Anya menelan salivanya. Ucapan Bima barusan mengingatkan kembali kejadian semalam. Tidak mungkin ia bisa lupa, bahkan seumur hidupnya. Benar apa kata pria itu kalau mereka tidak akan mudah melupakannya.
“Aku bilang jangan dibahas dan lupakan saja. Anggap semua tidak pernah terjadi karena itu sebuah kesalahan,” sahut Anya lirih.
Bima mendengus kesal mendengar permintaan Anya. Katakanlah ia brengsek atau apalah, tapi ia bukan pria perusak para gadis. Tanggung jawab, tentu saja Bima harus lakukan itu. Hanya saja tanggung jawab seperti apa mengingat Anya adalah istri orang. Beda cerita kalau wanita itu masih single.
Malam itu ia sadar dengan posisi Anya istri dari adik sepupunya, tapi tidak ada kucing yang menolak ikan asin, apalagi tersaji dan menggoda di depan matanya. Kalau pria lain mungkin akan lenggang kangkung saat si wanita malah mengusir dan mengatakan agar melupakan apa yang sudah terjadi. Namun, bagi Bima pantang ia mundur dan menghindar.
Semakin diingat kejadian itu dan ditatap wajah Anya, semakin terlihat menarik dan membuat hatinya berdebar. Jatuh cinta? Entahlah.
“Kadang sebuah kebahagiaan bermula dari sebuah kesalahan.”
“Kamu pikir kita bisa bahagia karena kesalahan semalam?” tanya Anya mulai emosi. Mulai kesal dengan Bima seolah tidak merasa bersalah malah bicara tentang kebahagian. Sedangkan hidupnya jauh dari bahagia sejak menikah dengan Rama, apalagi sekarang.
“Dengar--"
“Tolong jangan bahas lagi,” sela Anya. “Jangan buat pernikahanku jadi berantakan.”
Berharap Bima akan paham dan sepakat dengan permintaannya, nyatanya pria itu malah terkekeh membuat Anya mengernyitkan dahinya heran.
“Maksud kamu, aku bisa membuat pernikahan kamu berantakan?” Anya mengangguk pelan.”Pernikahan kalian, memang sudah berantakan.”
Apa dia sudah tahu? Batin Anya.
“Kalau kamu memiliki posisi terbaik di hati Rama, tidak akan dia bersikap begitu. Kami baru bertemu dan dalam dua malam dia sudah dua kali menitipkan kamu denganku. Alasannya sama, telpon dan urusan yang lebih penting dari istrinya.”
“Tidak usah berkilah,” cetus Bima saat Anya akan bicara. “Aku sudah tahu kalau hubungan kalian tidak baik dan ada wanita lain di hati Rama.”
Ya Tuhan, bagaimana ini. Kalau Bima tahu, bisa jadi Mama dan Papa juga tahu. Mas Rama pasti akan marah dan tuduh aku yang membocorkan rahasianya.
***
“Ayolah sayang, jangan merajuk. Aku kemari susah loh, bahkan harus berbohong kalau ada janji makan malam dan sekarang Anya aku tinggal di café.”
Rama sedang membujuk Selly yang merajuk.
“Kamu tahu kita tidak bisa bebas seperti kemarin. Ada Papa yang akan terus mengawasi aku.”
“Kita tidak bisa begini terus. Mana tahu kamu dan Anya ternyata makin dekat lalu--"
“Tidak sayang. Hubunganku dengan Anya masih sama seperti awal kami menikah. Ayolah, waktu kita terbatas, mari kita manfaatkan dengan baik,” rayu Rama menyela Selly sambil memeluk dan memberikan kecupan di pipi wanita itu.
“Rama, kamu tahu aku sedang tidak sehat. Aku butuh kamu di sini, tapi komunikasi saja sulit kalau kamu ada di rumah itu.”
Selly bersedekap membelakangi Rama. Tidak sehat dari tubuhnya hanya alasan untuk dapat perhatian dari Rama. Ia harus membuat pria itu terlena dan menjadikan dunia Rama hanya tentang dirinya. Tujuannya tentu saja untuk menguasai Rama. Mungkin saja mereka saling cinta, tapi rasa cinta itu kalah dengan niatnya yang lain. Menjadikan dirinya Nyonya Rama Hardana agar hidupnya berubah, sudah lelah hidup penuh keterbatasan dan kerja keras tapi hasilnya biasa saja.
“Sabar sayang, ini hanya sementara.” Tangan Rama mengusap pelan punggung lalu rambut Selly dengan lembut, tapi tidak membuat Selly luluh yang masih konsisten dengan drama merajuknya.
“Waktu kita akan menikah, kamu janji akan berlaku adil,” ungkap Selly mengingatkan kembali janji Rama.
“Tentu saja, bahkan perasaan aku hanya untuk kamu. Itu lebih dari adil, sayang. Memang untuk waktu kamu harus sabar karena--"
“Aku tidak dapatkan apa yang Anya rasakan sekarang. Nama baik dan pengakuan, bahkan ia bisa hidup enak dengan status istri kamu. Aku juga istri kamu, Rama.”
“Iya, kamu istri aku. Tenang saja, aku akan berikan juga apa yang Anya nikmati.” Rama mengeluarkan dompet dan membukanya. Mengambil salah satu kartu dan memberikan pada Selly. “Gunakan untuk kebutuhanmu, nafkah dariku adalah kamu bisa nikmati apa yang aku miliki.”
Selly menerima kartu pemberian Rama dengan buncahan rasa yang tidak terkira, tapi raut wajah ia tunjukan biasa saja.
“Kamu sogok aku?”
“Apapun akan aku lakukan untukmu. Jangan marah lagi ya,” bujuk Rama kembali memeluk Selly. “Mau ke dokter untuk periksa kesehatan kamu atau aku saja yang periksa kamu?” tanya Rama sambil mengerlingkan matanya.
Sudah hampir jam sebelas, tapi Rama belum kelihatan. Anya berniat meninggalkan café dan pulang sendiri, sudah lelah menunggu. Bima tentu saja masih beredar di area cafenya, sesekali pria itu bertanya apa ia butuh sesuatu. Bahkan salah satu pelayan mengantarkan capucino iced, ternyata perintah dari Bima.“Ck, dalam sepuluh menit mas Rama tidak datang. Aku pulang saja.” Anya menghela pelan dan mengaduk isi gelasnya lalu menengadah karena Bima sudah berdiri di depan mejanya.“Butuh sesuatu? Sepertinya menunggu sangat membosankan.”“Tidak, terima kasih.”Alih-alih kembali meninggalkan Anya, Bima malah duduk lagi di kursi yang sebelumnya ia tempati.“Tiga puluh menit lagi cafe tutup. Jangan khawatir, kamu tetap bisa tunggu di sini. Aku akan dengan senang hati menemani.”Anya mengusap layar ponsel yang dia letakan di atas meja, berharap ada pesan masuk dari Rama meski ia yakin tidak ada karena tidak ada notifikasi apapun. Menghubunginya pun percuma, dua kali panggilan sudah dia lakukan sete
Pertanyaan Bima membuat debaran jantung Anya tidak karuan. Benaknya penuh dengan pertanyaan Bima tadi. Bagaimana kalau dirinya hamil, tentu saja kemungkinan itu ada. Pasangan yang melakukan hubungan bisa saja menghasilkan keturunan.Tidak mungkin, toh kami melakukannya hanya sekali, batin Anya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.Meski dalam hati Anya percaya, kehamilan bukan terjadi karena sekali atau beberapa kali uji coba. Bisa saja benih yang ditinggalkan Bima memang berhasil berkembang dan dia benar hamil. Tidak bisa mengingat ia berada dalam masa subur atau tidak, kepalanya terlalu mumet dan ia tidak peduli saat ini sedang subur atau tidak sebab tidak dalam program kehamilan.Anya pun menoleh menatap Bima yang juga menoleh ke arahnya dan kembali fokus dengan kemudi. “Jangan mimpi, aku tidak mungkin hamil anakmu,” ujar Anya lirih.Bima tersenyum sinis. “Kenapa kamu begitu yakin. Saat itu aku tidak menggunakan pengaman dan kita melakukannya berkali-kali.”Shittt, dal
Cerai. Akhirnya Anya berani untuk menuntut hal itu. meski Rama menjanjikan mereka akan bercerai setelah satu atau dua tahun pernikahan, rasanya tidak mungkin menunggu selama itu. Hubungan mereka tidak semakin baik dan lagi ia tidak ingin terus dibayangi rasa bersalah karena perbuatannya bersama Bima.Ia bukanlah Rama, tidak punya perasaan dan memainkan pernikahan sama saja dengan terus menerus membohongi orang tua.Setelah Anya mengatakan cerai, Rama sempat menoleh dan berdecak pelan. Namun, tidak komentar dan merespon apapun hanya fokus pada kemudi. Tiba di rumah, Anya gegas ke kamar beruntung mertuanya sudah tidak terlihat, sepertinya sudah istirahat.“Anya,” panggil Rama mengekor langkahnya dan sudah berada di kamar.”Apa maksudmu minta cerai?” tanya Rama menahan Anya yang akan ke toilet dengan cengkraman di lengan.“Maksudku?” Balik tanya, Anya kemudian menghela nafas dan menarik tangannya. “Apa kurang jelas, Mas? Sepertinya kelamaan bersama Selly membuat pendengaranmu terganggu at
Sempat terkejut saat membuka mata ternyata ia sekamar dengan Rama dan mengingat sudah beberapa malam mereka tinggal di kediaman orangtua Rama. Melihat sofa dan lantai yang rapi, kemungkinan tidak ditempati oleh Rama untuk tidur dan menyadari kalau pria itu pasti tidur satu ranjang dengannya.“Mas, tidur di mana?” tanya Anya pada Rama yang baru masuk dari balkon.“Disitu!” tunjuknya ke arah ranjang dengan dagu karena tatapannya tertuju pada wajah Anya. Rambut yang agak berantakan dengan wajah polosnya.“Tidur di sini, denganku?” tanya Anya dan dijawab Rama dengan anggukan kepala. “Kok gitu?”“Kenapa? Ini kamarku dan kamu istriku, aku bebas tidur di mana saja termasuk denganmu.”“Tapi--"“Kamu dengan Bima, ada masalah apa?” tanya Rama menyela ucapan sang istri.Mendapati pertanyaan yang cukup berat, Anya sempat kaget dan bersikap biasa saja. “Maksudnya masalah gimana?” tanyanya balik sambil beranjak dari ranjang dan melangkah menuju toilet, tapi tertahan lagi-lagi dengan cengkraman tang
“Astaga, Mas!” Anya berteriak saat keluar dari toilet karena tiba-tiba Rama, suaminya, langsung mencengkeram lehernya. Membuat wanita itu kesulitan bernapas.Sejujurnya, bukan kali ini saja Anya mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan kasar dari sang suami. Namun, bukan berarti Anya terbiasa dengan perbuatan Rama yang entah karena apa kali ini.“Aku sudah bilang, jangan mengadu!” tutur Rama penuh tekanan dan ancaman. “Mulutmu bisa digunakan untuk hal lain, tapi jangan katakan bagaimana bobroknya rumah tangga kita!” Anya Mera Hanggara dan Rama Hardana menikah karena perjodohan untuk memperkuat bisnis dua keluarga, tanpa rasa cinta sebelumnya. Bahkan rentang usia mereka agak jauh. Perbedaan usia Rama enam tahun lebih tua dari Anya. Namun, ternyata itu tidak membuat Rama bijaksana. Sejak menikah, Rama dengan tegas mengatakan tidak menyukai Anya. Dia sudah memiliki kekasih bahkan merencanakan akan menceraikan Anya dua atau tiga tahun setelah pernikahan. Ancaman agar Anya tidak mem
“Rama itu suamiku.”Terdengar tawa Selly di seberang saluran telepon. “Dih. Kepedean kamu,” ucapnya. “Rama itu tidak tertarik padamu! Kasihan, iya sih statusnya istri, tapi suaminya malah sibuk sama aku!”Anya membuka matanya dan menatap ke arah cermin nakas. Berusaha untuk tidak terusik.“Kamu menelepon hanya untuk mengatakan itu?” tanya Anya. Karena, tidak mungkin Selly menghubunginya untuk bertanya di mana Rama–pria itu punya ponselnya sendiri dan tidak mungkin mengabaikan telepon dari Selly. “Kalau tidak penting, akan aku tutup–”“Aku sudah menikah dengan Rama semalam.” Selly memotong ucapan Anya.Mendengar itu, Anya kembali diingatkan pada perasaan kecewa dan terhina yang ia rasakan tadi. Namun, ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Selly dengan bereaksi seperti yang diharapkan.“Begitu?” balas Anya. Ia ingin menunjukan ketidakpedulian agar lawan bicaranya itu kesal.“Sudah? Begitu saja?” ejek Selly. “Halah, palingan kamu sebentar lagi nangis sambil jerit-jerit.”Anya menarik n
“Apakah ini istrimu?”Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu. Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,
Anya mengerjapkan pelan matanya, pendingin ruangan membuat tidurnya terjaga karena hembusan udara seakan menembus kulitnya. Bahkan ia meringis merasakan kepala terasa berat.Yang lebih mengejutkan ada beban di atas perutnya. Saat ia sibak selimut ternyata tangan memeluknya dan menyadari tidak mengenakan apapun, hanya selimut saja.“Di mana pakaianku?” gumam Anya.Perlahan ia menyibak selimut dan melihat tangan melingkar di perutnya.Mas Rama, dia peluk aku. Rasanya … tidak mungkin, batin Anya. Mencoba mengingat kejadian semalam, makan malam yang dihadiri juga dengan Om Pram dan Bima. Setelah itu ia pulang, bahkan digendong ke kamar oleh Rama, tentu saja karena ia mabuk.Senyum terbit di bibir Anya, ternyata suaminya bisa bersikap manis. Apa ini pertanda hubungan mereka mulai membaik. merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja, jelas semalam terjadi sesuatu. Apa yang selama ini dijaga telah ia berikan pada sang suami yang memang sudah menjadi haknya.“Mas Rama,” panggil Anya lirih sambil