Malam itu, kedua orangtua Chacha serta Chacha sendiri, muncul dengan berpakaian ala rumahan. Mereka terlihat siap untuk makan malam bersama. Matari merasa tidak terlalu nyaman, karena bagaimanapun juga mereka bukan bagian dari keluarga asli. Namun, melihat keantusiasan Neneknya, dia mau tak mau hanya bisa membantu sebisanya.
Selepas makan malam, ketiganya duduk bersama-sama di depan tv. Matari memilih acara kuis Family 100, karena hanya channel itu yang jelas di rumah Neneknya. Channel lainnya blur, kadang hanya suara saja. Maklum saja, tv memang benda paling jarang dinyalakan di rumah itu.
“Mbak Matari kelas 2 SMA ya? Ada saran nggak buat Chacha, bentar lagi dia kelas 1 SMA nih,” kata Ibu Chacha, ramah.
“Apa sih, Bu? Lagian sekarang udah bukan kelas 2 sebutannya, kelas 10, ibu!” seru Chacha. “Ya kan, Mbak?”
“Eh, iya,” sahut Matari sambil tersenyum.
Tahun 2004-2005 sesaat setelah Matari kenaikan kelas
Bagi Matari, pergi dari rumah Nenek adalah hal yang antara mau dan tak mau. Jika saja Jakarta-Semarang jaraknya tak sejauh itu, atau minimal hanya beda kecamatan saja dengan rumah Eyang Putrinya, maka, Matari akan lebih memilih tinggal bersama Nenek. Dia akan nekat pergi dari rumah Eyang Putri dengan alasan apapun.Namun, mengingat kota kecil di kaki pegunungan ini, yang masih bagian dari kota Semarang, adalah kota kecil yang tak menawarkan banyak hal untuknya, dia sadar, saat liburan akan usai, dia harus segera pulang.Dan Nenek, selalu saja menitikkan air mata saat harus berpisah dengan Matari. Tak hanya Matari, namun saat semua cucu-cucunya atau salah satu anaknya yang datang kemari dan harus kembali pulang saat liburan telah usai.Matari memang tak pernah merasa di manapun adalah rumah. Namun, setidaknya, rumah Nenek adalah tempat dia mengisi kembali energi positifnya. Meskipun dia harus berjuang lagi berhari-hari ke depan, hingga energi positif itu mungkin
Tampaknya, saat Matari naik ke dalam kereta, kereta sudah hampir saja berangkat. Untungnya dia masih bisa menggapai kereta dan duduk dengan nyaman meskipun ngos-ngosan.Kemacetan di jalan tol akibat adanya kecelakaan mendadak, membuat dirinya tiba di stasiun hampir terlambat. Si kembar bahkan sudah meninggalkannya dari ruang tunggu. Mereka naik terlebih dahulu ke gerbong, sehingga Matari tak sempat bertanya di gerbong mana mereka duduk. HP-nya berkali-kali berdering. Namun, dia bahkan tak sempat mengangkatnya.Saat Matari berdiri untuk meletakkan tas jinjing dan kardus oleh-olehnya, dia melayangkan pandangan ke seluruh gerbong miliknya, namun tak ada tanda-tanda si kembar berada di gerbong yang sama seperti saat berangkat sebelumnya.Matari kembali duduk. Di sebelahnya adalah bapak-bapak anggota TNI yang langsung tertidur karena lelah. Entah kenapa seperti terbius, saat kereta meninggalkan stasiun hanya sekitar 15 menit berlalu, dia juga akhirnya tertidur
Matari melambaikan tangannya pada si kembar saat berpisah. Matari terpaksa bilang dia akan dijemput, karena pastinya si kembar akan menawarkan tumpangan jika Matari tak bilang seperti itu. Dia sudah merempotkan mereka saat ke Semarang, kali ini dia tak mau lagi.Sepeninggalan mereka, Matari berjalan pelan menuju ke pos ojek. Dulu, ojek online belum ada, sehingga satu-satunya yang dia percayai sampai di depan rumahnya adalah ojek biasa. Ada bajaj, namun saat itu bajaj tak ada yang kosong, semuanya sudah pergi membawa penumpang masing-masing.Setiba di rumah Eyang Putri, Matari segera masuk dan membongkar camilan oleh-oleh dari Neneknya di Semarang. Dua plastik besar camilan dia pisahkan untuk diberikan ke Tante Indira, tetangganya yang sekaligus Ibu dari Iko itu.Bagaimanapun juga, Tante Indira tak pernah absen memberikan oleh-oleh pada Matari dan keluarganya saat berpergian ke manapun. Paling tidak, ini adalah salah satu bentuk untuk membalas kebaikan mereka, wa
“SIAPA???? Rama maksud lo?” seru Rama saat menelepon Matari sesaat setelah cewek itu mengirimkan SMS padanya.“Ampuuun, jangan kenceng-kenceng, telinga gue bisa budek permanen tahu! Lagian gue kan cuma SMS, kenapa langsung nelepon sih?” timpal Matari.“Seumur-umur gue kenal sama lo, lo nggak pernah nanyain cowok ke gue. Bahkan dulu, udah gue kenalin sama geng sepeda gue, sohib gue selama di Anyer pun, elo bahkan nggak terlalu gubris mereka.”Ya dulu kan, gue suka sama lo, dasar bego, batin Matari.“Penasaran aja gue. Kalian pernah gue liat sapa-sapaan.”“Hmmm, lo penasaran apa naksir? Jangan naksir dia ah!”“Kenapa?”“Wah, brarti bener nih? Kok tanya “Kenapa” segala?”“Ya nggak tahu. Ganteng aja. Gue suka sorot matanya, walaupun pake softlens sekalipun.”“Ganteng itu relatif. Buktinya lo dul
Matari berjalan bersama Sandra, menuju deretan kelas 11. Sandra berpisah ke deretan seberang, yang mana, isinya adalah deretan kelas 11 IPA. Papan-papan tanda pengenal kelas masih tampak baru dan sesekali tercium aroma cat. Kelas-kelas tampaknya di cat ulang, setelah selama setahun lamanya dijadikan tempat coret-coret tembok siswa-siswinya.Matari tak tahu, dia harus ke mana. Namanya tak ada di 11 IPS 1, tempat Ayla dan 3 serangkai (Beno, Praja dan Hafis), beruntung menjadi satu kelas. Dia sedikit iri pada Ayla, bisa bergabung bersama mereka setahun ke depan. Sedangkan dia, entah di mana.Namanya pun lagi-lagi tak ada di 11 IPS 2, tempat Davi berada. Davi sempat menyebut bahwa nama Matari di 11 IPS 3, yang mana Matari tak tahu benar atau tidaknya. Entah kenapa dia harus percaya pada Davi. Masa iya, cowok itu mencari namanya seniat itu ke kelas-kelas lain. Ataukah dia mencari nama orang lain, selain dirinya, dan kebetulan saja menemukan namanya di kelas 11 IPS 3. Yah, a
Arai memilih duduk paling depan, pojok, dekat tembok dengan salah satu cowok bertubuh tambun yang diketahui Matari bernama Guntur. Tak ada anggota geng GWR di kelas ini, Arai hanya satu-satunya.Untuk itu bagi Matari agak sedikit aneh, kelas ini lebih “diam” dibanding kelas IPS yang lain. Kelas lain selalu terlihat ricuh dan awut-awutan. Bahkan di kelas Ayla, isinya adalah siswa-siswi masa kecil kurang bahagia. Mereka bisa kejar-kejaran, berteriak-teriak dari dalam kelas. Namun, rata-rata kelas IPS lain juga seperti itu.Berbanding terbalik dengan deretan kelas IPA di seberangnya yang adem ayem. Kelas Bahasa juga sama karena isinya sebagian besar perempuan tahun ini.Setelah pemilihan ketua kelas yang jatuh pada teman sekelasnya yang bernama Dafa, Matari harus pasrah saat kali ini ditunjuk sebagai sekretaris 1. Yana sendiri didapuk sebagai Bendahara 1.“Halo, kalian dulu 1-3 ya?” sapa Anya, yang duduk di depan Matari persi
Saat muda, saat punya sebuah kelompok, pasti merasa ingin seterusnya tetap berada dalam kelompok tersebut. Tak mau dipisahkan seakan-akan mereka semua akan bersama-sama dan bersahabat sampai mati. Begitupula yang dirasakan oleh Matari.2 minggu pasca masuk sebagai anggota kelas 11 IPS 3, dia menghampiri Three Musketeers alias 3 serangkai yang sedang jajan siomay dari balik pagar sekolah, karena pedagang dari luar tak boleh masuk ke area manapun. Tak ada tanda-tanda Ayla dan Adeline sama sekali. Mungkin mereka sedang jajan di kantin.“Muka lo suntuk banget, kenapa sih? Soal kelakuan Arai sama lo? Gue udah denger dari Praja, nggak usah dipeduliinlah!” kata Hafis saat Matari berdiri bersandar di dekat mereka. “Mau siomay nggak lo? Gue traktir nih, biar happy!”Matari meringis. Tentu saja mau. Siapa yang menolak makanan gratis.“Bang, siomay satu porsi lagi. Kasih ke dia ya!” kata Hafis menunjuk Matari.&ldq
Dalam waktu cepat, tak disangka, Matari bisa mengumpulkan banyak massa. Bahkan rata-rata dalam satu kelas, ada separuh lebih siswa yang tak nyaman dengan kelasnya yang baru.Tak disangkanya juga, di kelasnya sendiri, yang tampak adem ayem, banyak juga yang ingin pindah ke kelas lain. Mereka ingin berkumpul entah dengan sahabatnya, entah dengan geng-nya.Ada juga yang mengeluh, kelasnya terlalu ramai atau terlalu “pintar” seperti Dinda. Ada juga yang malas sekelas dengan musuh bebuyutannya. Macam-macam alasannya.Matari sedang duduk di kelas 11 IPS 1, markas yang dibuatnya sementara, menghitung daftar orang yang keberatan dengan kelasnya sekarang dan juga calon kelas yang mereka tuju. Buku tulisnya digaris dengan rapi, berisi kolom nama, kelas, kelas yang dituju hingga alasan kenapa ingin pindah serta tak lupa tanda tangan mereka sendiri.“Ri, masih buka nggak?” tanya Choki yang tiba-tiba datang.Di belakang Choki, ada Arai y
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga
“Jadi, gue punya kakak perempuan. Kebetulan dia udah almarhumah. Sakit. Nah mukanya itu mirip banget sama Matari,” kata Sindhu mengawali. “Waktu kelas 1 alias kelas 11 dulu, pas liat dia nyanyi di kemah, gue sempet kepikiran. Tapi waktu itu gue tahu, Arai lagi mulai ngedeketin dia juga.”Daffa sedikit terenyuh saat Sindhu mulai bercerita bahwa Matari mirip dengan almarhumah kakak perempuannya.“Karena sekarang kita sekelas, gue jadi bisa perhatiin terus, jadi gue jadi beneran demen sama dia. Apalagi lo liat perhatiin deh bro, toket dia lumayan gede,” kata Sindhu sambil meraba dadanya sendiri. “Paslah sesuai sama tipe-tipe gue.”Daffa yang tadinya sedikit luluh kemudian berubah menjadi merasa jijik. Daffa tak tega jika harus menjelaskan perihal itu pada Matari. Daffa juga punya ibu dan kakak perempuan yang sangat sayang padanya. Dia tak bisa membayangkan jika kakaknya diperlakukan seperti ini oleh teman sekelasnya.
Daffa selesai mengabsen teman-teman satu kelas. Setelah Matari meminta bantuannya kemarin, Daffa jadi benar-benar menyadari ada yang tak beres dengan Sindhu. Apalagi saat selesai mengabsen barusan, saat Daffa memanggil nama Matari, Sindhu secara otomatis menoleh. Hal itu dia perhatikan, berlangsung dengan pasti selama 2 minggu berturut-turut setiap kali Daffa mengabsen.Keanehan lainnya, saat Matari harus menulis di depan sebagai sekretaris, Sindhu selalu memperhatikannya. Saat dia bengong memperhatikan, Daffa akhirnya bertanya juga. Sindhu bilang, karena tulisan Matari tak terlalu terlihat jelas di matanya yang minus, makanya dia hanya bisa bengong sambil memperhatikan papan tulis saja.“Kenapa lo nggak pake kacamata aja?” tanya Daffa.“Nggak, ah, kaya lo gitu? Nggak mau. Gue kan ikut ekskul breakdance sekarang, susah kalo pake gituan. Gue mah pake softlense aja, cuma ya tetep nggak maksimal. Minus gue udah gede,” jawab Sindhu d
“Eh, Matari! Lagi liatin apa lo? Serius banget?” tanya Daffa.“Kaget gue, Daf,” sahut Matari yang menyadari Daffa tiba-tiba berdiri di sebelahnya.“Elo sih serius banget. Coba gue liat, baca apa sih lo?”“Itu, lomba nulis cerpen.”“Wahhh, iya! Ikut lo? Mayan tuh hadiahnya! Laptop sama HP!”“Gue sih ngincer laptopnya. Kalo HP sih ya udahlah ya, gue udah punya.”“Heiii, itu HP seri terbaru! Udah berkamera pula. HP lo kan masih jadul, kenapa enggak?”“Iya juga sih. Juara berapa aja sih untung aja ini mah! Juara 3 sampe Harapan aja uang cash! Mayan juga kan?”“Iya, udah coba aja dulu! Lo kan ada bakat, jadi mending maju dulu aja. Kalopun nggak menang, ya udah nggak papa, nambah pengalaman. Kalo menang sih bonuslah, piagam itu bisa dipakek lho buat daftar uni nanti. Bisa ngebantu lo.”“Masa sih, Daf?”