Ayla menyeruput es jeruknya saat Davi datang mendekat.
“Belum pulang lo, La?” tanya Davi. “Ekskul ya? Eh ini kan bukan Kamis ya?”
“Hahaha, iya, gue nungguin Gabriel sama Pauline. Pauline lagi ke toilet. Dia juga nungguin Gilang,” jawab Ayla.
Davi bisa melihat tas asing berwarna ungu tua yang ada di sebelah Ayla. Tas itu banyak coretan tipe-ex di mana-mana. Ada tandatangan orang, ada nama orang, bahkan ada quotes yang sengaja ditulis di tas yang mungkin tadinya dianggap terlalu polos itu.
Dia bisa menebak itu milik Gabriel. Gabriel adalah anak kelas 3 Bahasa yang terkenal tulisannya bagus. Dia juga ada andil melakukan coretan-coretan di tembok belakang sekolah dengan phylox. Meskipun coretannya bagus-bagus.
“Lo udah konseling?” tanya Ayla.
“Udah, tadi. Gue sih nggak kena apa-apa, jawaban gue mantep, IPS. Si Pito kena konseling sebelum kelar, karena kelihatan masih ragu. Lo sendiri?”
Ujian Nasional plus Ujian Sekolah diadakan 2 minggu berturut-turut, itu artinya seluruh siswa SMA kelas 1 dan 2 libur di rumah masing-masing agar tidak mengganggu kakak-kakaknya berjuang.Tapi libur bukan berarti tak ada tugas. Tugas menumpuk lebih banyak. Lembaran fotokopian, lembaran LKS, lembaran artikel dan novel yang harus direview dan dibuat ringkasannya, menunggu dikerjakan Matari dan teman-temannya.Untungnya, beberapa tugasnya ada yang sama dengan tugas Sandra. Sehingga mereka berdua sering mengerjakan tugas bersama-sama. Kadang, Ayla dan Dinda ikut nimbrung. Praja, Beno dan Hafis hanya sesekali muncul. Mereka lebih suka menghabiskan waktunya untuk main game.Maka, saat sore itu Praja muncul sendirian, memohon untuk mencontek tugas-tugas Matari, Matari cuma bisa sewot.“Ya udah nggak usah marah-marah mulu. Lo lagi dateng bulan ya? Gini aja, gue fotokopi deh artikelnya, nanti gue bikin sendiri. Sebagai gantinya, gue print-in tugas a
“Guys, bikin acara farewell yuk!” ajak Dinda semangat.“Belom juga ujian naik kelas, Din,” sahut Praja cuek sambil tetap mengerjakan tugasnya.“Ya harus direncanain dari sekarang, dong! Ke villa kek, sekedar jalan ke Monas, ke mana gitu sama-sama. Nanti kelas 2 itu kita semua udah beda-beda. Udah beda jurusan, diacak lagi. Gue sama lo-lo semua nggak akan sekelas. Gue udah mantep milih IPA, kalian semua IPS kan?” seru Dinda.“Iya juga, ya udah. Ajak aja anak-anak sekelas, Din!” seru Praja. “Gue mah ikut kata Buketu aja. La, tumben lo diem aja. Biasanya semangat kalo acara hura-hura.”“Atur aja, Din, hehehe,” timpal Ayla cuek.“Lagi jatuh cinta dia. SMS-an mulu sama Gabriel,” sahut Dinda kesal.“Wah, bau-bau bakalan ada yang jadian nih,” kata Matari. “Udah mantep lu, La?”Ayla hanya melempar senyum. “Nyokap Bokap si
Entah sudah sekian lama Matari tak pernah bertatapan muka langsung dengan Arai. Cowok itu selalu tak pernah melintas di sekitarnya. Sejak putus, bahkan lorong-lorong di sekolah seakan-akan tak pernah mengizinkan mereka bertemu secara langsung.Sebenarnya, Matari lebih sering melihat dari kejauhan. Sosok Arai yang kurus, yang pernah dipeluknya saat naik motor dulu, hanya tampak seperti sosok kecil yang hampir serupa dengan Choki.Pertemuan yang tidak pernah secara langsung itu, mungkin yang membuat Matari tampak lebih tegar kali ini. Tapi bisa juga karena putus bukan lagi pengalaman pertamanya. Meskipun rasa sakitnya sama, penyembuhannya lebih terasa cepat.“Gue denger, area rahasia di pojokan bakalan dipugar,” kata Praja saat jam olahraga, duduk di sebelah Matari dan Ayla.Saat itu semua tim di depan mereka sedang bertanding voli. Sisanya, yang tidak mendapatkan giliran, boleh duduk-duduk bersama sambil merenggangkan otot.“Area t
Selama seminggu, Matari berkutat pada ujian kenaikan kelas bersama seluruh siswa dan siswi kelas 1 dan 2 lainnya. Untungnya seluruh teman-temannya bisa berhasil melewati seminggu itu dengan sesuai kemampuan mereka masing-masing. Matari pun merasa ujian terasa lebih mudah karena Dinda banyak membantunya akhir-akhir ini.Matari yakin dia bisa naik kelas, namun pastinya dia akan masuk ke jurusan IPS yang desas-desusnya akan diganti namanya mulai tahun ajaran baru nanti. Dia cukup merasa deg-degan akan jurusan yang nantinya akan dia ambil di akhir kelas satu.IPA benar-benar sudah jauh dari jangkauan. Formulir telah lama dikumpulkan. Sudah tak selayaknya menyesali keputusannya sekarang.Sandra sendiri tampaknya cukup berhasil melaju masuk ke jurusan IPA, karena nilainya masih mencukupi persyaratan yang ada. Bahkan jika dia mau, dia juga bisa mengambil jurusan lain sekalipun.Namun, IPA sudah menjadi tujuan utamanya, sesuai amanat Tante Dina. Karena keberh
“Eh, Ri, gue mau cerita banyak hal soal Cakra. Gue harap lo nggak salah paham ya. Maksud gue tuh, cerita gini bukan buat pamer. Gue tahu lo lagi jomblo, tapi gue…,” Sandra terhenti.“Apaan sih, San? Kalo mau cerita mah cerita aja. Nggak ada hubungan gue lagi jomblo atau gue lagi ada cowok. Soal si Cakra ya?” timpal Matari sambil memarkir sepedanya di pekarangan rumah Eyang Putri.“Iya. Menurut lo dia gimana orangnya?”Matari mengangkat bahu.“Gue nggak terlalu kenal. Tapi sepanjang nggak bagian dari anak-anak GWR sih, harusnya aman ya.”“Huuuh, kok GWR sih? Belum move on dari Arai?”“Kok jadi Arai? Bukan! Maksud gue, kalo bagian dari mereka, udah pasti harus was-was, San. Kebanyakan nggak ada yang bener.”“Tenaaaang. Cakra mah mainnya sama temen-temennya sendiri di kelas gue. Kalo dikata populer, tentu saja enggak. Beberapa dari mereka aja ng
Ayah Matari pulang tepat waktu setiap Sabtu. Dia selalu datang pagi hari pukul 10 atau jika sore hari pasti di sekitar pukul 5. Kali ini, hari itu beliau datang pukul 10 pagi. Setelah sampai, Ayahnya langsung duduk di teras belakang, membaca koran harian sambil mengobrol dengan Mbok Kalis serta Eyang Putri sesekali.Matari pikir, ini saat yang tepat untuk bicara. Mengingat ada dua orang lain selain mereka, dia sempat ragu. Bisa saja dua orang itu akan membantu Matari berbicara. Meskipun kemungkinan besar tidak.Namun, akhirnya dia memberanikan diri untuk bicara. Dia tahu, waktunya tak banyak.“Yah, mau ngomong. Minggu depan kan, Matari mau terima rapor. Ayah bisa dateng nggak?” tanya Matari dengan takut-takut.“Ya nggak bisa, Ri. Kalau Sabtu sih Ayah usahain, kalau Jumat gitu, udah pasti nggak bisa. Nanti Ayah minta tolong sama Tante Dina atau Kak Bulan aja kaya biasanya ya?” sahut Ayah sambil menyeruput kopinya.“Tapi
“Sebelum lo dipanggil Ayah, gue kasih saran nih!” kata Kak Bulan yang mendapati Matari selesai sholat di kamarnya. “Eh, tumben lo sholat. Kalo ada masalah baru ngadu sama Allah ye? Dasar bandel!”“Sialan, kaget! Ya abis gimana, Kak. Mau ngadu ke siapa lagi?” tanya Matari polos. “Emang si Ayah ke mana, Kak?”“Nganterin Eyang ke rumah sakit. Katanya kakinya sakit. Kayanya lecet kena apa gitu nggak tahu. Eyang ditanyain juga jawab nggak tahu, lupa. Kata Ayah sih udah sampe bernanah gitu. Ngeri ah, tadi gue sempet lihat!” kata Bulan. “Btw, Sandra sama emaknya ke mana?”“Ke mall. Beli sepatu. Si Sandra kan liburan nanti bakalan ikut seleksi di kegiatan Pramuka gitu. Jadi nanti dia kelas 2 bakalan ngedampingi anak-anak kelas 1 yang baru masuk, senior ceritanya,” sahut Matari sambil menghempaskan tubuhnya di kasur.“Dih, lepas dulu mukenanya, bego! Entar ketiduran bau iler,
Matari akhirnya baru kembali bicara lagi dengan ayahnya saat hari Minggu tiba. Antrian di rumah sakit yang panjang mengular, membuat Ayah dan Eyang Putri baru sampai di rumah malam hari. Sementara, Matari juga sudah tertidur.Menyadari bahwa rumah sedang ramai pagi itu, akhirnya Ayah Matari mengawali pembicaraan dengan nada sedang. Emosinya memang tampak jauh lebih stabil. Mungkin karena sudah berganti hari atau bisa juga karena rayuan Kak Bulan.Namun, belum sempat berbicara banyak, Tante Dina dan Sandra lewat sekilas. Tersirat pikiran lain di kepala Matari. Emosi Ayahnya mungkin sedikit stabil karena keberadaan mereka. Bisa saja sih, karena ada mereka berdua di sini sehingga Ayah jadi sungkan untuk memarahi Matari.“Kamu yakin bisa berprestasi di jurusan IPS?” tanya Ayah tiba-tiba, mengagetkan Matari.“Mu... Mungkin, Yah. Matari usahakan,” jawab Matari.“Jangan cuma mungkin aja, HARUS BISA!”“Iya,