Share

3. Sosok Bima

“Apakah ini istrimu?”

Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu. 

Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.

Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.

“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”

“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.

Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”

Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.

Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,” ucapnya, tanpa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.

Wanita itu kemudian ikut melangkah masuk.

Di dalam, koper-koper yang dibawa Bima sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga.

Baru setelah itu, Rama memanggilnya dan secara formal memperkenalkan Anya pada Bima dan sebaliknya.

“Bima,” ucap pria asing itu sembari menyodorkan tangannya. 

Anya tersenyum sopan pada Bima sembari menyambut uluran tangannya. Pikirnya tidak salah karena toh pria ini sudah membantunya tadi.

Namun, saat akhirnya Bima meninggalkannya dan Rama ke kamar, suaminya itu justru mengatakan, “Sudah kubilang jangan menggodanya.”

Anya menoleh ke arah Rama. “Apa maksudmu, Mas? Memangnya aku melakukan apa?” balasnya, kali ini terang-terangan di depan suaminya. “Sekiranya kamu kurang paham definisi centil dan penggoda, mungkin kamu bisa melihat sekretarismu itu. Dia bahkan bisa membuatmu menikahinya.”

“Anya,” sergah Rama dengan nada memperingatkan. “Jaga bicaramu. Jangan sampai–”

“Sudahlah. Aku lelah.” Anya berlalu ke arah kamar untuknya dan Rama. “Aku akan istirahat sebentar.”

***

Beberapa hari setelah Anya menghuni rumah mertuanya, sang suami mengajaknya makan malam di luar, bersama Bima dan Pram, orang kepercayaan sang ayah.

Padahal selama mereka menginap di sini, kerjaan suaminya itu pun hanya main-main di luar dengan sang sekretaris.

“Mas, apakah bisa aku tidak ikut saja?”

“Kamu berani membantahku?” balas Rama, langsung terdengar siap berdebat. “Ingat, kamu itu hanya–”

“Baiklah, aku ikut.” Anya langsung berkata. 

Padahal ia bertanya baik-baik. Namun, hinaan memang sudah menantinya.

Pada akhirnya, sebelum pukul tujuh malam, Anya sudah tiba di restoran dalam hotel tempat tempat makan malam diadakan. Ternyata pertemuannya akan dilangsungkan di sebuah private room. 

Namun, di luar dugaannya, rupanya Rama sudah ada di sana.

Bersama Selly.

Anya menghela napas dan menetralkan ekspresi wajahnya, sebelum mengatakan, “Ajak masuk saja. Biar seru.” Ia berucap saat berhadapan dengan suami dan istri sirinya.

“Ck! Kamu selalu mencari gara-gara,” desis Selly lirih. “Awas sa–”

“Jangan menarik perhatian,” tegur Rama pelan. “Orang melihatnya kamu sekretarisku.”

Mendengar itu, Anya memasang senyum kecil.

“Mas, mau bareng ke dalam?” tanyanya. “Khawatirnya, Om Pram dan sepupumu melihat kita seperti pasangan aneh. Aku masuk sendiri, dan kamu bersama sekretarismu. Padahal kita sudah ada di sini.”

“Sayang,” rengek Selly, menanggapi Anya. Ia langsung menyentuh lengan Rama. “Aku nggak mau kamu sama dia.”

Rama menghela napas dan perlahan melepaskan tangan Selly dari lengannya. “Kamu tunggu aku di sini. Hanya sebentar,” katanya.

Pria itu kemudian menatap Anya yang masih tersenyum dan berjalan masuk dengan sang istri.

Sementara itu, Anya sempat menoleh pada Selly dan mengedip penuh ejekan. Sekalipun hubungan Anya dan Rama tidak romantis sama sekali, tapi rasanya tidak buruk juga saat menggoda Selly dan membuat istri siri suaminya itu cemburu sekaligus berpikir yang tidak-tidak.

Makan malam berlangsung dengan kondusif. Anya hanya diam mendengarkan obrolan ketiga pria di dalam sana. Yang ia tangkap adalah, Bima akan ditempatkan di kantor pusat oleh ayah mertuanya–dan itu membuat Rama tidak suka.

Entah apa yang terjadi antara Rama dan Bima–Anya tidak tahu. Yang jelas, memang sejak awal ia melihat keduanya saling tidak menyukai dan canggung. Seperti menyimpan cerita masa lalu yang berat.

“Anya, kamu akan dipindahkan ke bagian marketing mulai besok,” ucap Om Pram. “Sama dengan Bima. Pak Denis punya rencana sendiri untuk kalian berdua.”

Setelah menikah dengan Rama, Anya masih bekerja, sesuai dengan perintah mertuanya. Wanita itu bergabung di perusahaan milik mertuanya dan ditempatkan di bagian HRD kantor pusat. 

Namun, sebenarnya, Anya sedang berusaha untuk melepaskan diri agar tidak terlalu terikat dengan keluarga Hardana. Agar nanti jika ia bercerai dengan Rama, Anya bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Entah kapan itu terjadi.

Meski begitu, jelas perintah ayah mertuanya itu mengganggu niatan Anya.

“Maaf, Om.” Anya berucap. “Saya–”

“Tidak boleh protes,” potong Om Pram. “Aku tahu kamu akan menolak. Tapi kamu memiliki potensi dan Tuan Denis jelas bisa melihat itu. Jadi, ikuti saja arahan beliau.”

Anya sempat menoleh pada Rama, berharap sia-sia kalau suaminya itu akan membantunya. Tentu, nyatanya pria itu diam saja. Antara tidak mau membantah atau tidak peduli pada Anya.

Sepertinya yang kedua.

“Baiklah, Om.” Akhirnya Anya patuh.

Perbincangan masih terus berlanjut sambil makan malam. Namun, di sisa obrolan itu, Anya kembali diam karena toh pendapatnya tidak akan diperhitungkan. Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan makanan dan wine yang sejak tadi disajikan oleh para pelayan.

Hingga wanita itu tidak menyadari bahwa ia mulai mabuk.

Tidak hanya Anya, baik Pram maupun Rama pun tidak. Satu-satunya yang memperhatikan Anya sejak tadi adalah … Bima.

“Kau mau ke mana?” tanya Bima saat Rama berdiri, menyusul Pram yang sudah undur diri dan meninggalkan ruangan. 

“Pergi.” Rama menjawab singkat sembari melirik ponselnya yang bergetar sejak tadi. Selly beanr-benar tidak sabar. “Aku ada janji lain.”

“Bagaimana dengan istrimu?”

Kedua pria itu beradu tatap selama sesaat, sebelum Rama melirik pada sang istri yang sudah tidak fokus dan menyahut, “Aku titip dia padamu. Bisa?”

Bima terkekeh. “Kau menyerahkan istrimu padaku?”

“Menitipkan,” koreksi Rama. Namun, ia memang tampak tidak keberatan menitipkan istrinya pada pria lain yang baru ia temui kembali beberapa hari yang lalu itu. “Meski tidak akur, kita ini saudara.”

Ucapan itu membuat Bima tersenyum miring. “Bagaimana kalau aku merebutnya?” balas pria itu. “Seperti yang dilakukan ayahmu pada ayahku. Mereka juga saudara.”

Rama berdecak. “Kau–” Belum sempat ia membalas, ponselnya kembali bergetar. “Sudahlah. Tolong bawa dia pulang. Kita akan bicara lagi di rumah.”

Tanpa menunggu jawaban Bima, suami Anya tersebut kemudian berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa.

“Hei!” seru Bima. “Rama, kau–”

“Mas?” gumam Anya sembari membuka matanya perlahan dan memandang Bima. “Mas Rama. Aku pusing ….”

Lalu, tanpa diduga dan aba-aba, tubuh wanita itu oleng ke samping, nyaris membentur lantai jika Bima tidak menahannya.

“Ck.” Bima menghela napas. Dengan gerakan tegas yang hati-hati, dibawanya wanita itu dalam gendongannya. Sepasang Anya tengah terpejam, tidak menyadari bahwa ia berada dalam gendongan pria lain yang bukan suaminya. 

Sementara Bima … tanpa sadar mengagumi kecantikan polos yang dimiliki oleh Anya.  Wajahnya khas wanita Melayu, rambut panjang dengan hidung mancung, lengkap dengan bentuk bibir membuat sempurna wajahnya.

“... Suamimu pasti sudah gila karena menyia-nyiakanmu seperti ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status