“Astaga, Mas!”
Anya berteriak saat keluar dari toilet karena tiba-tiba Rama, suaminya, langsung mencengkeram lehernya. Membuat wanita itu kesulitan bernapas.
Sejujurnya, bukan kali ini saja Anya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan kasar dari sang suami. Namun, bukan berarti Anya terbiasa dengan perbuatan Rama yang entah karena apa kali ini.
“Aku sudah bilang, jangan mengadu!” tutur Rama penuh tekanan dan ancaman. “Mulutmu bisa digunakan untuk hal lain, tapi jangan katakan bagaimana bobroknya rumah tangga kita!”
Anya Mera Hanggara dan Rama Hardana menikah karena perjodohan untuk memperkuat bisnis dua keluarga, tanpa rasa cinta sebelumnya. Bahkan rentang usia mereka agak jauh. Perbedaan usia Rama enam tahun lebih tua dari Anya. Namun, ternyata itu tidak membuat Rama bijaksana.
Sejak menikah, Rama dengan tegas mengatakan tidak menyukai Anya. Dia sudah memiliki kekasih bahkan merencanakan akan menceraikan Anya dua atau tiga tahun setelah pernikahan. Ancaman agar Anya tidak membuka mulut dan harus bersikap seolah mereka baik-baik saja.
Anya sempat berharap pernikahan yang dijalani akan berjalan dengan baik, perasaan cinta akan hadir seiring waktu. Akan tetapi, nyatanya Anya harus gigit jari karena sikap Rama tidak menunjukkan kemajuan hubungan mereka.
“A-aku nggak mengadu, Mas–”
“Kalau begitu, dari mana Papa tahu kalau aku sering pulang malam, hah? Pasti kamu yang bilang kalau seminggu kemarin aku tidak pulang!”
Anya tidak bisa menjawab, tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Rama. sementara wajahnya sudah memucat.
Untungnya, Rama pada akhirnya melepaskan tangannya. Mungkin pria itu khawatir akan terjadi sesuatu pada Anya dan akhirnya kembali disalahkan.
Sontak, tubuh Anya melorot dan terduduk di lantai sambil terbatuk dengan napas memburu.
“Sumpah, Mas,” ucapnya tersengal. “Aku tidak bilang apa pun–”
“Bohong! Karena ulahmu ini, Mama minta kita tinggal dengan mereka,” tukas Rama. “Dasar gobl0k. Tolol. Kamu pikir dengan kita terus bersama, aku akan tertarik denganmu? Jangan mimpi, Anya.”
Rama berjongkok di depan Anya dan tersenyum sinis. “Aku sudah bilang kalau kamu tidak sebanding dengan Selly.” Pria itu menyebutkan nama sekretaris yang terlibat hubungan gelap dengannya. “Asal kamu tahu. Semalam aku sudah menikah siri dengannya.”
Mendengar itu, hati Anya rasanya perih, bagai teriris.
Memang, rasa cinta itu belum ada, tapi ketidaksetiaan Rama membuatnya seperti tidak berharga. Pria itu bahkan tidak menunggu untuk menceraikan Anya terlebih dahulu sebelum menikahi selingkuhannya itu.
“Mas–”
“Sayangi nyawamu. Tutup mulut,” ancam Rama. “Jangan sampai ada yang tahu soal ini!”
Refleks, Anya mendengus. Ada kemarahan yang menyesaki dadanya dan ia tidak bisa menahannya lagi.
“Dasar pengecut,” gumam wanita itu.
Rama yang baru beranjak beberapa langkah langsung berhenti dan berbalik menghadap Anya.
“Jaga mulutmu!” bentak pria itu.
Anya balas menatap suaminya. Entah atas dasar keberanian dari mana, wanita itu membalas, “Seharusnya kamu menjaga sikapmu lebih dahulu, Mas. Selesaikan dulu urusan kita, setelah itu kamu mau menikah berkali-kali pun aku tidak peduli.”
Wanita itu kemudian berdiri tanpa memutus kontak mata dengan sang suami.
Tiba-tiba Rama mencengkeram rahang Anya. “Tahu dirilah sedikit,” ucapnya penuh penekanan. “Perusahaan ayahmu kalau tidak dibantu Papa, pasti sudah gulung tikar. Kamu itu dijual untuk menjadi istriku. Tidak ada bedanya kamu dengan pelacur!”
Hinaan kembali merasuk ke dalam dada Anya. Sekalipun ia telah bersabar sebagai istri Rama sekaligus menantu keluarga Hardana selama ini, nyatanya nasib baik tak kunjung menghampirinya.
Hari-harinya seperti mimpi buruk.
“Kalau begitu, ceraikan saja aku, Mas,” ucap Anya dengan suara bergetar. “Kenapa masih menahanku di sini?”
Rama terkekeh. “Begitu? Memangnya kamu tidak tahu kalau ayahmu itu masih saja memohon-mohon padaku agar dibantu?” balasnya membuat Anya terdiam. “Sudahlah. Jangan membangkang, turuti saja kata-kataku dan jadilah menantu yang baik untuk orang tuaku sebelum nanti kamu dibuang.”
Pria itu melepaskan cengkeramannya di dagu Anya dan berbalik. “Bereskan pakaianku, besok pagi kita pulang ke ke rumah Papa.” Ia melambaikan tangannya tanpa menoleh. “Aku ke tempat Selly dulu.”
Anya menggigit bibir bagian bawahnya, menahan dirinya agar tidak kelepasan bicara sekali lagi. Tepat saat itu, ponselnya berdenting. Sebuah pesan dari ayahnya masuk.
[Kamu dan Rama kapan pulang? Ayah perlu bantuan Rama di perusahaan.]
Baru saja Rama mengatakan hal itu, ayahnya sudah mengonfirmasi tanpa diminta.
Bagaimana Anya bisa lepas dan Rama tidak menghinanya terus kalau keluarga mereka selalu memohon dibantu memenangkan tender dengan pihak lain? Seperti sekarang ini?
Memang Anya seperti tidak ada harganya di dunia ini, selain sebagai alat transaksi dan samsak khusus.
Ponsel Anya kembali berdering, padahal baru saja diletakan di atas nakas. Kali ini panggilan dari … Selly, selingkuhan suaminya.
Anya sempat menarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan menjawab panggilan tersebut. Ia harus mengangkatnya meski enggan karena ia tidak ingin menambah masalah. Selingkuhan suaminya itu bisa saja mengadu macam-macam pada Rama dan berujung kekerasan seperti tadi.
“Apa?” ucapnya pada ponsel.
“Heh, pelakor.” Terdengar suara centil Selly di ujung sana. “Di mana Rama?”
Anya menutup matanya sesaat, menenangkan diri agar tidak membalas ucapan Selly yang tidak penting seperti ini. Tidak ada gunanya.
Namun, sepertinya Anya masih merasa tersinggung karena perlakuan Rama tadi. Karenanya, wanita itu menjawab, “Salah. Kamulah yang pelakor.” Jeda sejenak. “Rama itu suamiku.”
“Rama itu suamiku.”Terdengar tawa Selly di seberang saluran telepon. “Dih. Kepedean kamu,” ucapnya. “Rama itu tidak tertarik padamu! Kasihan, iya sih statusnya istri, tapi suaminya malah sibuk sama aku!”Anya membuka matanya dan menatap ke arah cermin nakas. Berusaha untuk tidak terusik.“Kamu menelepon hanya untuk mengatakan itu?” tanya Anya. Karena, tidak mungkin Selly menghubunginya untuk bertanya di mana Rama–pria itu punya ponselnya sendiri dan tidak mungkin mengabaikan telepon dari Selly. “Kalau tidak penting, akan aku tutup–”“Aku sudah menikah dengan Rama semalam.” Selly memotong ucapan Anya.Mendengar itu, Anya kembali diingatkan pada perasaan kecewa dan terhina yang ia rasakan tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Selly dengan bereaksi seperti yang diharapkan.“Begitu?” balas Anya. Ia ingin menunjukan ketidakpedulian agar lawan bicaranya itu kesal.“Sudah? Begitu saja?” ejek Selly. “Halah, palingan kamu sebentar lagi nangis sambil jerit-jerit.”Anya menarik n
“Apakah ini istrimu?”Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu. Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,
Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia sibak selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.“Di mana pakaianku?” gumam Anya.Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil
Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.“Hm,” sahut Denis.“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tida
Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.“Mas--"“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria
Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.Semakin diingat kejadian itu dan ditata
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Pertanyaan Bima membuat debaran jantung Anya tidak karuan. Benaknya penuh dengan pertanyaan Bima tadi. Bagaimana kalau dirinya hamil, tentu saja kemungkinan itu ada. Pasangan yang melakukan hubungan bisa saja menghasilkan keturunan.Tidak mungkin, toh kami melakukannya hanya sekali, batin Anya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.Meski dalam hati Anya percaya, kehamilan bukan terjadi karena sekali atau beberapa kali uji coba. Bisa saja benih yang ditinggalkan Bima memang berhasil berkembang dan dia benar hamil. Tidak bisa mengingat ia berada dalam masa subur atau tidak, kepalanya terlalu mumet dan ia tidak peduli saat ini sedang subur atau tidak sebab tidak dalam program kehamilan.Anya pun menoleh menatap Bima yang juga menoleh ke arahnya dan kembali fokus dengan kemudi. “Jangan mimpi, aku tidak mungkin hamil anakmu,” ujar Anya lirih.Bima tersenyum sinis. “Kenapa kamu begitu yakin. Saat itu aku tidak menggunakan pengaman dan kita melakukannya berkali-kali.”Shittt, dal