Share

6. Bersama Bima (2)

Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.

“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.

Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.

Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.

“Mas--"

“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”

“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria itu mungkin tidak peduli atau tidak punya pikiran yang sama dengannya.

“Di sini banyak orang dan Bima itu masih kerabat denganku, kamu tidak usah khawatir. Sejak kapan kamu jadi pengecut begini,” ejek Rama kemudian keluar dari mobil.

Sejak semalam, jawab Anya dalam hati.

Dengan gerakan pelan Anya melepas seatbelt dan keluar dari mobil, melihat Rama bicara pada Bima entah apa yang disampaikan lalu sang suami menatap ke arahnya sambil menggerakan tangan seakan memintanya mendekat.

“Ck, padahal bisa aku tunggu di apartemen saja,” gumam Anya lirih.

“Sebelum jam sebelas aku jemput lagi. Pesan makan dan tunggu aku, jangan kemana-mana. Kalau mama dan papa menghubungi kamu abaikan saja dulu.”

Terserah, batin Anya lagi saat Rama bicara untuk mengamankan situasinya.

“Aku titip dia,” kata Rama menunjuk Anya dengan dagunya.

“Oke,” sahut Bima. “Have fun,” ujarnya lalu terkekeh.

Rama tidak menjawab karena terdenar dering ponselnya lagi membuatnya bergegas menuju mobil dan tidak lama bergerak menjauh meninggalkan café.

“Ayo, masuk,” ajak Bima.

“Tidak, aku tunggu di sini saja.”

Bima menghela pelan lalu mengusap kasar wajahnya, Anya enggan menatap wajah pria itu dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Kita masuk, kamu pesan makan dan tunggu Rama di dalam. Jangan takut aku ganggu, karena ada yang harus aku kerjakan di sini,” tutur Bima dan Anya bergeming. “kamu yakin mau di sini menunggu Rama dengan perut lapar, diganggu nyamuk dan berisik. Sangat tidak nyaman, sedangkan suamimu sedang--"

“Cukup! Tidak usah diperjelas,” ungkap Anya. Ia melangkah menuju café meninggalkan Bima yang tersenyum melihat tingkahnya.

Meja agak sudut sengaja dipilih Anya, agar dia bisa leluasa menatap sekitar dan posisinya tidak terlalu menjadi pusat perhatian dari pengunjung café di meja lain. Khawatir ada yang mengenali dirinya di sana.

Aneh memang kisah hubungan pernikahannya dengan Rama. Bagaimana bisa ia menyanggupi menunggu sang suami menemui madunya. Anya tersadar dari lamunan ketika pelayan memberikan buku menu dan menanyakan pesanan.

Ia harus makan, daripada menyiksa diri sendiri. Setelah menyebutkan pesanan, fokusnya tertuju pada ponsel. sempat melihat Bima berdiri di meja kasir bersisian dengan petugas. Sepertinya mengecek pendapatan atau pembayaran, entahlah Anya tidak peduli.

Ketika pesanan diantar, Anya sempat melihat Bima sudah berpindah ke bagian lain. tatapan mereka bertemu karena Bima menoleh ke arahnya. Gegas Anya menunduk menekuni hidangan di hadapannya. Hampir tersedak saat Bima menarik kursi di hadapannya lalu duduk di sana.

“Pelan-pelan dong,” ucap Bima mendorong gelas minum Anya.

Setelah meneguk air minumnya, Anya kembali fokus dengan makan malam.

“Mau pesan lagi, dessert atau kopi? Sepertinya Rama akan lama.”

Kali ini Anya mengangkat wajahnya menatap Bima yang tersenyum dengan wajahnya yang menyebalkan dan tampan.

“Kalau Rama lama, aku pulang sendiri.”

“Jangn takut, aku pasti antar. Mana tega aku biarkan kamu sendirian di luar, aku bukan suami kamu yang super tega.”

“Nah itu paham, kamu bukan suami aku jadi jangan sok mau peduli.”

“Jadi, kalau aku jadi suami kamu baru boleh peduli?” kali ini Bima duduk bersandar sambil bersedekap, wajahnya masih mengulas senyum.

Anya menghela nafas pelan kemudian meletakan alat makannya, rasa laparnya menguap entah kemana. Mendadak ia teringat kejadian semalam.

“Kamu--"

“Kamu--"

Entah mengapa mereka mengatakan kata yang sama berbarengan, membuatnya kembali menatap wajah Bima.

“Ladies first,” sahut Bima. “Kayaknya kita beneran jodoh ya.” Bima kemudian tergelak.

“Tadi aku mau bilang … Kamu, bisakah tinggalkan aku dan biarkan aku menunggu Rama disini tanpa gangguan.”

Kali ini Bima manggut-manggut.

“Jawabannya, tidak bisa. karena café ini milikku dan aku berhak duduk dan berada di mana saja. Lagi pula,” ujar Bima menjeda kalimatnya lalu tubuhnya mendekat ke arah meja seakan ucapannya hanya ingin dengar oleh Anya saja.

“Kita harus bicara tentang kejadian … semalam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status