Share

4. Tinggal Bersama

Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.

Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia s***k selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.

“Di mana pakaianku?” gumam Anya.

Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.

Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.

Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.

“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil perlahan berbalik. Seketika matanya langsung terbelalak dan gegas beranjak duduk setelah menyingkirkan tangan yang memeluk perutnya.

Sambil memegang erat selimut agar tidak mengekspos tubuhnya yang polos, Anya mengucek mata memastikan pria yang berbaring di sampingnya tadi.

“Bi-ma,” ucapnya lirih. “Kemana Mas Rama?” Menatap sekeliling kamar, tidak ia dapati Rama di sana. Bahkan dress yang semalam ia gunakan, tergolek dan berantakan di lantai juga dengan pakaian pria yang mungkin saja milik Bima.

“Hei, bangun!” Bima hanya mengerang pelan dan berbaring memunggunginya. “Bangun!” ujar nya Anya lagi sambil mendorong pelan tangan Bima.

Pria itu berdecak kemudian berbalik dan mengerjapkan matanya.

“Kenapa bisa kita tidur satu ranjang? Apa yang terjadi?” cecar Anya.

Awalnya Bima terlihat bingung bahkan mengernyitkan dahinya, kemudian ia bangun.

“Semalam kamu mabuk. Jadi aku mengantar—”

“Apa maksudmu? Bukannya Mas Rama yang menggendongku pulang?” sela Anya. Debar jantungnya makin menjadi-jadi. “Di mana dia?”

“Rama?” Bima mendengus. Pria itu mengacak rambutnya. “Entah. Dia menyerahkan kamu yang mabuk begitu saja padaku saat ia menerima telepon. Sepertinya telepon itu jauh lebih penting daripada istrinya sendiri.”

Anya resah mengingat kembali kejadian semalam. Rasanya ia ingin berteriak karena begitu ceroboh melakukan sesuatu yang seharusnya diberikan pada suaminya.

“Aku pasti sudah gila.”

Raut wajahnya mulai panik mengingat ia berada di kamar, kediaman mertuanya. Sewaktu-waktu bisa saja Rama datang meski sekarang entah di mana pria itu.

“Pergi dari sini,” usir Anya pada Bima.

“Tenang saja manis. Rama tidak ada, kamu--“

“Pergi!” usir Anya sambil menunjuk pintu kamarnya. “Lupakan apa yang semalam terjadi, kita tidak melakukan apapun.”

Bima terkekeh sambil beranjak dari ranjang, Anya mengalihkan pandangannya saat pria itu meraih pakaian.

“Bagaimana bisa aku melupakan kejadian semalam. Kita berdua tidak akan bisa lupa dan mengabaikannya.”

Rasanya Anya ingin menjerit dan menghampiri Bima untuk menghardiknya kalau saja ia sudah berpakaian. Ia harus menggeser posisi duduknya saat Bima mendekat ke area di mana ia berada.

“Aku yang pertama untukmu. Seumur hidup kita tidak akan pernah melupakan kejadian semalam.”

“Omong kosong. Aku ini sudah menikah, suamiku sepupumu. Apa yang terjadi semalam ada kesalahan, jadi lupakan saja dan keluar.”

Sepertinya Bima mengalah, ia mengangkat tangannya seakan menyerah dengan ucapan Anya lalu beranjak pergi. Tangannya sudah memegang handle pintu, saat berbalik dan kembali istri dari sepupunya.

“KIta bicara lagi nanti saat kamu sudah tenang.”

“Pergi!” sahut Anya.

Setelah kepergian Bima, Anya memaksakan tubuhnya bergerak dan beranjak dari ranjang. Membersihkan diri lalu membereskan kekacauan di kamar. Tidak ingin Rama tahu apa yang terjadi semalam di kamar itu.

***

Entah sudah berapa lama Anya berada di balkon, duduk termenung memikirkan kejadian semalam dan dampaknya ke depan. Tidak menyadari kehadiran Rama dan sudah berdiri di tengah pintu balkon.

“Ck. Aku harus bagaimana,” gumam Anya.

“Cepat masuk dan temui orang tuaku.”

“MAs Rama.” Anya terkejut dengan kehadiran Rama, ia pun berdiri.

“Tentu saja aku, Rama. Memang siapa yang kamu pikirkan?” Anya hanya menggeleng pelan. “Cepat turun dan temui orang tuaku.”

“Mereka sudah pulang?”

“Hm. KIta akan malam siang bersama.” Anya pun mengekor langkah Rama meninggalkan balkon dan keluar dari kamar. saat melewati ranjang, pandangan Anya kembali memindai tempat itu memastikan lagi kekacauan dan kesalahan semalam sudah ia bereskan.

“Ingat, jangan bilang atau adukan apapun tentang aku dan Selly,” bisik Rama dengan nada ancaman saat mereka menuruni anak tangga.

Anya hanya bisa menghela pelan, malas untuk menjawab.

“Kamu dengar ‘kan?” tanya Bima lirih.

“Dengar Mas, aku dengar. Tidak usah terus dibahas, kamu pikir aku tidak muak mendengar urusanmu dengan wanita itu.”

Anya mendahului Bima menuruni anak tangga dengan cepat menuju meja makan.

“Anya, kemari, sayang!” pinta Mama Malika saat melihatnya dan Rama datang.

Melihat kedua mertuanya dan disambut dengan hangat, tentu saja Anya tersenyum. Baru mulutnya hendak menanyakan kabar pada pasangan yang baru saja tiba dari perjalanan bisnis, mendadak bibirnya kelu dan senyum pun hilang melihat ada Bima di sana. Bahkan pria itu menoleh dan menatap ke arahnya. Menyadari kalau ia akan sering bertemu Bima, mengingat pria itu juga tinggal di rumah orangtua Rama.

Bagaimana ini, kami akan sering bertemu, batin Anya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status