“Eh, Ri, gue mau cerita banyak hal soal Cakra. Gue harap lo nggak salah paham ya. Maksud gue tuh, cerita gini bukan buat pamer. Gue tahu lo lagi jomblo, tapi gue…,” Sandra terhenti.
“Apaan sih, San? Kalo mau cerita mah cerita aja. Nggak ada hubungan gue lagi jomblo atau gue lagi ada cowok. Soal si Cakra ya?” timpal Matari sambil memarkir sepedanya di pekarangan rumah Eyang Putri.
“Iya. Menurut lo dia gimana orangnya?”
Matari mengangkat bahu.
“Gue nggak terlalu kenal. Tapi sepanjang nggak bagian dari anak-anak GWR sih, harusnya aman ya.”
“Huuuh, kok GWR sih? Belum move on dari Arai?”
“Kok jadi Arai? Bukan! Maksud gue, kalo bagian dari mereka, udah pasti harus was-was, San. Kebanyakan nggak ada yang bener.”
“Tenaaaang. Cakra mah mainnya sama temen-temennya sendiri di kelas gue. Kalo dikata populer, tentu saja enggak. Beberapa dari mereka aja ng
Ayah Matari pulang tepat waktu setiap Sabtu. Dia selalu datang pagi hari pukul 10 atau jika sore hari pasti di sekitar pukul 5. Kali ini, hari itu beliau datang pukul 10 pagi. Setelah sampai, Ayahnya langsung duduk di teras belakang, membaca koran harian sambil mengobrol dengan Mbok Kalis serta Eyang Putri sesekali.Matari pikir, ini saat yang tepat untuk bicara. Mengingat ada dua orang lain selain mereka, dia sempat ragu. Bisa saja dua orang itu akan membantu Matari berbicara. Meskipun kemungkinan besar tidak.Namun, akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Dia tahu, waktunya tak banyak.“Yah, mau ngomong. Minggu depan kan, Matari mau terima rapor. Ayah bisa dateng nggak?” tanya Matari dengan takut-takut.“Ya nggak bisa, Ri. Kalau Sabtu sih Ayah usahain, kalau Jumat gitu, udah pasti nggak bisa. Nanti Ayah minta tolong sama Tante Dina atau Kak Bulan aja kaya biasanya ya?” sahut Ayah sambil menyeruput kopinya.“Tapi
“Sebelum lo dipanggil Ayah, gue kasih saran nih!” kata Kak Bulan yang mendapati Matari selesai sholat di kamarnya. “Eh, tumben lo sholat. Kalo ada masalah baru ngadu sama Allah ye? Dasar bandel!”“Sialan, kaget! Ya abis gimana, Kak. Mau ngadu ke siapa lagi?” tanya Matari polos. “Emang si Ayah ke mana, Kak?”“Nganterin Eyang ke rumah sakit. Katanya kakinya sakit. Kayanya lecet kena apa gitu nggak tahu. Eyang ditanyain juga jawab nggak tahu, lupa. Kata Ayah sih udah sampe bernanah gitu. Ngeri ah, tadi gue sempet lihat!” kata Bulan. “Btw, Sandra sama emaknya ke mana?”“Ke mall. Beli sepatu. Si Sandra kan liburan nanti bakalan ikut seleksi di kegiatan Pramuka gitu. Jadi nanti dia kelas 2 bakalan ngedampingi anak-anak kelas 1 yang baru masuk, senior ceritanya,” sahut Matari sambil menghempaskan tubuhnya di kasur.“Dih, lepas dulu mukenanya, bego! Entar ketiduran bau iler,
Matari akhirnya baru kembali bicara lagi dengan ayahnya saat hari Minggu tiba. Antrian di rumah sakit yang panjang mengular, membuat Ayah dan Eyang Putri baru sampai di rumah malam hari. Sementara, Matari juga sudah tertidur.Menyadari bahwa rumah sedang ramai pagi itu, akhirnya Ayah Matari mengawali pembicaraan dengan nada sedang. Emosinya memang tampak jauh lebih stabil. Mungkin karena sudah berganti hari atau bisa juga karena rayuan Kak Bulan.Namun, belum sempat berbicara banyak, Tante Dina dan Sandra lewat sekilas. Tersirat pikiran lain di kepala Matari. Emosi Ayahnya mungkin sedikit stabil karena keberadaan mereka. Bisa saja sih, karena ada mereka berdua di sini sehingga Ayah jadi sungkan untuk memarahi Matari.“Kamu yakin bisa berprestasi di jurusan IPS?” tanya Ayah tiba-tiba, mengagetkan Matari.“Mu... Mungkin, Yah. Matari usahakan,” jawab Matari.“Jangan cuma mungkin aja, HARUS BISA!”“Iya,
HP Matari berdering. Ada nama Iko tertera di sana. Sejujurnya, Matari sedang tak siap karena baru beberapa menit tertidur dengan komik di tangannya. Saat itu adalah liburan kenaikan kelas. Rumah sedang sepi karena Tante Dina dan Sandra pulang kampung. Sedangkan Kak Bulan tak pulang ke rumah karena banyak tugas-tugas kampus yang harus diselesaikan. Ayahnya juga begitu. Beliau ada acara gathering di luar kota. Mbok Kalis pergi ke warung Mba Sari, tempat Mbok Kalis bekerja setiap tak ada pekerjaan berarti di rumah. Eyang Putri seperti biasa di kamar, entah membaca buku, entah beristirahat. “Kenapa, Ko?” tanya Matari dengan suara parau. “Baru bangun lo?” tanya Iko semangat. “Iya, tumben amat siang-siang gini nelepon. Nggak bisa SMS apa?” “Widih, galak! Maaf, maaf, maaf. Gue butuh jawaban cepet nih. Besok lo ke mana?” “Nggak ke mana-mana. Gue mah liburan di rumah aja ngegemukin badan!” “Hahaha, bisa aja lo! Ya udah,
Matari dan Iko telah selesai mengantri ketika mendapati Ayla dan Gabriel berjalan ke arah mereka. Ayla tampak sumringah. Begitupula Gabriel. Ya tentu saja, masih ada hitungan hari mereka jadian. Hari terima rapor masih beberapa hari lagi, tapi tampaknya baik Ayla maupun Gabriel sama sekali tak mempermasalahkan itu.Gabriel yang sudah resmi lulus menjadi alumni sekolah mereka meskipun dengan nilai pas-pasan, tampak luar biasa senang berjalan dengan Ayla. Bisa dilihat Gabriel memiliki perasaan terlalu dalam dibanding Ayla sendiri.“Siapa, Ri?” bisik Iko.“Temen gue. Lo diem aja ye, jangan banyak bacot,” kata Matari.“Haiiii, Matari! Widih tumben main ke sini. Sama siapa nihhh??? Ciyeeee…,” ledek Ayla.“La, Kak Gab, kenalin temen sekaligus tetangga deket gue, namanya Iko,” sahut Matari sambil menunjuk Iko dengan santai. “Ko, ini Ayla temen sekelas gue dan cowoknya.”“Halo,
Saat Matari masuk di hari Senin, seluruh teman-teman dekatnya telah tampak menunggunya datang. Terutama Ayla. Dia tampak antusias dengan kedatangan Matari.Matari sungguh merasa aneh ditunggu seperti itu. Padahal dia sudah datang lebih siang, karena sedang berlangsung classmeeting, di mana semua siswa bebas datang jam berapa ke sekolah.“Siapa tuh kemariiinnn?” tanya Ayla yang pertama menyambut sambil merangkulnya. “Lo kok nggak ngenalin sih ke kita-kita.”Matari tak langsung menjawab. Dia bahkan duduk dan langsung memakan roti isi cokelatnya yang dibawa dari rumah.“Siapa dong, kasih tahu doooong!” seru Ayla semakin mendesak. “Ganteng banget soalnya!”“Ya trus kenapa? Biarin dia makan dulu kek, La. Emang nggak boleh Matari punya temen ganteng di luar radar lo?” sambung Praja sedikit membela. “Gue juga penasaran, tapi nggak gitu caranya.”“Bentar guys. Gue
Bulan melangkahkan kakinya yg kurus dan jenjang di antara para orangtua siswa-siswi di kelas Matari. Penampilannya tak mencolok. Dia bahkan tampak lebih seperti guru muda honorer dengan pakaian bebas. Bulan yang kali ini sudah memakai kacamata, tetap terlihat paling muda di antara para wali murid lainnya.Di kejauhan Tante Dina tampak mengantri masuk ke ruang kelas milik Sandra. Terlihat Sandra tak jauh dari ibunya, menggandeng dan berbicara akrab seperti biasa. Bulan kadang kasihan pada Matari, dia selalu diwakilkan orang lain. Matari tampak pasrah kali ini. Dia dan teman-temannya hanya bisa menunggu di depan kelas masing-masing.Bulan duduk di tempat Matari duduk. Di sebelah ada bapak-bapak memakai pakaian seragam PNS berwarna cokelat yang biasanya. Wajahnya mirip dengan Praja hanya saja versi lebih tua.“Kakaknya Matari?” sapa Bapak-bapak bernama Pak Ratman itu sambil tersenyum ramah.“Halo, Pak, saya Bulan. Bapaknya Praja, ya?”
“Halo, Mbak Bulan. Bagaimana kabar sampeyan?” tanya Bu Fitri sambil menyalami Bulan dengan ramah.“Baik, Bu. Ibu sehat selalu kan?” sahut Bulan.“Alhamdulillah. Tahun depan insha Allah saya pensiun. Jujur kelas Matari ini cukup berkesan buat saya. Anak-anaknya banyak yang royal. Mereka bahkan nggak segan-segan patungan duit banyak kalau ada apa-apa. Ini mereka rencana ke Dufan buat perpisahan, sudah tahu belum?”Bulan menggeleng.“Jadi anak-anak ada rencana buat perpisahan. Bukan resmi dari sekolah sih. Tapi tenang saja, saya ikut, ada beberapa guru honorer juga yang ikut mengawasi. Saya harap Matari bisa ikut juga. Nanti kan kelas dua dia bisa saja tak sekelas lagi dengan teman-temannya di sini. Apalagi dia sudah mantep ya di IPS. Mbak Bulan dulu jurusan apa?”“Saya IPA, Bu. Oke, soal Dufan nanti saya coba bicara sama Ayah saya ya.”“Tolong dibantu ya, Mbak. Jujur aj