Matari akhirnya baru kembali bicara lagi dengan ayahnya saat hari Minggu tiba. Antrian di rumah sakit yang panjang mengular, membuat Ayah dan Eyang Putri baru sampai di rumah malam hari. Sementara, Matari juga sudah tertidur.
Menyadari bahwa rumah sedang ramai pagi itu, akhirnya Ayah Matari mengawali pembicaraan dengan nada sedang. Emosinya memang tampak jauh lebih stabil. Mungkin karena sudah berganti hari atau bisa juga karena rayuan Kak Bulan.
Namun, belum sempat berbicara banyak, Tante Dina dan Sandra lewat sekilas. Tersirat pikiran lain di kepala Matari. Emosi Ayahnya mungkin sedikit stabil karena keberadaan mereka. Bisa saja sih, karena ada mereka berdua di sini sehingga Ayah jadi sungkan untuk memarahi Matari.
“Kamu yakin bisa berprestasi di jurusan IPS?” tanya Ayah tiba-tiba, mengagetkan Matari.
“Mu... Mungkin, Yah. Matari usahakan,” jawab Matari.
“Jangan cuma mungkin aja, HARUS BISA!”
“Iya,
HP Matari berdering. Ada nama Iko tertera di sana. Sejujurnya, Matari sedang tak siap karena baru beberapa menit tertidur dengan komik di tangannya. Saat itu adalah liburan kenaikan kelas. Rumah sedang sepi karena Tante Dina dan Sandra pulang kampung. Sedangkan Kak Bulan tak pulang ke rumah karena banyak tugas-tugas kampus yang harus diselesaikan. Ayahnya juga begitu. Beliau ada acara gathering di luar kota. Mbok Kalis pergi ke warung Mba Sari, tempat Mbok Kalis bekerja setiap tak ada pekerjaan berarti di rumah. Eyang Putri seperti biasa di kamar, entah membaca buku, entah beristirahat. “Kenapa, Ko?” tanya Matari dengan suara parau. “Baru bangun lo?” tanya Iko semangat. “Iya, tumben amat siang-siang gini nelepon. Nggak bisa SMS apa?” “Widih, galak! Maaf, maaf, maaf. Gue butuh jawaban cepet nih. Besok lo ke mana?” “Nggak ke mana-mana. Gue mah liburan di rumah aja ngegemukin badan!” “Hahaha, bisa aja lo! Ya udah,
Matari dan Iko telah selesai mengantri ketika mendapati Ayla dan Gabriel berjalan ke arah mereka. Ayla tampak sumringah. Begitupula Gabriel. Ya tentu saja, masih ada hitungan hari mereka jadian. Hari terima rapor masih beberapa hari lagi, tapi tampaknya baik Ayla maupun Gabriel sama sekali tak mempermasalahkan itu.Gabriel yang sudah resmi lulus menjadi alumni sekolah mereka meskipun dengan nilai pas-pasan, tampak luar biasa senang berjalan dengan Ayla. Bisa dilihat Gabriel memiliki perasaan terlalu dalam dibanding Ayla sendiri.“Siapa, Ri?” bisik Iko.“Temen gue. Lo diem aja ye, jangan banyak bacot,” kata Matari.“Haiiii, Matari! Widih tumben main ke sini. Sama siapa nihhh??? Ciyeeee…,” ledek Ayla.“La, Kak Gab, kenalin temen sekaligus tetangga deket gue, namanya Iko,” sahut Matari sambil menunjuk Iko dengan santai. “Ko, ini Ayla temen sekelas gue dan cowoknya.”“Halo,
Saat Matari masuk di hari Senin, seluruh teman-teman dekatnya telah tampak menunggunya datang. Terutama Ayla. Dia tampak antusias dengan kedatangan Matari.Matari sungguh merasa aneh ditunggu seperti itu. Padahal dia sudah datang lebih siang, karena sedang berlangsung classmeeting, di mana semua siswa bebas datang jam berapa ke sekolah.“Siapa tuh kemariiinnn?” tanya Ayla yang pertama menyambut sambil merangkulnya. “Lo kok nggak ngenalin sih ke kita-kita.”Matari tak langsung menjawab. Dia bahkan duduk dan langsung memakan roti isi cokelatnya yang dibawa dari rumah.“Siapa dong, kasih tahu doooong!” seru Ayla semakin mendesak. “Ganteng banget soalnya!”“Ya trus kenapa? Biarin dia makan dulu kek, La. Emang nggak boleh Matari punya temen ganteng di luar radar lo?” sambung Praja sedikit membela. “Gue juga penasaran, tapi nggak gitu caranya.”“Bentar guys. Gue
Bulan melangkahkan kakinya yg kurus dan jenjang di antara para orangtua siswa-siswi di kelas Matari. Penampilannya tak mencolok. Dia bahkan tampak lebih seperti guru muda honorer dengan pakaian bebas. Bulan yang kali ini sudah memakai kacamata, tetap terlihat paling muda di antara para wali murid lainnya.Di kejauhan Tante Dina tampak mengantri masuk ke ruang kelas milik Sandra. Terlihat Sandra tak jauh dari ibunya, menggandeng dan berbicara akrab seperti biasa. Bulan kadang kasihan pada Matari, dia selalu diwakilkan orang lain. Matari tampak pasrah kali ini. Dia dan teman-temannya hanya bisa menunggu di depan kelas masing-masing.Bulan duduk di tempat Matari duduk. Di sebelah ada bapak-bapak memakai pakaian seragam PNS berwarna cokelat yang biasanya. Wajahnya mirip dengan Praja hanya saja versi lebih tua.“Kakaknya Matari?” sapa Bapak-bapak bernama Pak Ratman itu sambil tersenyum ramah.“Halo, Pak, saya Bulan. Bapaknya Praja, ya?”
“Halo, Mbak Bulan. Bagaimana kabar sampeyan?” tanya Bu Fitri sambil menyalami Bulan dengan ramah.“Baik, Bu. Ibu sehat selalu kan?” sahut Bulan.“Alhamdulillah. Tahun depan insha Allah saya pensiun. Jujur kelas Matari ini cukup berkesan buat saya. Anak-anaknya banyak yang royal. Mereka bahkan nggak segan-segan patungan duit banyak kalau ada apa-apa. Ini mereka rencana ke Dufan buat perpisahan, sudah tahu belum?”Bulan menggeleng.“Jadi anak-anak ada rencana buat perpisahan. Bukan resmi dari sekolah sih. Tapi tenang saja, saya ikut, ada beberapa guru honorer juga yang ikut mengawasi. Saya harap Matari bisa ikut juga. Nanti kan kelas dua dia bisa saja tak sekelas lagi dengan teman-temannya di sini. Apalagi dia sudah mantep ya di IPS. Mbak Bulan dulu jurusan apa?”“Saya IPA, Bu. Oke, soal Dufan nanti saya coba bicara sama Ayah saya ya.”“Tolong dibantu ya, Mbak. Jujur aj
Acara perpisahan ke Dufan akan diadakan pada hari Sabtu akhir minggu ini. Liburan diadakan selama 2 minggu. Seminggu sisanya, Matari berniat pulang ke rumah Neneknya yang berada di Jawa Tengah, sekalian menjenguk makam ibunya yang entah sudah berapa lama dia tak ke sana.Saat Matari sampai di Dufan dengan bus swadaya dari keluarga Hafis, Matari langsung berhamburan ke mana-mana, bersenang-senang dengan teman-temannya. Bu Fitri mengawasi dari kejauhan dengan sesekali duduk di kursi-kursi permanen yang disediakan bagi pengunjung.Guru-guru honorer yang sudah ditunjuk untuk mewakili sekolah menemani kelas 1-3, mau tak mau berhamburan mengikuti beberapa gerombolan murid yang terpecah belah.Matari, Praja, Hafis, Beno, Dinda dan Ayla berjalan bersama-sama tak terpisahkan. Sambil foto-foto di camera digital milik Hafis, mereka mencoba semua wahana dan saling meluapkan kegembiraan dengan caranya sendiri-sendiri.“Eh, ada yang mau ke toilet?” tanya Ma
Rencana Matari pergi ke rumah Neneknya tiba. Matari sebenarnya deg-degan harus melakukan perjalanan sendiri dengan kereta untuk pertama kali dalam hidupnya. Di Jakarta dia sudah terbiasa sendiri ke mana-mana. Tapi, untuk ke kampung halaman ibunya, ternyata rasanya tak senyaman itu.Saat dia meletakkan tas jinjingnya di atas bagasi kursi tempat dia duduk, dia menyadari dua orang cowok yang dikenalnya, yang mirip satu sama lain. Perbedaan mereka ada di tahi lalat. Dan jelas yang bertanda tahi lalat tersebut bernama Ricko. Sedangkan Rocky, kembarannya, adalah mantan pacar sebulan Matari di masa lampau saat SMP.“Duduk di mana?” bisik Matari.Rocky dan Ricko hanya kompak menunjuk bagian belakang, tepat dua deret di belakang Matari. Matari agak kecewa karena tak duduk berdekatan dengan salah satu di antara mereka. Tapi mau bagaimana lagi.Tak lama, kereta berjalan. Tujuannya adalah Semarang. Setelah beberapa jam duduk, Ricko berdiri dan bertanya pa
Nenek Matari sudah lama tinggal sendirian. Dengan rumah sebesar itu dan juga kamar-kamar kosong yang berada di dalamnya. Matari selalu bergidik apabila melewati kamar-kamar itu. Seperti saat ini, bahkan saat ada si kembar dan Om Jo, sepupu ibu mereka yang ikut mengantarkan Matari.Lampu yang terang benderang selalu berhasil mengikis ketakutan Matari sedikit. Meskipun apabila ketiga tamu itu kembali pulang, rasa takut itu akan kembali datang perlahan.Setelah berbasa-basi, si kembar dan Om Jo pamit pulang. Saat itu memang sudah sangat larut. Jam digital di tangan Matari sudah menunjukkan pukul 11 lewat.“Jangan lupa cuci tangan, cuci kaki, ganti baju, terus tidur sama Nenek ya,” kata Nenek sambil mematikan lampu ruang utama.Matari segera membuntuti Neneknya ke kamar paling belakang, di mana Neneknya tidur selama ini. Kamar itu sebenarnya kamar paling kecil. Hanya muat Kasur ukuran single serta sebuah nakas kecil dengan radio. Nenek Matari mema