Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.
“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.
Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.
“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.
“Hm,” sahut Denis.
“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”
Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tidak ada alasan untuknya menghindar dari perintah itu.
“Iya Pah,” sahut Anya, sempat melirik sekilas ke arah Bima yang tersenyum.
“Papa harap kalian bisa akur.”
Bima menatap Rama yang juga menatapnya, belum ada alasan bagi mereka untuk menyimpan dendam apalagi saling membenci. Entah nanti setelah Bima tahu alasan dibalik kehadirannya di sana.
“Oh ya, Anya. Apa sudah ada tanda-tanda?” tanya Malika. Pertanyaan mama mertuanya bukan hanya membuat Anya bingung, begitu juga dengan yang lain.
“Tanda-tanda?” tanya Anya balik.
“Tanda kehamilan. Pernikahan kalian sudah beberapa bulan, siapa tahu sudah ada hasilnya,” ungkap Malika dan sukses membuat Anya dan Rama saling tatap.
“I-tu, ehm, belum Mah,” jawab Anya terbata.
“Mungkin kalian harus liburan, anggap saja honeymoon yang kedua atau program kehamilan. BEtul, program kehamilan saja. Bagaimana, Pah?”
“Mah, sudahlah. Biarkan saja dulu, mungkin mereka masih ingin berdua. Bayi itu akan hadir di waktu yang tepat. Jangan buat mereka tertekan,” tutur Denis.
Bima rasanya ingin terbahak mendengar pembicaraan tersebut. Bagaimana bisa ada bayi hadir diantara Anya dan Rama kalau mereka tidak pernah melakukan apapun dan ia lah yang sudah melakukan hal itu pada Anya.
Dasar Rama, bodoh, batin Bima.
“Kamu jangan capek-capek, sayang. Selama tinggal di sini, mama akan pastikan makanan kamu sehat dan nyaman. Mama yakin, kalian bisa segera kasih mama cucu.”
“Mah, please! Belum ada setahun kamu menikah, seperti sudah tahunan saja.” Rama pun akhirnya bersuara.
Kalian akan dapatkan cucu, tapi dari Selly bukan Anya, ujar Rama dalam hati.
Obrolan masih berlanjut, kali ini lebih didominasi oleh para pria. Anya lebih banyak diam dan menjawab seperlunya saja. apalagi ia merasa terintimidasi oleh Bima yang sesekali menatapnya.
***
“Anya,” panggil Rama karena Anya masih mengabaikannya.
Anya menoleh malas dan kembali fokus dengan layar ponselnya. Tadi sore Rama mengatakan ia hendak menemui Selly dan tidak mungkin keluar sendirian, tentu saja harus dengan Anya agar orangtuanya tidak curiga.
“Pergi saja sendiri, Mas.”
“Ck, mereka pasti curiga. Apa alasanku pergi sendirian?” Anya mengedikkan bahunya menjawab pertanyaan Rama.
“Cepat ganti baju dan kita pergi bersama. Kita makan malam di luar ada pertemuan dengan teman atau apalah. Cepat!” Rama begitu memaksa karena Selly sudah terus mengirimkan pesan dan ponselnya kembali berdering panggilan dari wanita itu.
“Tidak mas, aku enggan menjadi bagian dari sandiwara dan kebohongan kamu. Pergi sendiri, aku di rumah saja.”
Tidak hilang akal, Rama mengeluarkan ponselnya hendak menghubungi seseorang.
“Ayahmu, apa kabar ya. Sepertinya aku harus menghubungi beliau dan sampaikan kalau putrinya yang bodoh ini selalu membangkang.”
“Mas, hentikan.” Ancaman Rama berhasil mendapatkan fokus Anya yang langsung menghampirinya. Anya enggan berurusan dengan Ayahnya, pernikahan dengan Rama adalah perjodohan dan sang Ayah begitu bersemangat. Bahkan memaksa dengan sedikit ancaman agar Anya mau menerima pernikahannya dengan Rama.
“Oke.” Rama urung menghubungi Ayah mertuanya. “Cepat ganti bajumu.”
Anya mengekor langkah Rama keluar dari rumah. Pandangan Anya tertuju pada seseorang yang berdiri bersandar di pintu mobil sambil merokok, orang itu Bima.
“Kalian mau pergi?” tanya Bima.
“Hm. Kau sendiri?” tanya Rama masih berdiri di samping pintu mobilnya bersisian dengan mobil Bima.
“Café. Sudah beberapa hari aku tidak ke sana. Pekerjaan dari Om Denis memang menjanjikan, tapi aku tidak bisa mengabaikan usaha yng selama ini menghidupiku.”
“Ah, kebetulan sekali,” ujar Rama. “Aku ada janji dengan teman dan Anya enggan ikut. Dia ingin makan di luar, bagaimana kalau Anya ke cafemu saja. Aku akan jemput setelah urusanku selesai.”
“Mas,” tegur Anya. Tidak habis pikir kalau ia malah dititipkan lagi pada Bima.
Bima menatap anya yang masih menunggu penjelasan Rama, menolak ide tersebut. Dalam hati Bima bersorak, ia ada waktu untuk bicara dengan wanita itu.
“Di mana cafemu?”
Bima membuang puntung rokok dan menginjaknya. “Ikuti saja mobilku,” sahut Bima lalu membuka pintu mobil setelah melirik pada Anya.
Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.“Mas--"“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria
Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.Semakin diingat kejadian itu dan ditata
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Pertanyaan Bima membuat debaran jantung Anya tidak karuan. Benaknya penuh dengan pertanyaan Bima tadi. Bagaimana kalau dirinya hamil, tentu saja kemungkinan itu ada. Pasangan yang melakukan hubungan bisa saja menghasilkan keturunan.Tidak mungkin, toh kami melakukannya hanya sekali, batin Anya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.Meski dalam hati Anya percaya, kehamilan bukan terjadi karena sekali atau beberapa kali uji coba. Bisa saja benih yang ditinggalkan Bima memang berhasil berkembang dan dia benar hamil. Tidak bisa mengingat ia berada dalam masa subur atau tidak, kepalanya terlalu mumet dan ia tidak peduli saat ini sedang subur atau tidak sebab tidak dalam program kehamilan.Anya pun menoleh menatap Bima yang juga menoleh ke arahnya dan kembali fokus dengan kemudi. “Jangan mimpi, aku tidak mungkin hamil anakmu,” ujar Anya lirih.Bima tersenyum sinis. “Kenapa kamu begitu yakin. Saat itu aku tidak menggunakan pengaman dan kita melakukannya berkali-kali.”Shittt, dal
Cerai. Akhirnya Anya berani untuk menuntut hal itu. meski Rama menjanjikan mereka akan bercerai setelah satu atau dua tahun pernikahan, rasanya tidak mungkin menunggu selama itu. Hubungan mereka tidak semakin baik dan lagi ia tidak ingin terus dibayangi rasa bersalah karena perbuatannya bersama Bima.Ia bukanlah Rama, tidak punya perasaan dan memainkan pernikahan sama saja dengan terus menerus membohongi orang tua.Setelah Anya mengatakan cerai, Rama sempat menoleh dan berdecak pelan. Namun, tidak komentar dan merespon apapun hanya fokus pada kemudi. Tiba di rumah, Anya gegas ke kamar beruntung mertuanya sudah tidak terlihat, sepertinya sudah istirahat.“Anya,” panggil Rama mengekor langkahnya dan sudah berada di kamar.”Apa maksudmu minta cerai?” tanya Rama menahan Anya yang akan ke toilet dengan cengkraman di lengan.“Maksudku?” Balik tanya, Anya kemudian menghela nafas dan menarik tangannya. “Apa kurang jelas, Mas? Sepertinya kelamaan bersama Selly membuat pendengaranmu terganggu at
Sempat terkejut saat membuka mata ternyata ia sekamar dengan Rama dan mengingat sudah beberapa malam mereka tinggal di kediaman orangtua Rama. Melihat sofa dan lantai yang rapi, kemungkinan tidak ditempati oleh Rama untuk tidur dan menyadari kalau pria itu pasti tidur satu ranjang dengannya.“Mas, tidur di mana?” tanya Anya pada Rama yang baru masuk dari balkon.“Disitu!” tunjuknya ke arah ranjang dengan dagu karena tatapannya tertuju pada wajah Anya. Rambut yang agak berantakan dengan wajah polosnya.“Tidur di sini, denganku?” tanya Anya dan dijawab Rama dengan anggukan kepala. “Kok gitu?”“Kenapa? Ini kamarku dan kamu istriku, aku bebas tidur di mana saja termasuk denganmu.”“Tapi--"“Kamu dengan Bima, ada masalah apa?” tanya Rama menyela ucapan sang istri.Mendapati pertanyaan yang cukup berat, Anya sempat kaget dan bersikap biasa saja. “Maksudnya masalah gimana?” tanyanya balik sambil beranjak dari ranjang dan melangkah menuju toilet, tapi tertahan lagi-lagi dengan cengkraman tang
“Astaga, Mas!” Anya berteriak saat keluar dari toilet karena tiba-tiba Rama, suaminya, langsung mencengkeram lehernya. Membuat wanita itu kesulitan bernapas.Sejujurnya, bukan kali ini saja Anya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan kasar dari sang suami. Namun, bukan berarti Anya terbiasa dengan perbuatan Rama yang entah karena apa kali ini.“Aku sudah bilang, jangan mengadu!” tutur Rama penuh tekanan dan ancaman. “Mulutmu bisa digunakan untuk hal lain, tapi jangan katakan bagaimana bobroknya rumah tangga kita!” Anya Mera Hanggara dan Rama Hardana menikah karena perjodohan untuk memperkuat bisnis dua keluarga, tanpa rasa cinta sebelumnya. Bahkan rentang usia mereka agak jauh. Perbedaan usia Rama enam tahun lebih tua dari Anya. Namun, ternyata itu tidak membuat Rama bijaksana. Sejak menikah, Rama dengan tegas mengatakan tidak menyukai Anya. Dia sudah memiliki kekasih bahkan merencanakan akan menceraikan Anya dua atau tiga tahun setelah pernikahan. Ancaman agar Anya tidak mem
“Rama itu suamiku.”Terdengar tawa Selly di seberang saluran telepon. “Dih. Kepedean kamu,” ucapnya. “Rama itu tidak tertarik padamu! Kasihan, iya sih statusnya istri, tapi suaminya malah sibuk sama aku!”Anya membuka matanya dan menatap ke arah cermin nakas. Berusaha untuk tidak terusik.“Kamu menelepon hanya untuk mengatakan itu?” tanya Anya. Karena, tidak mungkin Selly menghubunginya untuk bertanya di mana Rama–pria itu punya ponselnya sendiri dan tidak mungkin mengabaikan telepon dari Selly. “Kalau tidak penting, akan aku tutup–”“Aku sudah menikah dengan Rama semalam.” Selly memotong ucapan Anya.Mendengar itu, Anya kembali diingatkan pada perasaan kecewa dan terhina yang ia rasakan tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Selly dengan bereaksi seperti yang diharapkan.“Begitu?” balas Anya. Ia ingin menunjukan ketidakpedulian agar lawan bicaranya itu kesal.“Sudah? Begitu saja?” ejek Selly. “Halah, palingan kamu sebentar lagi nangis sambil jerit-jerit.”Anya menarik n