Rencana Matari pergi ke rumah Neneknya tiba. Matari sebenarnya deg-degan harus melakukan perjalanan sendiri dengan kereta untuk pertama kali dalam hidupnya. Di Jakarta dia sudah terbiasa sendiri ke mana-mana. Tapi, untuk ke kampung halaman ibunya, ternyata rasanya tak senyaman itu.
Saat dia meletakkan tas jinjingnya di atas bagasi kursi tempat dia duduk, dia menyadari dua orang cowok yang dikenalnya, yang mirip satu sama lain. Perbedaan mereka ada di tahi lalat. Dan jelas yang bertanda tahi lalat tersebut bernama Ricko. Sedangkan Rocky, kembarannya, adalah mantan pacar sebulan Matari di masa lampau saat SMP.
“Duduk di mana?” bisik Matari.
Rocky dan Ricko hanya kompak menunjuk bagian belakang, tepat dua deret di belakang Matari. Matari agak kecewa karena tak duduk berdekatan dengan salah satu di antara mereka. Tapi mau bagaimana lagi.
Tak lama, kereta berjalan. Tujuannya adalah Semarang. Setelah beberapa jam duduk, Ricko berdiri dan bertanya pa
Nenek Matari sudah lama tinggal sendirian. Dengan rumah sebesar itu dan juga kamar-kamar kosong yang berada di dalamnya. Matari selalu bergidik apabila melewati kamar-kamar itu. Seperti saat ini, bahkan saat ada si kembar dan Om Jo, sepupu ibu mereka yang ikut mengantarkan Matari.Lampu yang terang benderang selalu berhasil mengikis ketakutan Matari sedikit. Meskipun apabila ketiga tamu itu kembali pulang, rasa takut itu akan kembali datang perlahan.Setelah berbasa-basi, si kembar dan Om Jo pamit pulang. Saat itu memang sudah sangat larut. Jam digital di tangan Matari sudah menunjukkan pukul 11 lewat.“Jangan lupa cuci tangan, cuci kaki, ganti baju, terus tidur sama Nenek ya,” kata Nenek sambil mematikan lampu ruang utama.Matari segera membuntuti Neneknya ke kamar paling belakang, di mana Neneknya tidur selama ini. Kamar itu sebenarnya kamar paling kecil. Hanya muat Kasur ukuran single serta sebuah nakas kecil dengan radio. Nenek Matari mema
Nenek Matari mengikuti almarhum Kakek Matari saat muda dulu pindah ke rumah ini. Anak-anak mereka, semuanya tinggal satu rumah dan menempati kamar-kamar kosong itu berdua-dua. Dengan total 11 bersaudara, Matari bisa membayangkan ramainya rumah berpuluh-puluh tahun yang lalu itu. Ada 5 kamar kosong selain kamar milik Nenek.Semua kamar itu sekarang hanya diisi saat lebaran. Selebihnya hanya kamar kosong yang bergantian dibersihkan oleh Nenek setiap hari. Nenek adalah orang yang rajin, saat Matari bangun pagi itu, beliau sudah selesai memasak dan sedang membersihkan salah satu kamar dan membuka jendelanya lebar-lebar.Berbeda dengan malam hari, rumah Nenek di siang hari adalah rumah yang terang dan hangat. Sangat kontras dengan udara luar yang dingin karena di pegunungan.Matari sama sekali tak takut jika pagi datang seperti ini. Semua sudut rumah Nenek selalu seru. Banyak buku-buku tua yang ditinggalkan Ibu dan saudara-saudaranya saat muda, di berbagai rak yang a
Sepanjang ingatan Matari, dia tak pernah benar-benar mengenal para penyewa pavilliun di rumah Neneknya. Kebanyakan mereka hanya pendatang sementara yang tinggal paling lama 2 tahun. Setelah itu mereka pergi mencari rumah tinggal tetap, ada juga yang nomaden, pindah lagi ke tempat lain. Tapi kebanyakan keluarga-keluarga itu datang dan pergi dalam kurun waktu tertentu.Memang, Nenek mengisyaratkan penyewa minimal 1 tahun untuk bisa menyewa pavilliunnya. Itupun yang diperbolehkan hanya jika pihak penyewa adalah kategori keluarga saja. Penyewa mandiri tak pernah diperbolehkan. Hal itu dikarenakan demi keamanan lingkungannya sekitar dengan keberadaan orang baru. Apalagi Nenek hanya tinggal seorang diri.Namun, kali ini, tampaknya mereka sudah menyewa lebih dari 2 tahun. Mereka adalah pendatang dari Jawa Timur yang sedang merintis usaha bengkel di sekitar pasar yang tak jauh dari rumah Neneknya.Selama Matari berlibur, Matari tak pernah bertemu mereka secara berdekata
Matari masih terpaku di depan rak buku di salah satu sudut kamar kosong di rumah Nenek. Ada banyak buku-buku serial detektif di sana dengan cetakan edisi lama. Ada Enyd Blyton, John Grisham, hingga Agatha Christie. Matari selalu menghabiskan waktu di sana jika berlibur. Perpustakaan mini itu adalah salah satu penghiburnya di sini, selain menonton tv.Buku-buku yang tak banyak lagi ditemukan di toko buku, ada di sana. Karena hampir sebagian adalah cetakan pertama, buku-buku itu tampak usang. Halaman-halamannya sudah menguning. Namun, masih bisa dibaca, tulisannya masih dalam keadaan baik-baik saja.Hampir seluruh anak-anak di keluarga Neneknya memang sangat gemar membaca. Karakter itu diturunkan dengan baik hingga ke Matari dan Bulan. Keduanya selalu menjadikan tempat ini adalah tempat pelarian yang menyenangkan.“Kalo ada yang kamu suka, bawa aja ke Jakarta, nanti Nenek bantu bungkusin di kardus,” kata Nenek mengagetkan Matari.“Enggakla
Matari mengikuti Nenek berjalan dengan lincah melewati gang demi gang di dalam pasar tradisional dekat rumahnya hari ini. Nenek bersikeras membawa oleh-oleh camilan untuk dibawa Matari ke Jakarta. Mau tak mau, Matari akhirnya mengikuti Neneknya untuk berpetualang di pasar memilih camilan.“Nah, yang di seberang itu, bengkel gede itu, punya orangtuanya Chacha,” kata Nenek sambil menunjuk sebuah bengkel yang lebarnya setara 3 kios di tepi pasar.Matari cukup heran, dengan bengkel sebesar dan seramai itu, kenapa mereka tak punya rumah sendiri dan masih menyewa pavilliun di tempat Nenek. Entah apa alasannya, namun, Matari yakin, keluarga Chacha tampaknya cukup berada.Saat Matari asyik memilih camilan, Chacha datang menyapa mereka. Dia beralasan bahwa tak sengaja melihat Matari dan neneknya sedang berbelanja, sehingga Ibu dan Bapaknya menyuruh Chacha untuk membantu.“Bengkel lo gede juga,” ucap Matari sambil mengikuti Nenek menuju ke l
Malam itu, kedua orangtua Chacha serta Chacha sendiri, muncul dengan berpakaian ala rumahan. Mereka terlihat siap untuk makan malam bersama. Matari merasa tidak terlalu nyaman, karena bagaimanapun juga mereka bukan bagian dari keluarga asli. Namun, melihat keantusiasan Neneknya, dia mau tak mau hanya bisa membantu sebisanya.Selepas makan malam, ketiganya duduk bersama-sama di depan tv. Matari memilih acara kuis Family 100, karena hanya channel itu yang jelas di rumah Neneknya. Channel lainnya blur, kadang hanya suara saja. Maklum saja, tv memang benda paling jarang dinyalakan di rumah itu.“Mbak Matari kelas 2 SMA ya? Ada saran nggak buat Chacha, bentar lagi dia kelas 1 SMA nih,” kata Ibu Chacha, ramah.“Apa sih, Bu? Lagian sekarang udah bukan kelas 2 sebutannya, kelas 10, ibu!” seru Chacha. “Ya kan, Mbak?”“Eh, iya,” sahut Matari sambil tersenyum.Tahun 2004-2005 sesaat setelah Matari kenaikan kelas
Bagi Matari, pergi dari rumah Nenek adalah hal yang antara mau dan tak mau. Jika saja Jakarta-Semarang jaraknya tak sejauh itu, atau minimal hanya beda kecamatan saja dengan rumah Eyang Putrinya, maka, Matari akan lebih memilih tinggal bersama Nenek. Dia akan nekat pergi dari rumah Eyang Putri dengan alasan apapun.Namun, mengingat kota kecil di kaki pegunungan ini, yang masih bagian dari kota Semarang, adalah kota kecil yang tak menawarkan banyak hal untuknya, dia sadar, saat liburan akan usai, dia harus segera pulang.Dan Nenek, selalu saja menitikkan air mata saat harus berpisah dengan Matari. Tak hanya Matari, namun saat semua cucu-cucunya atau salah satu anaknya yang datang kemari dan harus kembali pulang saat liburan telah usai.Matari memang tak pernah merasa di manapun adalah rumah. Namun, setidaknya, rumah Nenek adalah tempat dia mengisi kembali energi positifnya. Meskipun dia harus berjuang lagi berhari-hari ke depan, hingga energi positif itu mungkin
Tampaknya, saat Matari naik ke dalam kereta, kereta sudah hampir saja berangkat. Untungnya dia masih bisa menggapai kereta dan duduk dengan nyaman meskipun ngos-ngosan.Kemacetan di jalan tol akibat adanya kecelakaan mendadak, membuat dirinya tiba di stasiun hampir terlambat. Si kembar bahkan sudah meninggalkannya dari ruang tunggu. Mereka naik terlebih dahulu ke gerbong, sehingga Matari tak sempat bertanya di gerbong mana mereka duduk. HP-nya berkali-kali berdering. Namun, dia bahkan tak sempat mengangkatnya.Saat Matari berdiri untuk meletakkan tas jinjing dan kardus oleh-olehnya, dia melayangkan pandangan ke seluruh gerbong miliknya, namun tak ada tanda-tanda si kembar berada di gerbong yang sama seperti saat berangkat sebelumnya.Matari kembali duduk. Di sebelahnya adalah bapak-bapak anggota TNI yang langsung tertidur karena lelah. Entah kenapa seperti terbius, saat kereta meninggalkan stasiun hanya sekitar 15 menit berlalu, dia juga akhirnya tertidur