Tampaknya, saat Matari naik ke dalam kereta, kereta sudah hampir saja berangkat. Untungnya dia masih bisa menggapai kereta dan duduk dengan nyaman meskipun ngos-ngosan.
Kemacetan di jalan tol akibat adanya kecelakaan mendadak, membuat dirinya tiba di stasiun hampir terlambat. Si kembar bahkan sudah meninggalkannya dari ruang tunggu. Mereka naik terlebih dahulu ke gerbong, sehingga Matari tak sempat bertanya di gerbong mana mereka duduk. HP-nya berkali-kali berdering. Namun, dia bahkan tak sempat mengangkatnya.
Saat Matari berdiri untuk meletakkan tas jinjing dan kardus oleh-olehnya, dia melayangkan pandangan ke seluruh gerbong miliknya, namun tak ada tanda-tanda si kembar berada di gerbong yang sama seperti saat berangkat sebelumnya.
Matari kembali duduk. Di sebelahnya adalah bapak-bapak anggota TNI yang langsung tertidur karena lelah. Entah kenapa seperti terbius, saat kereta meninggalkan stasiun hanya sekitar 15 menit berlalu, dia juga akhirnya tertidur
Matari melambaikan tangannya pada si kembar saat berpisah. Matari terpaksa bilang dia akan dijemput, karena pastinya si kembar akan menawarkan tumpangan jika Matari tak bilang seperti itu. Dia sudah merempotkan mereka saat ke Semarang, kali ini dia tak mau lagi.Sepeninggalan mereka, Matari berjalan pelan menuju ke pos ojek. Dulu, ojek online belum ada, sehingga satu-satunya yang dia percayai sampai di depan rumahnya adalah ojek biasa. Ada bajaj, namun saat itu bajaj tak ada yang kosong, semuanya sudah pergi membawa penumpang masing-masing.Setiba di rumah Eyang Putri, Matari segera masuk dan membongkar camilan oleh-oleh dari Neneknya di Semarang. Dua plastik besar camilan dia pisahkan untuk diberikan ke Tante Indira, tetangganya yang sekaligus Ibu dari Iko itu.Bagaimanapun juga, Tante Indira tak pernah absen memberikan oleh-oleh pada Matari dan keluarganya saat berpergian ke manapun. Paling tidak, ini adalah salah satu bentuk untuk membalas kebaikan mereka, wa
“SIAPA???? Rama maksud lo?” seru Rama saat menelepon Matari sesaat setelah cewek itu mengirimkan SMS padanya.“Ampuuun, jangan kenceng-kenceng, telinga gue bisa budek permanen tahu! Lagian gue kan cuma SMS, kenapa langsung nelepon sih?” timpal Matari.“Seumur-umur gue kenal sama lo, lo nggak pernah nanyain cowok ke gue. Bahkan dulu, udah gue kenalin sama geng sepeda gue, sohib gue selama di Anyer pun, elo bahkan nggak terlalu gubris mereka.”Ya dulu kan, gue suka sama lo, dasar bego, batin Matari.“Penasaran aja gue. Kalian pernah gue liat sapa-sapaan.”“Hmmm, lo penasaran apa naksir? Jangan naksir dia ah!”“Kenapa?”“Wah, brarti bener nih? Kok tanya “Kenapa” segala?”“Ya nggak tahu. Ganteng aja. Gue suka sorot matanya, walaupun pake softlens sekalipun.”“Ganteng itu relatif. Buktinya lo dul
Matari berjalan bersama Sandra, menuju deretan kelas 11. Sandra berpisah ke deretan seberang, yang mana, isinya adalah deretan kelas 11 IPA. Papan-papan tanda pengenal kelas masih tampak baru dan sesekali tercium aroma cat. Kelas-kelas tampaknya di cat ulang, setelah selama setahun lamanya dijadikan tempat coret-coret tembok siswa-siswinya.Matari tak tahu, dia harus ke mana. Namanya tak ada di 11 IPS 1, tempat Ayla dan 3 serangkai (Beno, Praja dan Hafis), beruntung menjadi satu kelas. Dia sedikit iri pada Ayla, bisa bergabung bersama mereka setahun ke depan. Sedangkan dia, entah di mana.Namanya pun lagi-lagi tak ada di 11 IPS 2, tempat Davi berada. Davi sempat menyebut bahwa nama Matari di 11 IPS 3, yang mana Matari tak tahu benar atau tidaknya. Entah kenapa dia harus percaya pada Davi. Masa iya, cowok itu mencari namanya seniat itu ke kelas-kelas lain. Ataukah dia mencari nama orang lain, selain dirinya, dan kebetulan saja menemukan namanya di kelas 11 IPS 3. Yah, a
Arai memilih duduk paling depan, pojok, dekat tembok dengan salah satu cowok bertubuh tambun yang diketahui Matari bernama Guntur. Tak ada anggota geng GWR di kelas ini, Arai hanya satu-satunya.Untuk itu bagi Matari agak sedikit aneh, kelas ini lebih “diam” dibanding kelas IPS yang lain. Kelas lain selalu terlihat ricuh dan awut-awutan. Bahkan di kelas Ayla, isinya adalah siswa-siswi masa kecil kurang bahagia. Mereka bisa kejar-kejaran, berteriak-teriak dari dalam kelas. Namun, rata-rata kelas IPS lain juga seperti itu.Berbanding terbalik dengan deretan kelas IPA di seberangnya yang adem ayem. Kelas Bahasa juga sama karena isinya sebagian besar perempuan tahun ini.Setelah pemilihan ketua kelas yang jatuh pada teman sekelasnya yang bernama Dafa, Matari harus pasrah saat kali ini ditunjuk sebagai sekretaris 1. Yana sendiri didapuk sebagai Bendahara 1.“Halo, kalian dulu 1-3 ya?” sapa Anya, yang duduk di depan Matari persi
Saat muda, saat punya sebuah kelompok, pasti merasa ingin seterusnya tetap berada dalam kelompok tersebut. Tak mau dipisahkan seakan-akan mereka semua akan bersama-sama dan bersahabat sampai mati. Begitupula yang dirasakan oleh Matari.2 minggu pasca masuk sebagai anggota kelas 11 IPS 3, dia menghampiri Three Musketeers alias 3 serangkai yang sedang jajan siomay dari balik pagar sekolah, karena pedagang dari luar tak boleh masuk ke area manapun. Tak ada tanda-tanda Ayla dan Adeline sama sekali. Mungkin mereka sedang jajan di kantin.“Muka lo suntuk banget, kenapa sih? Soal kelakuan Arai sama lo? Gue udah denger dari Praja, nggak usah dipeduliinlah!” kata Hafis saat Matari berdiri bersandar di dekat mereka. “Mau siomay nggak lo? Gue traktir nih, biar happy!”Matari meringis. Tentu saja mau. Siapa yang menolak makanan gratis.“Bang, siomay satu porsi lagi. Kasih ke dia ya!” kata Hafis menunjuk Matari.&ldq
Dalam waktu cepat, tak disangka, Matari bisa mengumpulkan banyak massa. Bahkan rata-rata dalam satu kelas, ada separuh lebih siswa yang tak nyaman dengan kelasnya yang baru.Tak disangkanya juga, di kelasnya sendiri, yang tampak adem ayem, banyak juga yang ingin pindah ke kelas lain. Mereka ingin berkumpul entah dengan sahabatnya, entah dengan geng-nya.Ada juga yang mengeluh, kelasnya terlalu ramai atau terlalu “pintar” seperti Dinda. Ada juga yang malas sekelas dengan musuh bebuyutannya. Macam-macam alasannya.Matari sedang duduk di kelas 11 IPS 1, markas yang dibuatnya sementara, menghitung daftar orang yang keberatan dengan kelasnya sekarang dan juga calon kelas yang mereka tuju. Buku tulisnya digaris dengan rapi, berisi kolom nama, kelas, kelas yang dituju hingga alasan kenapa ingin pindah serta tak lupa tanda tangan mereka sendiri.“Ri, masih buka nggak?” tanya Choki yang tiba-tiba datang.Di belakang Choki, ada Arai y
Matari kembali duduk di bangkunya sendiri. Tampak Yana juga mengikutinya, guru mapel selanjutnya sudah masuk ke dalam kelas mereka. Kelas kembali tenang.“Eh, Yan, pinjem tipe-x dong,” kata Matari.Yana memberikan tipe-x-nya tanpa bicara. Teman sebelahnya itu biasanya banyak bicara, entah soal jalanan yang macet, entah bekalnya yang kurang enak atau tentang uang sakunya yang sedikit karena selalu membawa bekal. Hal-hal remeh temeh seperti itu. Namun kali ini tidak.Dia bahkan enggan menatap Matari. Tak hanya Yana yang bersikap aneh, namun Anya dan Priscilla, dua siswi yang duduk di depan mereka, bersikap juga kurang lebih sama. Keganjilan ini semakin menjadi, saat tugas diberikan, biasanya mereka berdiskusi saat menemukan soal yang sulit, namun, kali ini Matari tampak seperti invicible.Kecurigaan makin menjadi saat mereka berempat harus benar-benar berkelompok membuat analisi ekonomi perusahaan X sesuai tugas yang diberikan di jam pe
Pagi hari berikutnya, H-1 pemilihan Ketua Osis yang akan diadakan besokannya lagi, Matari datang lebih pagi. Sandra sampai memilih berangkat belakangan, karena jam 6.15 terlalu pagi untuknya.Niatnya datang pagi, karena Matari hanya ingin berbicara baik-baik pada Yana.Yana termasuk siswi yang datang ke sekolah lebih pagi dari siswa-siswi lain, karena menyesuaikan jadwal masuk kantor Ayahnya. Ayah Yana seorang PNS, sehingga selalu mengantar Yana dan adiknya, yang sekarang duduk di kelas 10 di sekolah yang sama ini, lebih pagi, agar beliau bisa langsung pergi ke kantor tanpa kejebak macet.“Yan, udah dateng?” tanya Matari berbasa-basi.Yana hanya mengangkat alis. Jantung Matari berdegup kencang. Dia tak pernah suka konfrontasi orang selama ini. Namun, karena Matari adalah penyulut semua ini terjadi, walaupun tak secara langsung, dia akhirnya mengalah dan memberanikan diri berbicara duluan.“Yan, lo kenapa sih sama gue? Udah d