Share

2. Sepupu Suaminya

“Rama itu suamiku.”

Terdengar tawa Selly di seberang saluran telepon. “Dih. Kepedean kamu,” ucapnya. “Rama itu tidak tertarik padamu! Kasihan, iya sih statusnya istri, tapi suaminya malah sibuk sama aku!”

Anya membuka matanya dan menatap ke arah cermin nakas. Berusaha untuk tidak terusik.

“Kamu menelepon hanya untuk mengatakan itu?” tanya Anya. Karena, tidak mungkin Selly menghubunginya untuk bertanya di mana Rama–pria itu punya ponselnya sendiri dan tidak mungkin mengabaikan telepon dari Selly. “Kalau tidak penting, akan aku tutup–”

“Aku sudah menikah dengan Rama semalam.” Selly memotong ucapan Anya.

Mendengar itu, Anya kembali diingatkan pada perasaan kecewa dan terhina yang ia rasakan tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Selly dengan bereaksi seperti yang diharapkan.

“Begitu?” balas Anya. Ia ingin menunjukan ketidakpedulian agar lawan bicaranya itu kesal.

“Sudah? Begitu saja?” ejek Selly. “Halah, palingan kamu sebentar lagi nangis sambil jerit-jerit.”

Anya menarik napas pelan. “Aku tidak peduli,” katanya. “Kamu boleh bangga karena mungkin hati Mas Rama sudah jadi milikmu, tapi orang tuanya hanya mengakui aku sebagai menantu.Jangan lupakan itu, Selly.” 

Terdengar dengusan napas di ujung sana, tanda Anya berhasil menabuh genderang perang. 

“Kalau kamu mencari Mas Rama, beliau baru saja pergi,” ucap Anya lagi, pura-pura bodoh. “Aku kurang tahu ke mana, tapi beliau pasti pulang.”

“Heh. Lalu kenapa? Memang yang kalian tinggali itu rumah Rama! Kamulah yang tidak tahu diri–”

“Tapi, di rumah ini ada aku,” potong Anya. “Yang berarti, aku masih menjadi tempat Mas Rama pulang. Lagi pula,” Anya menjeda sejenak, “kenapa kamu bisa yakin kamu memiliki Mas Rama sepenuhnya? Sudah beberapa bulan kami menikah. Menurutmu, memang tidak ada yang terjadi di antara kami selama itu?”

Anya hanya memanasi Selly, tentu saja. Karena Rama adalah pria yang cukup konsisten dan tidak tergoda untuk menyentuh Anya sama sekali.

Namun, Selly tidak tahu kebenaran itu. 

“Oh ya. Mulai besok kami pindah ke rumah Papa,” imbuh Anya lagi. “Sayang sekali. Sekalipun kalian sudah menikah, tapi tetap saja harus terpisah.”

“Anya! Sialan ka–”

Anya langsung menutup panggilan. Tidak peduli dengan Selly yang mungkin masih menyumpahinya di ujung sana. 

Satu penyesalannya karena tidak bisa menahan diri, setelah ini Selly akan mengadu pada Rama dan berujung drama pertengkaran ia dan Rama. 

Namun, biarlah. Bukan hal baru.

***

Entah Selly mengadu seperti apa pada Rama, yang jelas pria itu marah besar. 

Meski begitu, Anya berusaha tidak peduli.  Ia sibuk mengeluarkan dua koper berisi pakaiannya dan juga milik Rama. Tidak mengacuhkan ocehan sang suami. 

“Jadi berangkat atau kamu masih mau ngomel, Mas?” tanya Anya pada akhirnya, saat ia melewati Rama.

“Heh! Mulai berani kamu!” sergah Rama. Ia mencengkeram lengan Anya. “Awas! Ingat kata-kataku. Kalau Mama dan Papa sampai tahu masalah aku dan Selly–”

“Mas, memangnya hanya aku yang kemungkinan membocorkan ini pada Mama dan Papa?” sela Anya, terdengar lelah. “Coba cek istri sirimu itu. Mana tahu wanita itu yang menyampaikan, tidak ada perempuan yang ingin jadi simpanan.”

Rama berdecak pelan. Tampaknya, ia mengakui kebenaran dalam kata-kata Anya.

Bisa saja Selly yang akan membocorkan hubungan mereka. Bukan sekali dua kali wanita itu mengancam, kalau Rama tidak segera menceraikan Anya, Selly sendiri yang akan mengakui hubungan mereka pada Denis dan Malika.

Ck. Hidup Rama makin rumit sejak ia menikah. Semuanya salah Anya.

Setibanya mereka di kediaman utama keluarga Hardana, Rama membiarkan istrinya mengurus dua koper besar sendirian. Sementara ia melenggang santai.

“Lama sekali. Jangan lelet, Anya! Macam siput saja.”

Alih-alih membantu, pria itu justru mengatai sang istri. Untung baginya, Malika dan Denis, kedua orang tuanya, masih berada di luar kota. Jadi hanya asisten rumah tangga saja yang menyambut mereka.

Tiba-tiba ponsel Rama berdering, membuat pria itu langsung mengangkat panggilan.

“Halo, Mah.” Rama berhenti melangkah dan menyapa sang ibu sementara Anya kewalahan dengan bawaannya. Wanita itu berakhir berdiri di samping Rama sembari mengatur napas, mendengarkan obrolan suami dan ibu mertuanya.

“Rama. Hari ini Bima akan datang ke rumah.”

Anya melihat alis suaminya mengerut. “Bima?” ulangnya.

“Iya.” Sang ibu membalas. “Semangat ya, Sayang. Kamu juga harus hati-hati. Tidak boleh terkecoh. Kita harus pastikan semua tetap di tempatnya.” 

Samar-samar, Anya bisa mendengar kata-kata ibu mertuanya tersebut, dan merasa heran tentang maksudnya.

Namun, ia tidak bertanya karena merasa itu bukan urusannya.

“Bima itu sepupuku,” ucap Rama kemudian tanpa ditanya. Ekspresi pria itu tampak tidak suka. “Ck. Menyusahkan. Tapi sepertinya Papa punya rencana untuknya.” Ia lalu menoleh pada Anya. “Kenapa diam saja? Bawa koper-koper itu masuk!”

“Keterlaluan. Kenapa kamu menyuruh wanita untuk mengurusi barangmu?”

Anya terkejut saat mendapati seorang pria asing mengambil alih koper-koper dari sisinya.

Pria itu lebih tinggi dari Rama, dengan tubuh tegap dengan rahang tegas. Rambutnya agak gondrong, tapi tidak berantakan melainkan diikat. Sosok itu memandang Anya dengan senyum tipis.

“Kudengar kamu sudah menikahi wanita cantik, Ram,” ujar pria itu kemudian. “Apakah ini istrimu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status