Share

5. Bersama Bima (1)

Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.

“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.

Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.

“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.

“Hm,” sahut Denis.

“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”

Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tidak ada alasan untuknya menghindar dari perintah itu.

“Iya Pah,” sahut Anya, sempat melirik sekilas ke arah Bima yang tersenyum.

“Papa harap kalian bisa akur.”

Bima menatap Rama yang juga menatapnya, belum ada alasan bagi mereka untuk menyimpan dendam apalagi saling membenci. Entah nanti setelah Bima tahu alasan dibalik kehadirannya di sana.

“Oh ya, Anya. Apa sudah ada tanda-tanda?” tanya Malika. Pertanyaan mama mertuanya bukan hanya membuat Anya bingung, begitu juga dengan yang lain.

“Tanda-tanda?” tanya Anya balik.

“Tanda kehamilan. Pernikahan kalian sudah beberapa bulan, siapa tahu sudah ada hasilnya,” ungkap Malika dan sukses membuat Anya dan Rama saling tatap.

“I-tu, ehm, belum Mah,” jawab Anya terbata.

“Mungkin kalian harus liburan, anggap saja honeymoon yang kedua atau program kehamilan. BEtul, program kehamilan saja. Bagaimana, Pah?”

“Mah, sudahlah. Biarkan saja dulu, mungkin mereka masih ingin berdua. Bayi itu akan hadir di waktu yang tepat. Jangan buat mereka tertekan,” tutur Denis.

Bima rasanya ingin terbahak mendengar pembicaraan tersebut. Bagaimana bisa ada bayi hadir diantara Anya dan Rama kalau mereka tidak pernah melakukan apapun dan ia lah yang sudah melakukan hal itu pada Anya.

Dasar Rama, bodoh, batin Bima.

“Kamu jangan capek-capek, sayang. Selama tinggal di sini, mama akan pastikan makanan kamu sehat dan nyaman. Mama yakin, kalian bisa segera kasih mama cucu.”

“Mah, please! Belum ada setahun kamu menikah, seperti sudah tahunan saja.” Rama pun akhirnya bersuara.

Kalian akan dapatkan cucu, tapi dari Selly bukan Anya, ujar Rama dalam hati.

Obrolan masih berlanjut, kali ini lebih didominasi oleh para pria. Anya lebih banyak diam dan menjawab seperlunya saja. apalagi ia merasa terintimidasi oleh Bima yang sesekali menatapnya.

***

“Anya,” panggil Rama karena Anya masih mengabaikannya.

Anya menoleh malas dan kembali fokus dengan layar ponselnya. Tadi sore Rama mengatakan ia hendak menemui Selly dan tidak mungkin keluar sendirian, tentu saja harus dengan Anya agar orangtuanya tidak curiga.

“Pergi saja sendiri, Mas.”

“Ck, mereka pasti curiga. Apa alasanku pergi sendirian?” Anya mengedikkan bahunya menjawab pertanyaan Rama.

“Cepat ganti baju dan kita pergi bersama. Kita makan malam di luar ada pertemuan dengan teman atau apalah. Cepat!” Rama begitu memaksa karena Selly sudah terus mengirimkan pesan dan ponselnya kembali berdering panggilan dari wanita itu.

“Tidak mas, aku enggan menjadi bagian dari sandiwara dan kebohongan kamu. Pergi sendiri, aku di rumah saja.”

Tidak hilang akal, Rama mengeluarkan ponselnya hendak menghubungi seseorang.

“Ayahmu, apa kabar ya. Sepertinya aku harus menghubungi beliau dan sampaikan kalau putrinya yang bodoh ini selalu membangkang.”

“Mas, hentikan.” Ancaman Rama berhasil mendapatkan fokus Anya yang langsung menghampirinya. Anya enggan berurusan dengan Ayahnya, pernikahan dengan Rama adalah perjodohan dan sang Ayah begitu bersemangat. Bahkan memaksa dengan sedikit ancaman agar Anya mau menerima pernikahannya dengan Rama.

“Oke.” Rama urung menghubungi Ayah mertuanya. “Cepat ganti bajumu.”

Anya mengekor langkah Rama keluar dari rumah. Pandangan Anya tertuju pada seseorang yang berdiri bersandar di pintu mobil sambil merokok, orang itu Bima.

“Kalian mau pergi?” tanya Bima.

“Hm. Kau sendiri?” tanya Rama masih berdiri di samping pintu mobilnya bersisian dengan mobil Bima.

“Café. Sudah beberapa hari aku tidak ke sana. Pekerjaan dari  Om Denis memang menjanjikan, tapi aku tidak bisa mengabaikan usaha yng selama ini menghidupiku.”

“Ah, kebetulan sekali,” ujar Rama. “Aku ada janji dengan teman dan Anya enggan ikut. Dia ingin makan di luar, bagaimana kalau Anya ke cafemu saja. Aku akan jemput setelah urusanku selesai.”

“Mas,” tegur Anya. Tidak habis pikir kalau ia malah dititipkan lagi pada Bima.

Bima menatap anya yang masih menunggu penjelasan Rama, menolak ide tersebut. Dalam hati Bima bersorak, ia ada waktu untuk bicara dengan wanita itu.

“Di mana cafemu?”

Bima membuang puntung rokok dan menginjaknya. “Ikuti saja mobilku,” sahut Bima lalu membuka pintu mobil setelah melirik pada Anya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status