sabtu. Dia selalu datang pagi hari pukul 10 atau jika sore hari pasti di sekitar pukul 5. Kali ini, hari itu beliau datang pukul 10 pagi. Setelah sampai, Ayahnya langsung duduk di teras belakang, membaca koran harian sambil mengobrol dengan Mbok Kalis serta Eyang Putri sesekali.Matari pikir, ini saat yang tepat untuk bicara. Mengingat ada dua orang lain selain mereka, dia sempat ragu. Bisa saja dua orang itu akan membantu Matari berbicara. Meskipun kemungkinan besar tidak.Namun, akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Dia tahu, waktunya tak banyak.“Yah, mau ngomong. Minggu depan kan, Matari mau terima rapor. Ayah bisa dateng nggak?” tanya Matari dengan takut-takut.“Ya nggak bisa, Ri. Kalau Sabtu sih Ayah usahain, kalau Jumat gitu, udah pasti nggak bisa. Nanti Ayah minta tolong sama Tante Dina atau Kak Bulan aja kaya biasanya ya?” sahut Ayah sambil menyeruput kopinya.“Tapi
“Sebelum lo dipanggil Ayah, gue kasih saran nih!” kata Kak Bulan yang mendapati Matari selesai sholat di kamarnya. “Eh, tumben lo sholat. Kalo ada masalah baru ngadu sama Allah ye? Dasar bandel!”“Sialan, kaget! Ya abis gimana, Kak. Mau ngadu ke siapa lagi?” tanya Matari polos. “Emang si Ayah ke mana, Kak?”“Nganterin Eyang ke rumah sakit. Katanya kakinya sakit. Kayanya lecet kena apa gitu nggak tahu. Eyang ditanyain juga jawab nggak tahu, lupa. Kata Ayah sih udah sampe bernanah gitu. Ngeri ah, tadi gue sempet lihat!” kata Bulan. “Btw, Sandra sama emaknya ke mana?”“Ke mall. Beli sepatu. Si Sandra kan liburan nanti bakalan ikut seleksi di kegiatan Pramuka gitu. Jadi nanti dia kelas 2 bakalan ngedampingi anak-anak kelas 1 yang baru masuk, senior ceritanya,” sahut Matari sambil menghempaskan tubuhnya di kasur.“Dih, lepas dulu mukenanya, bego! Entar ketiduran bau iler,
Matari akhirnya baru kembali bicara lagi dengan ayahnya saat hari Minggu tiba. Antrian di rumah sakit yang panjang mengular, membuat Ayah dan Eyang Putri baru sampai di rumah malam hari. Sementara, Matari juga sudah tertidur.Menyadari bahwa rumah sedang ramai pagi itu, akhirnya Ayah Matari mengawali pembicaraan dengan nada sedang. Emosinya memang tampak jauh lebih stabil. Mungkin karena sudah berganti hari atau bisa juga karena rayuan Kak Bulan.Namun, belum sempat berbicara banyak, Tante Dina dan Sandra lewat sekilas. Tersirat pikiran lain di kepala Matari. Emosi Ayahnya mungkin sedikit stabil karena keberadaan mereka. Bisa saja sih, karena ada mereka berdua di sini sehingga Ayah jadi sungkan untuk memarahi Matari.“Kamu yakin bisa berprestasi di jurusan IPS?” tanya Ayah tiba-tiba, mengagetkan Matari.“Mu... Mungkin, Yah. Matari usahakan,” jawab Matari.“Jangan cuma mungkin aja, HARUS BISA!”“Iya,
HP Matari berdering. Ada nama Iko tertera di sana. Sejujurnya, Matari sedang tak siap karena baru beberapa menit tertidur dengan komik di tangannya. Saat itu adalah liburan kenaikan kelas. Rumah sedang sepi karena Tante Dina dan Sandra pulang kampung. Sedangkan Kak Bulan tak pulang ke rumah karena banyak tugas-tugas kampus yang harus diselesaikan. Ayahnya juga begitu. Beliau ada acara gathering di luar kota. Mbok Kalis pergi ke warung Mba Sari, tempat Mbok Kalis bekerja setiap tak ada pekerjaan berarti di rumah. Eyang Putri seperti biasa di kamar, entah membaca buku, entah beristirahat. “Kenapa, Ko?” tanya Matari dengan suara parau. “Baru bangun lo?” tanya Iko semangat. “Iya, tumben amat siang-siang gini nelepon. Nggak bisa SMS apa?” “Widih, galak! Maaf, maaf, maaf. Gue butuh jawaban cepet nih. Besok lo ke mana?” “Nggak ke mana-mana. Gue mah liburan di rumah aja ngegemukin badan!” “Hahaha, bisa aja lo! Ya udah,
Matari dan Iko telah selesai mengantri ketika mendapati Ayla dan Gabriel berjalan ke arah mereka. Ayla tampak sumringah. Begitupula Gabriel. Ya tentu saja, masih ada hitungan hari mereka jadian. Hari terima rapor masih beberapa hari lagi, tapi tampaknya baik Ayla maupun Gabriel sama sekali tak mempermasalahkan itu.Gabriel yang sudah resmi lulus menjadi alumni sekolah mereka meskipun dengan nilai pas-pasan, tampak luar biasa senang berjalan dengan Ayla. Bisa dilihat Gabriel memiliki perasaan terlalu dalam dibanding Ayla sendiri.“Siapa, Ri?” bisik Iko.“Temen gue. Lo diem aja ye, jangan banyak bacot,” kata Matari.“Haiiii, Matari! Widih tumben main ke sini. Sama siapa nihhh??? Ciyeeee…,” ledek Ayla.“La, Kak Gab, kenalin temen sekaligus tetangga deket gue, namanya Iko,” sahut Matari sambil menunjuk Iko dengan santai. “Ko, ini Ayla temen sekelas gue dan cowoknya.”“Halo,
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”