“Apakah ini istrimu?”
Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu.
Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.
Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.
“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”
“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.
Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”
Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.
Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,” ucapnya, tanpa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.
Wanita itu kemudian ikut melangkah masuk.
Di dalam, koper-koper yang dibawa Bima sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga.
Baru setelah itu, Rama memanggilnya dan secara formal memperkenalkan Anya pada Bima dan sebaliknya.
“Bima,” ucap pria asing itu sembari menyodorkan tangannya.
Anya tersenyum sopan pada Bima sembari menyambut uluran tangannya. Pikirnya tidak salah karena toh pria ini sudah membantunya tadi.
Namun, saat akhirnya Bima meninggalkannya dan Rama ke kamar, suaminya itu justru mengatakan, “Sudah kubilang jangan menggodanya.”
Anya menoleh ke arah Rama. “Apa maksudmu, Mas? Memangnya aku melakukan apa?” balasnya, kali ini terang-terangan di depan suaminya. “Sekiranya kamu kurang paham definisi centil dan penggoda, mungkin kamu bisa melihat sekretarismu itu. Dia bahkan bisa membuatmu menikahinya.”
“Anya,” sergah Rama dengan nada memperingatkan. “Jaga bicaramu. Jangan sampai–”
“Sudahlah. Aku lelah.” Anya berlalu ke arah kamar untuknya dan Rama. “Aku akan istirahat sebentar.”
***
Beberapa hari setelah Anya menghuni rumah mertuanya, sang suami mengajaknya makan malam di luar, bersama Bima dan Pram, orang kepercayaan sang ayah.
Padahal selama mereka menginap di sini, kerjaan suaminya itu pun hanya main-main di luar dengan sang sekretaris.
“Mas, apakah bisa aku tidak ikut saja?”
“Kamu berani membantahku?” balas Rama, langsung terdengar siap berdebat. “Ingat, kamu itu hanya–”
“Baiklah, aku ikut.” Anya langsung berkata.
Padahal ia bertanya baik-baik. Namun, hinaan memang sudah menantinya.
Pada akhirnya, sebelum pukul tujuh malam, Anya sudah tiba di restoran dalam hotel tempat tempat makan malam diadakan. Ternyata pertemuannya akan dilangsungkan di sebuah private room.
Namun, di luar dugaannya, rupanya Rama sudah ada di sana.
Bersama Selly.
Anya menghela napas dan menetralkan ekspresi wajahnya, sebelum mengatakan, “Ajak masuk saja. Biar seru.” Ia berucap saat berhadapan dengan suami dan istri sirinya.
“Ck! Kamu selalu mencari gara-gara,” desis Selly lirih. “Awas sa–”
“Jangan menarik perhatian,” tegur Rama pelan. “Orang melihatnya kamu sekretarisku.”
Mendengar itu, Anya memasang senyum kecil.
“Mas, mau bareng ke dalam?” tanyanya. “Khawatirnya, Om Pram dan sepupumu melihat kita seperti pasangan aneh. Aku masuk sendiri, dan kamu bersama sekretarismu. Padahal kita sudah ada di sini.”
“Sayang,” rengek Selly, menanggapi Anya. Ia langsung menyentuh lengan Rama. “Aku nggak mau kamu sama dia.”
Rama menghela napas dan perlahan melepaskan tangan Selly dari lengannya. “Kamu tunggu aku di sini. Hanya sebentar,” katanya.
Pria itu kemudian menatap Anya yang masih tersenyum dan berjalan masuk dengan sang istri.
Sementara itu, Anya sempat menoleh pada Selly dan mengedip penuh ejekan. Sekalipun hubungan Anya dan Rama tidak romantis sama sekali, tapi rasanya tidak buruk juga saat menggoda Selly dan membuat istri siri suaminya itu cemburu sekaligus berpikir yang tidak-tidak.
Makan malam berlangsung dengan kondusif. Anya hanya diam mendengarkan obrolan ketiga pria di dalam sana. Yang ia tangkap adalah, Bima akan ditempatkan di kantor pusat oleh ayah mertuanya–dan itu membuat Rama tidak suka.
Entah apa yang terjadi antara Rama dan Bima–Anya tidak tahu. Yang jelas, memang sejak awal ia melihat keduanya saling tidak menyukai dan canggung. Seperti menyimpan cerita masa lalu yang berat.
“Anya, kamu akan dipindahkan ke bagian marketing mulai besok,” ucap Om Pram. “Sama dengan Bima. Pak Denis punya rencana sendiri untuk kalian berdua.”
Setelah menikah dengan Rama, Anya masih bekerja, sesuai dengan perintah mertuanya. Wanita itu bergabung di perusahaan milik mertuanya dan ditempatkan di bagian HRD kantor pusat.
Namun, sebenarnya, Anya sedang berusaha untuk melepaskan diri agar tidak terlalu terikat dengan keluarga Hardana. Agar nanti jika ia bercerai dengan Rama, Anya bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Entah kapan itu terjadi.
Meski begitu, jelas perintah ayah mertuanya itu mengganggu niatan Anya.
“Maaf, Om.” Anya berucap. “Saya–”
“Tidak boleh protes,” potong Om Pram. “Aku tahu kamu akan menolak. Tapi kamu memiliki potensi dan Tuan Denis jelas bisa melihat itu. Jadi, ikuti saja arahan beliau.”
Anya sempat menoleh pada Rama, berharap sia-sia kalau suaminya itu akan membantunya. Tentu, nyatanya pria itu diam saja. Antara tidak mau membantah atau tidak peduli pada Anya.
Sepertinya yang kedua.
“Baiklah, Om.” Akhirnya Anya patuh.
Perbincangan masih terus berlanjut sambil makan malam. Namun, di sisa obrolan itu, Anya kembali diam karena toh pendapatnya tidak akan diperhitungkan. Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan makanan dan wine yang sejak tadi disajikan oleh para pelayan.
Hingga wanita itu tidak menyadari bahwa ia mulai mabuk.
Tidak hanya Anya, baik Pram maupun Rama pun tidak. Satu-satunya yang memperhatikan Anya sejak tadi adalah … Bima.
“Kau mau ke mana?” tanya Bima saat Rama berdiri, menyusul Pram yang sudah undur diri dan meninggalkan ruangan.
“Pergi.” Rama menjawab singkat sembari melirik ponselnya yang bergetar sejak tadi. Selly beanr-benar tidak sabar. “Aku ada janji lain.”
“Bagaimana dengan istrimu?”
Kedua pria itu beradu tatap selama sesaat, sebelum Rama melirik pada sang istri yang sudah tidak fokus dan menyahut, “Aku titip dia padamu. Bisa?”
Bima terkekeh. “Kau menyerahkan istrimu padaku?”
“Menitipkan,” koreksi Rama. Namun, ia memang tampak tidak keberatan menitipkan istrinya pada pria lain yang baru ia temui kembali beberapa hari yang lalu itu. “Meski tidak akur, kita ini saudara.”
Ucapan itu membuat Bima tersenyum miring. “Bagaimana kalau aku merebutnya?” balas pria itu. “Seperti yang dilakukan ayahmu pada ayahku. Mereka juga saudara.”
Rama berdecak. “Kau–” Belum sempat ia membalas, ponselnya kembali bergetar. “Sudahlah. Tolong bawa dia pulang. Kita akan bicara lagi di rumah.”
Tanpa menunggu jawaban Bima, suami Anya tersebut kemudian berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa.
“Hei!” seru Bima. “Rama, kau–”
“Mas?” gumam Anya sembari membuka matanya perlahan dan memandang Bima. “Mas Rama. Aku pusing ….”
Lalu, tanpa diduga dan aba-aba, tubuh wanita itu oleng ke samping, nyaris membentur lantai jika Bima tidak menahannya.
“Ck.” Bima menghela napas. Dengan gerakan tegas yang hati-hati, dibawanya wanita itu dalam gendongannya. Sepasang Anya tengah terpejam, tidak menyadari bahwa ia berada dalam gendongan pria lain yang bukan suaminya.
Sementara Bima … tanpa sadar mengagumi kecantikan polos yang dimiliki oleh Anya. Wajahnya khas wanita Melayu, rambut panjang dengan hidung mancung, lengkap dengan bentuk bibir membuat sempurna wajahnya.
“... Suamimu pasti sudah gila karena menyia-nyiakanmu seperti ini.”
Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia sibak selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.“Di mana pakaianku?” gumam Anya.Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil
Anya duduk di samping suaminya, tepat berhadapan dengan Bima. Menikmati makan siang dengan wajah menunduk, enggan menatap pria itu. sesekali ia mengalihkan pandangan saat bicara atau menjawab pertanyaan orang tua Rama.“Jadi, mulai sekarang Bima akan tinggal di sini dan bergabung di perusahaan,” ungkap Denis.Rama hanya menganggukan kepala pelan, meski tidak tahu alasan dibalik datangnya Bima. Namun, Rama tidak merasa hal itu sebagai sebuah ancaman. Berbeda dengan Bima yang berniat mencari tahu apa maksud Denis -- Papa Rama -- memaksanya datang dan memberikan pekerjaan yang layak. Kemana saja keluarga itu selama ini, kemana saja mereka saat ayahnya menderita dan akhirnya meninggal dunia.“Pram sudah menjelaskan padamu bukan?” tanya Denis.“Hm,” sahut Denis.“Aku dengar kamu memiliki usaha café, teruskan saja selama tidak mengganggu pekerjaan baru kamu. Anya, kamu bantu Bima karena kalian berdua akan berada dalam divisi yang sama.”Sebenarnya Anya ingin menolak, tapi tidak berani. Tida
Dalam perjalanan Anya terus bicara menolak ide Rama yang lagi-lagi menitipkan dirinya pada Bima. Sebelumnya mereka malah berakhir di ranjang dengan adegan dewasa meskipun terjadi karena tidak sadar. Kali ini entah apalagi, yang jelas Anya masih enggan berdua saja dengan pria itu.“Kamu bisa diam tidak? Aku sedang mengemudi,” sentak Rama dan sukses membuat Anya diam.Kali ini gantian ponsel Rama yang tidak bisa diam karena terus berdering, sempat melirik sekilas dan Anya melihat nama Selly di layar. Siapa lagi kalau bukan perempuan itu yang berani menghubungi suaminya tidak tahu waktu.Hampir lima belas menit perjalanan, mobil Rama berbelok dan parkir di area café. Anya berdecak pelan, saat melihat mobil Bima terparkir di samping mobil Rama dan pemiliknya keluar memperhatikan sekeliling.“Mas--"“Cepat keluar, Selly sudah menungguku.”“Tapi aku istrimu, Mas. Kamu tega meninggalkan aku di sini dengan pria lain.” Anya berharap Rama akan berubah pikiran, meski harapannya kecil karena pria
Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.Semakin diingat kejadian itu dan ditata
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Pertanyaan Bima membuat debaran jantung Anya tidak karuan. Benaknya penuh dengan pertanyaan Bima tadi. Bagaimana kalau dirinya hamil, tentu saja kemungkinan itu ada. Pasangan yang melakukan hubungan bisa saja menghasilkan keturunan.Tidak mungkin, toh kami melakukannya hanya sekali, batin Anya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.Meski dalam hati Anya percaya, kehamilan bukan terjadi karena sekali atau beberapa kali uji coba. Bisa saja benih yang ditinggalkan Bima memang berhasil berkembang dan dia benar hamil. Tidak bisa mengingat ia berada dalam masa subur atau tidak, kepalanya terlalu mumet dan ia tidak peduli saat ini sedang subur atau tidak sebab tidak dalam program kehamilan.Anya pun menoleh menatap Bima yang juga menoleh ke arahnya dan kembali fokus dengan kemudi. “Jangan mimpi, aku tidak mungkin hamil anakmu,” ujar Anya lirih.Bima tersenyum sinis. “Kenapa kamu begitu yakin. Saat itu aku tidak menggunakan pengaman dan kita melakukannya berkali-kali.”Shittt, dal
Cerai. Akhirnya Anya berani untuk menuntut hal itu. meski Rama menjanjikan mereka akan bercerai setelah satu atau dua tahun pernikahan, rasanya tidak mungkin menunggu selama itu. Hubungan mereka tidak semakin baik dan lagi ia tidak ingin terus dibayangi rasa bersalah karena perbuatannya bersama Bima.Ia bukanlah Rama, tidak punya perasaan dan memainkan pernikahan sama saja dengan terus menerus membohongi orang tua.Setelah Anya mengatakan cerai, Rama sempat menoleh dan berdecak pelan. Namun, tidak komentar dan merespon apapun hanya fokus pada kemudi. Tiba di rumah, Anya gegas ke kamar beruntung mertuanya sudah tidak terlihat, sepertinya sudah istirahat.“Anya,” panggil Rama mengekor langkahnya dan sudah berada di kamar.”Apa maksudmu minta cerai?” tanya Rama menahan Anya yang akan ke toilet dengan cengkraman di lengan.“Maksudku?” Balik tanya, Anya kemudian menghela nafas dan menarik tangannya. “Apa kurang jelas, Mas? Sepertinya kelamaan bersama Selly membuat pendengaranmu terganggu at
Sempat terkejut saat membuka mata ternyata ia sekamar dengan Rama dan mengingat sudah beberapa malam mereka tinggal di kediaman orangtua Rama. Melihat sofa dan lantai yang rapi, kemungkinan tidak ditempati oleh Rama untuk tidur dan menyadari kalau pria itu pasti tidur satu ranjang dengannya.“Mas, tidur di mana?” tanya Anya pada Rama yang baru masuk dari balkon.“Disitu!” tunjuknya ke arah ranjang dengan dagu karena tatapannya tertuju pada wajah Anya. Rambut yang agak berantakan dengan wajah polosnya.“Tidur di sini, denganku?” tanya Anya dan dijawab Rama dengan anggukan kepala. “Kok gitu?”“Kenapa? Ini kamarku dan kamu istriku, aku bebas tidur di mana saja termasuk denganmu.”“Tapi--"“Kamu dengan Bima, ada masalah apa?” tanya Rama menyela ucapan sang istri.Mendapati pertanyaan yang cukup berat, Anya sempat kaget dan bersikap biasa saja. “Maksudnya masalah gimana?” tanyanya balik sambil beranjak dari ranjang dan melangkah menuju toilet, tapi tertahan lagi-lagi dengan cengkraman tang
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da
Rama tidak mengajak Selly keluar dari mobil. Hanya mematikan mesin dan membuka setengah kaca jendela. Apalagi langit mulai gelap, sepertinya akan turun hujan sesuai dengan prediksi Selly.Cukup lama keduanya terdiam tenggelam dengan perasaannya masing-masing. Kalau mau jujur, Selly ingin sekali tergelak menyadari keluguan mereka seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Padahal ia ingin langsung melompat ke pangkuan Rama dan mengalungkan tangan di leher pria itu lalu bercumbu.Oh tidak, Selly menggeleng pelan mengusir bayangan erotis yang mungkin saja mereka lakukan. Ia ingin hubungannya dengan Rama berjalan normal seperti pasangan pada umumnya dan melakukan hal lebih jauh kalau status mereka sudah berubah.“Ehem.” Rama berdehem, seakan mengusir rasa gugup.Ia bingung hendak memulai dari mana. Apa yang akan disampaikan akan menyakiti Selly, meski bertujuan untuk kebaikan mereka berdua. Dari raut wajah Selly terlihat kalau wanita itu senang dengan pertemuan ini, mungkin saja sudah dinant
“Bu, ada Pak Rama,” ucap Ira.Anya yang memastikan Dewa tertidur dengan nyaman setelah dipindahkan ke box bayi pun terdiam. Bima memang mengatakan Rama akan menemuinya, tapi tidak tahu kalau secepat itu.“Mas Rama sendiri?”“Iya Bu. Biar Dewa saya yang temani. Ibu ke depan saja. Saya sudah tanya sudah makan siang atau belum, katanya sudah waktu keluar tol.”Hanya menjawab dengan anggukan, Anya menitipkan putranya pada Ira. “Kamu sambil baringan aja di situ.” Ia menunjuk sofa, tahu kondisi Ira belum fit seperti sebelum insiden kecelakaan, lebih tepatnya kekerasan karena ulah Denis. “Kalau jam segini tidurnya lama.”“Iya Bu.”Anya pun keluar dari kamarnya, berpapasan dengan Mbak Ela yang membawa nampan.“Mas Rama di mana?” tanyanya dan Ela menjawab Rama ada di ruang tamu.Melangkah pelan menuju ruang tamu, meski sudah tahu apa yang akan dibahas. Tetap saja membuat Anya gugup.“Mas Rama, apa kabar?” sapa Anya karena sejak kepulangan Rama ke Jakarta lalu mendengar kondisi Denis yang mengk