“Apakah ini istrimu?”
Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu.
Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.
Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.
“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”
“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.
Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”
Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.
Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,” ucapnya, tanpa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.
Wanita itu kemudian ikut melangkah masuk.
Di dalam, koper-koper yang dibawa Bima sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga.
Baru setelah itu, Rama memanggilnya dan secara formal memperkenalkan Anya pada Bima dan sebaliknya.
“Bima,” ucap pria asing itu sembari menyodorkan tangannya.
Anya tersenyum sopan pada Bima sembari menyambut uluran tangannya. Pikirnya tidak salah karena toh pria ini sudah membantunya tadi.
Namun, saat akhirnya Bima meninggalkannya dan Rama ke kamar, suaminya itu justru mengatakan, “Sudah kubilang jangan menggodanya.”
Anya menoleh ke arah Rama. “Apa maksudmu, Mas? Memangnya aku melakukan apa?” balasnya, kali ini terang-terangan di depan suaminya. “Sekiranya kamu kurang paham definisi centil dan penggoda, mungkin kamu bisa melihat sekretarismu itu. Dia bahkan bisa membuatmu menikahinya.”
“Anya,” sergah Rama dengan nada memperingatkan. “Jaga bicaramu. Jangan sampai–”
“Sudahlah. Aku lelah.” Anya berlalu ke arah kamar untuknya dan Rama. “Aku akan istirahat sebentar.”
***
Beberapa hari setelah Anya menghuni rumah mertuanya, sang suami mengajaknya makan malam di luar, bersama Bima dan Pram, orang kepercayaan sang ayah.
Padahal selama mereka menginap di sini, kerjaan suaminya itu pun hanya main-main di luar dengan sang sekretaris.
“Mas, apakah bisa aku tidak ikut saja?”
“Kamu berani membantahku?” balas Rama, langsung terdengar siap berdebat. “Ingat, kamu itu hanya–”
“Baiklah, aku ikut.” Anya langsung berkata.
Padahal ia bertanya baik-baik. Namun, hinaan memang sudah menantinya.
Pada akhirnya, sebelum pukul tujuh malam, Anya sudah tiba di restoran dalam hotel tempat tempat makan malam diadakan. Ternyata pertemuannya akan dilangsungkan di sebuah private room.
Namun, di luar dugaannya, rupanya Rama sudah ada di sana.
Bersama Selly.
Anya menghela napas dan menetralkan ekspresi wajahnya, sebelum mengatakan, “Ajak masuk saja. Biar seru.” Ia berucap saat berhadapan dengan suami dan istri sirinya.
“Ck! Kamu selalu mencari gara-gara,” desis Selly lirih. “Awas sa–”
“Jangan menarik perhatian,” tegur Rama pelan. “Orang melihatnya kamu sekretarisku.”
Mendengar itu, Anya memasang senyum kecil.
“Mas, mau bareng ke dalam?” tanyanya. “Khawatirnya, Om Pram dan sepupumu melihat kita seperti pasangan aneh. Aku masuk sendiri, dan kamu bersama sekretarismu. Padahal kita sudah ada di sini.”
“Sayang,” rengek Selly, menanggapi Anya. Ia langsung menyentuh lengan Rama. “Aku nggak mau kamu sama dia.”
Rama menghela napas dan perlahan melepaskan tangan Selly dari lengannya. “Kamu tunggu aku di sini. Hanya sebentar,” katanya.
Pria itu kemudian menatap Anya yang masih tersenyum dan berjalan masuk dengan sang istri.
Sementara itu, Anya sempat menoleh pada Selly dan mengedip penuh ejekan. Sekalipun hubungan Anya dan Rama tidak romantis sama sekali, tapi rasanya tidak buruk juga saat menggoda Selly dan membuat istri siri suaminya itu cemburu sekaligus berpikir yang tidak-tidak.
Makan malam berlangsung dengan kondusif. Anya hanya diam mendengarkan obrolan ketiga pria di dalam sana. Yang ia tangkap adalah, Bima akan ditempatkan di kantor pusat oleh ayah mertuanya–dan itu membuat Rama tidak suka.
Entah apa yang terjadi antara Rama dan Bima–Anya tidak tahu. Yang jelas, memang sejak awal ia melihat keduanya saling tidak menyukai dan canggung. Seperti menyimpan cerita masa lalu yang berat.
“Anya, kamu akan dipindahkan ke bagian marketing mulai besok,” ucap Om Pram. “Sama dengan Bima. Pak Denis punya rencana sendiri untuk kalian berdua.”
Setelah menikah dengan Rama, Anya masih bekerja, sesuai dengan perintah mertuanya. Wanita itu bergabung di perusahaan milik mertuanya dan ditempatkan di bagian HRD kantor pusat.
Namun, sebenarnya, Anya sedang berusaha untuk melepaskan diri agar tidak terlalu terikat dengan keluarga Hardana. Agar nanti jika ia bercerai dengan Rama, Anya bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Entah kapan itu terjadi.
Meski begitu, jelas perintah ayah mertuanya itu mengganggu niatan Anya.
“Maaf, Om.” Anya berucap. “Saya–”
“Tidak boleh protes,” potong Om Pram. “Aku tahu kamu akan menolak. Tapi kamu memiliki potensi dan Tuan Denis jelas bisa melihat itu. Jadi, ikuti saja arahan beliau.”
Anya sempat menoleh pada Rama, berharap sia-sia kalau suaminya itu akan membantunya. Tentu, nyatanya pria itu diam saja. Antara tidak mau membantah atau tidak peduli pada Anya.
Sepertinya yang kedua.
“Baiklah, Om.” Akhirnya Anya patuh.
Perbincangan masih terus berlanjut sambil makan malam. Namun, di sisa obrolan itu, Anya kembali diam karena toh pendapatnya tidak akan diperhitungkan. Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan makanan dan wine yang sejak tadi disajikan oleh para pelayan.
Hingga wanita itu tidak menyadari bahwa ia mulai mabuk.
Tidak hanya Anya, baik Pram maupun Rama pun tidak. Satu-satunya yang memperhatikan Anya sejak tadi adalah … Bima.
“Kau mau ke mana?” tanya Bima saat Rama berdiri, menyusul Pram yang sudah undur diri dan meninggalkan ruangan.
“Pergi.” Rama menjawab singkat sembari melirik ponselnya yang bergetar sejak tadi. Selly beanr-benar tidak sabar. “Aku ada janji lain.”
“Bagaimana dengan istrimu?”
Kedua pria itu beradu tatap selama sesaat, sebelum Rama melirik pada sang istri yang sudah tidak fokus dan menyahut, “Aku titip dia padamu. Bisa?”
Bima terkekeh. “Kau menyerahkan istrimu padaku?”
“Menitipkan,” koreksi Rama. Namun, ia memang tampak tidak keberatan menitipkan istrinya pada pria lain yang baru ia temui kembali beberapa hari yang lalu itu. “Meski tidak akur, kita ini saudara.”
Ucapan itu membuat Bima tersenyum miring. “Bagaimana kalau aku merebutnya?” balas pria itu. “Seperti yang dilakukan ayahmu pada ayahku. Mereka juga saudara.”
Rama berdecak. “Kau–” Belum sempat ia membalas, ponselnya kembali bergetar. “Sudahlah. Tolong bawa dia pulang. Kita akan bicara lagi di rumah.”
Tanpa menunggu jawaban Bima, suami Anya tersebut kemudian berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa.
“Hei!” seru Bima. “Rama, kau–”
“Mas?” gumam Anya sembari membuka matanya perlahan dan memandang Bima. “Mas Rama. Aku pusing ….”
Lalu, tanpa diduga dan aba-aba, tubuh wanita itu oleng ke samping, nyaris membentur lantai jika Bima tidak menahannya.
“Ck.” Bima menghela napas. Dengan gerakan tegas yang hati-hati, dibawanya wanita itu dalam gendongannya. Sepasang Anya tengah terpejam, tidak menyadari bahwa ia berada dalam gendongan pria lain yang bukan suaminya.
Sementara Bima … tanpa sadar mengagumi kecantikan polos yang dimiliki oleh Anya. Wajahnya khas wanita Melayu, rambut panjang dengan hidung mancung, lengkap dengan bentuk bibir membuat sempurna wajahnya.
“... Suamimu pasti sudah gila karena menyia-nyiakanmu seperti ini.”
Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia sibak selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.“Di mana pakaianku?” gumam Anya.Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil
Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.“Hm,” sahut Denis.“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tida
Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.“Mas--"“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria
Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.Semakin diingat kejadian itu dan ditata
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Pertanyaan Bima membuat debaran jantung Anya tidak karuan. Benaknya penuh dengan pertanyaan Bima tadi. Bagaimana kalau dirinya hamil, tentu saja kemungkinan itu ada. Pasangan yang melakukan hubungan bisa saja menghasilkan keturunan.Tidak mungkin, toh kami melakukannya hanya sekali, batin Anya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.Meski dalam hati Anya percaya, kehamilan bukan terjadi karena sekali atau beberapa kali uji coba. Bisa saja benih yang ditinggalkan Bima memang berhasil berkembang dan dia benar hamil. Tidak bisa mengingat ia berada dalam masa subur atau tidak, kepalanya terlalu mumet dan ia tidak peduli saat ini sedang subur atau tidak sebab tidak dalam program kehamilan.Anya pun menoleh menatap Bima yang juga menoleh ke arahnya dan kembali fokus dengan kemudi. “Jangan mimpi, aku tidak mungkin hamil anakmu,” ujar Anya lirih.Bima tersenyum sinis. “Kenapa kamu begitu yakin. Saat itu aku tidak menggunakan pengaman dan kita melakukannya berkali-kali.”Shittt, dal
Cerai. Akhirnya Anya berani untuk menuntut hal itu. meski Rama menjanjikan mereka akan bercerai setelah satu atau dua tahun pernikahan, rasanya tidak mungkin menunggu selama itu. Hubungan mereka tidak semakin baik dan lagi ia tidak ingin terus dibayangi rasa bersalah karena perbuatannya bersama Bima.Ia bukanlah Rama, tidak punya perasaan dan memainkan pernikahan sama saja dengan terus menerus membohongi orang tua.Setelah Anya mengatakan cerai, Rama sempat menoleh dan berdecak pelan. Namun, tidak komentar dan merespon apapun hanya fokus pada kemudi. Tiba di rumah, Anya gegas ke kamar beruntung mertuanya sudah tidak terlihat, sepertinya sudah istirahat.“Anya,” panggil Rama mengekor langkahnya dan sudah berada di kamar.”Apa maksudmu minta cerai?” tanya Rama menahan Anya yang akan ke toilet dengan cengkraman di lengan.“Maksudku?” Balik tanya, Anya kemudian menghela nafas dan menarik tangannya. “Apa kurang jelas, Mas? Sepertinya kelamaan bersama Selly membuat pendengaranmu terganggu at
Sempat terkejut saat membuka mata ternyata ia sekamar dengan Rama dan mengingat sudah beberapa malam mereka tinggal di kediaman orangtua Rama. Melihat sofa dan lantai yang rapi, kemungkinan tidak ditempati oleh Rama untuk tidur dan menyadari kalau pria itu pasti tidur satu ranjang dengannya.“Mas, tidur di mana?” tanya Anya pada Rama yang baru masuk dari balkon.“Disitu!” tunjuknya ke arah ranjang dengan dagu karena tatapannya tertuju pada wajah Anya. Rambut yang agak berantakan dengan wajah polosnya.“Tidur di sini, denganku?” tanya Anya dan dijawab Rama dengan anggukan kepala. “Kok gitu?”“Kenapa? Ini kamarku dan kamu istriku, aku bebas tidur di mana saja termasuk denganmu.”“Tapi--"“Kamu dengan Bima, ada masalah apa?” tanya Rama menyela ucapan sang istri.Mendapati pertanyaan yang cukup berat, Anya sempat kaget dan bersikap biasa saja. “Maksudnya masalah gimana?” tanyanya balik sambil beranjak dari ranjang dan melangkah menuju toilet, tapi tertahan lagi-lagi dengan cengkraman tang
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.
“Dan aku tidak mau itu terjadi,” ujar Bima. Pandangan mereka bertemu dan saling tatap, tanpa tahu ada orang lain melihat interaksi dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.Anya menarik nafas, tidak ingin berdebat lagi. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah ucapan Bima bisa dipegang atau tidak. Kalaupun ternyata rencana yang mereka susun ternyata kacau, yang jelas Anya tetap ingin fokus dengan kebahagiaannya di masa depan dan bukan dengan Rama.“Buktika saja,” ucap Anya lirih.“Pasti, pasti akan aku buktikan.”“Aku … Mas Rama pasti menunggu.”Sedangkan sejak tadi, Rama berada di balik tembok tidak jauh dari tempat Bima dan Anya bicara. Sengaja menyusul istrinya, khawatir terjadi sesuatu apalagi wanita itu merasa tidak nyaman. Nyatanya dia menemukan hal menarik dan jawaban dari pertanyaan yang selama ini diajukan untuk Anya.Bima, ternyata pria itu yang sudah menghamili istrinya. Jelas masalah mereka bertiga semakin rumit. Mendengar Anya ingin beranjak, Rama pun gegas meninggalkan