“Halo, Mbak Bulan. Bagaimana kabar sampeyan?” tanya Bu Fitri sambil menyalami Bulan dengan ramah.
“Baik, Bu. Ibu sehat selalu kan?” sahut Bulan.
“Alhamdulillah. Tahun depan insha Allah saya pensiun. Jujur kelas Matari ini cukup berkesan buat saya. Anak-anaknya banyak yang royal. Mereka bahkan nggak segan-segan patungan duit banyak kalau ada apa-apa. Ini mereka rencana ke Dufan buat perpisahan, sudah tahu belum?”
Bulan menggeleng.
“Jadi anak-anak ada rencana buat perpisahan. Bukan resmi dari sekolah sih. Tapi tenang saja, saya ikut, ada beberapa guru honorer juga yang ikut mengawasi. Saya harap Matari bisa ikut juga. Nanti kan kelas dua dia bisa saja tak sekelas lagi dengan teman-temannya di sini. Apalagi dia sudah mantep ya di IPS. Mbak Bulan dulu jurusan apa?”
“Saya IPA, Bu. Oke, soal Dufan nanti saya coba bicara sama Ayah saya ya.”
“Tolong dibantu ya, Mbak. Jujur aj
Acara perpisahan ke Dufan akan diadakan pada hari Sabtu akhir minggu ini. Liburan diadakan selama 2 minggu. Seminggu sisanya, Matari berniat pulang ke rumah Neneknya yang berada di Jawa Tengah, sekalian menjenguk makam ibunya yang entah sudah berapa lama dia tak ke sana.Saat Matari sampai di Dufan dengan bus swadaya dari keluarga Hafis, Matari langsung berhamburan ke mana-mana, bersenang-senang dengan teman-temannya. Bu Fitri mengawasi dari kejauhan dengan sesekali duduk di kursi-kursi permanen yang disediakan bagi pengunjung.Guru-guru honorer yang sudah ditunjuk untuk mewakili sekolah menemani kelas 1-3, mau tak mau berhamburan mengikuti beberapa gerombolan murid yang terpecah belah.Matari, Praja, Hafis, Beno, Dinda dan Ayla berjalan bersama-sama tak terpisahkan. Sambil foto-foto di camera digital milik Hafis, mereka mencoba semua wahana dan saling meluapkan kegembiraan dengan caranya sendiri-sendiri.“Eh, ada yang mau ke toilet?” tanya Ma
Rencana Matari pergi ke rumah Neneknya tiba. Matari sebenarnya deg-degan harus melakukan perjalanan sendiri dengan kereta untuk pertama kali dalam hidupnya. Di Jakarta dia sudah terbiasa sendiri ke mana-mana. Tapi, untuk ke kampung halaman ibunya, ternyata rasanya tak senyaman itu.Saat dia meletakkan tas jinjingnya di atas bagasi kursi tempat dia duduk, dia menyadari dua orang cowok yang dikenalnya, yang mirip satu sama lain. Perbedaan mereka ada di tahi lalat. Dan jelas yang bertanda tahi lalat tersebut bernama Ricko. Sedangkan Rocky, kembarannya, adalah mantan pacar sebulan Matari di masa lampau saat SMP.“Duduk di mana?” bisik Matari.Rocky dan Ricko hanya kompak menunjuk bagian belakang, tepat dua deret di belakang Matari. Matari agak kecewa karena tak duduk berdekatan dengan salah satu di antara mereka. Tapi mau bagaimana lagi.Tak lama, kereta berjalan. Tujuannya adalah Semarang. Setelah beberapa jam duduk, Ricko berdiri dan bertanya pa
Nenek Matari sudah lama tinggal sendirian. Dengan rumah sebesar itu dan juga kamar-kamar kosong yang berada di dalamnya. Matari selalu bergidik apabila melewati kamar-kamar itu. Seperti saat ini, bahkan saat ada si kembar dan Om Jo, sepupu ibu mereka yang ikut mengantarkan Matari.Lampu yang terang benderang selalu berhasil mengikis ketakutan Matari sedikit. Meskipun apabila ketiga tamu itu kembali pulang, rasa takut itu akan kembali datang perlahan.Setelah berbasa-basi, si kembar dan Om Jo pamit pulang. Saat itu memang sudah sangat larut. Jam digital di tangan Matari sudah menunjukkan pukul 11 lewat.“Jangan lupa cuci tangan, cuci kaki, ganti baju, terus tidur sama Nenek ya,” kata Nenek sambil mematikan lampu ruang utama.Matari segera membuntuti Neneknya ke kamar paling belakang, di mana Neneknya tidur selama ini. Kamar itu sebenarnya kamar paling kecil. Hanya muat Kasur ukuran single serta sebuah nakas kecil dengan radio. Nenek Matari mema
Nenek Matari mengikuti almarhum Kakek Matari saat muda dulu pindah ke rumah ini. Anak-anak mereka, semuanya tinggal satu rumah dan menempati kamar-kamar kosong itu berdua-dua. Dengan total 11 bersaudara, Matari bisa membayangkan ramainya rumah berpuluh-puluh tahun yang lalu itu. Ada 5 kamar kosong selain kamar milik Nenek.Semua kamar itu sekarang hanya diisi saat lebaran. Selebihnya hanya kamar kosong yang bergantian dibersihkan oleh Nenek setiap hari. Nenek adalah orang yang rajin, saat Matari bangun pagi itu, beliau sudah selesai memasak dan sedang membersihkan salah satu kamar dan membuka jendelanya lebar-lebar.Berbeda dengan malam hari, rumah Nenek di siang hari adalah rumah yang terang dan hangat. Sangat kontras dengan udara luar yang dingin karena di pegunungan.Matari sama sekali tak takut jika pagi datang seperti ini. Semua sudut rumah Nenek selalu seru. Banyak buku-buku tua yang ditinggalkan Ibu dan saudara-saudaranya saat muda, di berbagai rak yang a
Sepanjang ingatan Matari, dia tak pernah benar-benar mengenal para penyewa pavilliun di rumah Neneknya. Kebanyakan mereka hanya pendatang sementara yang tinggal paling lama 2 tahun. Setelah itu mereka pergi mencari rumah tinggal tetap, ada juga yang nomaden, pindah lagi ke tempat lain. Tapi kebanyakan keluarga-keluarga itu datang dan pergi dalam kurun waktu tertentu.Memang, Nenek mengisyaratkan penyewa minimal 1 tahun untuk bisa menyewa pavilliunnya. Itupun yang diperbolehkan hanya jika pihak penyewa adalah kategori keluarga saja. Penyewa mandiri tak pernah diperbolehkan. Hal itu dikarenakan demi keamanan lingkungannya sekitar dengan keberadaan orang baru. Apalagi Nenek hanya tinggal seorang diri.Namun, kali ini, tampaknya mereka sudah menyewa lebih dari 2 tahun. Mereka adalah pendatang dari Jawa Timur yang sedang merintis usaha bengkel di sekitar pasar yang tak jauh dari rumah Neneknya.Selama Matari berlibur, Matari tak pernah bertemu mereka secara berdekata
Matari masih terpaku di depan rak buku di salah satu sudut kamar kosong di rumah Nenek. Ada banyak buku-buku serial detektif di sana dengan cetakan edisi lama. Ada Enyd Blyton, John Grisham, hingga Agatha Christie. Matari selalu menghabiskan waktu di sana jika berlibur. Perpustakaan mini itu adalah salah satu penghiburnya di sini, selain menonton tv.Buku-buku yang tak banyak lagi ditemukan di toko buku, ada di sana. Karena hampir sebagian adalah cetakan pertama, buku-buku itu tampak usang. Halaman-halamannya sudah menguning. Namun, masih bisa dibaca, tulisannya masih dalam keadaan baik-baik saja.Hampir seluruh anak-anak di keluarga Neneknya memang sangat gemar membaca. Karakter itu diturunkan dengan baik hingga ke Matari dan Bulan. Keduanya selalu menjadikan tempat ini adalah tempat pelarian yang menyenangkan.“Kalo ada yang kamu suka, bawa aja ke Jakarta, nanti Nenek bantu bungkusin di kardus,” kata Nenek mengagetkan Matari.“Enggakla
Matari mengikuti Nenek berjalan dengan lincah melewati gang demi gang di dalam pasar tradisional dekat rumahnya hari ini. Nenek bersikeras membawa oleh-oleh camilan untuk dibawa Matari ke Jakarta. Mau tak mau, Matari akhirnya mengikuti Neneknya untuk berpetualang di pasar memilih camilan.“Nah, yang di seberang itu, bengkel gede itu, punya orangtuanya Chacha,” kata Nenek sambil menunjuk sebuah bengkel yang lebarnya setara 3 kios di tepi pasar.Matari cukup heran, dengan bengkel sebesar dan seramai itu, kenapa mereka tak punya rumah sendiri dan masih menyewa pavilliun di tempat Nenek. Entah apa alasannya, namun, Matari yakin, keluarga Chacha tampaknya cukup berada.Saat Matari asyik memilih camilan, Chacha datang menyapa mereka. Dia beralasan bahwa tak sengaja melihat Matari dan neneknya sedang berbelanja, sehingga Ibu dan Bapaknya menyuruh Chacha untuk membantu.“Bengkel lo gede juga,” ucap Matari sambil mengikuti Nenek menuju ke l
Malam itu, kedua orangtua Chacha serta Chacha sendiri, muncul dengan berpakaian ala rumahan. Mereka terlihat siap untuk makan malam bersama. Matari merasa tidak terlalu nyaman, karena bagaimanapun juga mereka bukan bagian dari keluarga asli. Namun, melihat keantusiasan Neneknya, dia mau tak mau hanya bisa membantu sebisanya.Selepas makan malam, ketiganya duduk bersama-sama di depan tv. Matari memilih acara kuis Family 100, karena hanya channel itu yang jelas di rumah Neneknya. Channel lainnya blur, kadang hanya suara saja. Maklum saja, tv memang benda paling jarang dinyalakan di rumah itu.“Mbak Matari kelas 2 SMA ya? Ada saran nggak buat Chacha, bentar lagi dia kelas 1 SMA nih,” kata Ibu Chacha, ramah.“Apa sih, Bu? Lagian sekarang udah bukan kelas 2 sebutannya, kelas 10, ibu!” seru Chacha. “Ya kan, Mbak?”“Eh, iya,” sahut Matari sambil tersenyum.Tahun 2004-2005 sesaat setelah Matari kenaikan kelas
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”