“Bos, kita perlu ada revisi dan variasi menu. Untuk penyegaran biar pengunjung nggak bosan,” seru manager café, menyadarkan lamunan BIma.“Hm, boleh. Besok kita diskusikan lagi, lo kumpulin semua materinya,” sahut Bima.“Siap. KIta-kita sudah diskusi, ada beberapa menu yang sedang viral dan usulan menu baru.”Bima mengangguk pelan.“Cewek yang kemarin, pacar bos ya?”“Yang mana?” tanya Bima menyandarkan punggungnya.“Yang duduk di sana, terus pulang bareng bos. Masa lupa sih?”BIma hanya menjawab dengan kata Oh, yang dimaksud karyawannya adalah Anya. Namun, tidak menjawab dengan spesifik.“Jadi bener pacar Bos?”“Bukan,” sahut Bima lagi. ‘Bukan pacar hanya teman satu malam karena masih istri orang,’ batin Bima.“Cakep mana bening banget. Emang nggak naksir bos?”“Ck. Lo tau aja produk premium. Udah nggak usah bahas perempuan. Gimana omset minggu ini?”Obrolan Bima dan karyawannya beralih membicarakan café, meskipun dalam hati sempat setuju dengan pendapat mengenai Anya. Wanita itu can
Anya akui kalau Bima cukup profesional dan dewasa sesuai umurnya saat mereka berhadapan dengan ketua tim dan juga bergabung dengan rekan lainnya membahas proyek baru dan pembagian tugas serta evaluasi proyek yang sudah berjalan.Bisa dibilang Bima mudah menguasai hal baru atau memang ia berpotensi dan cakap dalam segala hal. Mungkin saja biasa mengelola cafe dan usahanya menjadi dasar untuk pekerjaannya sekarang.“Sambil makan siang dong,” usul salah satu tim. “Iya nggak, Mas Bima?”“Boleh,”sahutnya terkekeh lalu fokus menatap layar laptop yang disodorkan oleh Naina untuk melihat timeline launching dan promo proyek baru yang akan dikerjakan oleh tim. Apa tadi yang dibahas sampai mengarah ke makan siang, sepertinya Anya sempat melamun dan yang dilamunkan adalah tentang Bima. Bagus Anya, bukannya lupa malah makin terbayang dan memenuhi pikirannya.“Mbak Anya ikut nggak?”“Hm--"“Ikut, dia ikut,” sahut Bima. “Sebab dalam pemantauan dan radar saya, titipan keluarganya banget. Kalau ada ap
Bukan bermaksud menakuti atau mengancam Anya, sungguh Bima tidak ingin melakukan itu. Malah ia tidak suka melihat Rama menyakiti atau memanfaatkan Anya. Dalam hati ia mengumpat dan menyesal karena melihat wajah wanita itu langsung panik dengan candaannya.So sorry, I just kiddingKalau tahu ia hanya iseng Anya pasti melempar sesuatu ke wajahnya. Untuk memastikan ia tidak menghubungi Rama dan mengatakan kesalahan mereka, Anya bahkan mengekor terus selama istirahat. Termasuk saat istirahat dan makan di kantin bahkan ketika anggota tim lainnya menggoda dan antusias agar Bima memberikan alamat atau jujur dengan statusnya saat ini, Anya hanya bisa menjadi pendengar setia.“Aku akan selesaikan sendiri, jangan ikut campur. Please!” bisik Anya padanya saat ada kesempatan.Oh Tuhan, raut wajah mengibanya sangat menggemaskan. Puppy eyes. Ingin sekali Bima mengusap kepalanya dan mengatakan. “Aku hanya bercanda, sayang.”Sayang, batin BimaApa memang ia sudah sesayang itu pada Anya. Mungkin, iya.
Anya memilih tidur di sofa, tidak ingin ada interaksi atau kejadian yang tidak diinginkan antara dia dan Rama. Sudah terlambat. Kalau sebelumnya, mungkin ia berharap hubungan mereka membaik. Namun, untuk sekarang tidak lagi. Malam bersama Bima, membuat Anya yakin untuk berpisah dengan Rama. Baginya itu sebuah kesalahan dan pengkhianatan, meski Rama pun melakukan pengkhianatan dengan menikahi perempuan lain.Pertanyaannya, kapan Rama akan menceraikan dirinya. Sudah pasti tidak mudah bagi kedua pihak karena ada keluarga dan urusan di sana. Sumpah serapah mungkin akan Anya terima dari orang tuanya dan hubungan mereka bisa tidak harmonis lagi. Mungkin itu pula yang membuat Rama belum mengambil langkah perceraian, karena belum ada alasan yang tepat.Saat Anya sudah terlelap, Rama masih sulit memejamkan mata. Ia beranjak dan mendekat ke sofa, berdiri menatap sang istri. Perlahan wajah Rama tersenyum menatap Anya, ada kesenangan tersendiri memperhatikan wajah dan gaya wanita itu ketika tidur.
Rama merelakan Anya ikut bersama Bima, dengan alasan tuntutan pekerjaan dan tetap pada rencananya kalau sore mereka akan ke butik. Entah mengapa ia tidak menyukai sang istri terlalu dekat dengan Bima. Padahal sebelumnya tidak ada beban meninggalkan begitu saja dan mempercayakan Anya pada sepupunya itu.Dalam perjalanan, Rama sempat berkirim pesan pada Selly untuk menyiapkan sarapan. Terburu-buru dan melewatkan sarapan di rumah untuk segera pergi dengan Anya yang nyatanya zonk. Sambil fokus dengan kemudi, Rama heran karena belum ada pesan balasan apalagi panggilan dari Selly merespon permintaannya.Menduga kalau wanita itu mungkin dalam perjalanan sama seperti dirinya. Nyatanya sampai di kantor bahkan sudah berdiri di depan ruang kerjanya, meja Selly masih kosong dan rapi. Menunjukkan kalau penghuninya belum hadir.“Dia belum datang,” gumam Rama lalu memasuki ruangannya sendiri.Rama melakukan panggilan pada Selly dengan loudspeaker, sambil melepas jas dan menggantungkan di hanger lalu
Bima sempat misuh-misuh saat Anya pamit duluan karena sudah ada Rama menunggu di lobby. Kalaupun ada ide untuk menahan kepergian Anya sudah pasti tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi menjadi perhatian Anya akan keisengan dan kejahilannya. Ketika Anya sampai di lobby, Rama sedang bicara dengan manager HRD yang pernah menjadi pimpinan Anya sebelum dipindah tugas ke divisi marketing. Sepertinya pertemuan itu tidak disengaja. Bahkan saat ia menghampiri, langsung menjadi topik pembicaraan.“Kalau bukan permintaan langsung dari Pak Denis, mana mungkin saya setuju Anya dipindahkan. Kerjanya bagus, bisa-lah untuk menggantikan saya dan mendampingi Pak Rama saat Pak Denis pensiun.”“Iya, pak. Sepertinya itu juga alasan Papa.”“Oke, kalau begitu saya duluan,” pamit pria itu yang dijawab oleh Rama dengan senyuman. Anya pun ikut mengangguk.“Ayo,” ajak Rama.“Mas Rama … sendiri?”“Memang harus bawa siapa?” Rama balik bertanya, meski ia tahu yang ditanyakan Anya tentu saja Selly.“Istrimu,” sah
Rama sempat menyapa orang tuanya yang masih berada di ruang keluarga, wajar saja karena masih sore untuk langsung istirahat setelah mereka makan malam. Tujuannya langsung ke kamar, ia ingin menghubungi Selly, aneh karena ponselnya sepi dari gangguan wanita itu. Gangguan, apa ia merasa diganggu oleh Selly. Sedangkan alasan mereka menikah siri adalah cinta. Namun, ia dan Anya juga menikah, tanpa ada cinta.Sampai kamar, Rama langsung ke balkon khawatir percakapannya didengar oleh Anya. Dua kali panggilan baru dijawab oleh Selly dan anehnya tidak ada pekikan atau rengekan manja agar ia segera menemui wanita itu.“Hm, tidurlah. Sampai ketemu di kantor, besok,” ucap Rama sebelum mengakhiri panggilan.“Aneh,” gumamnya. “Mungkin dia mulai sadar.”Setelah memastikan pintu balkon sudah tertutup rapat, Rama menghempaskan tubuhnya di sofa karena menunggu toilet yang masih ada Anya di dalamnya. Sempat mengecek pesan-pesan yang masuk termasuk juga percakapan grup chat dari beberapa urusan, sambil m
"Aku kasih tahu aja ya,” ujar Bima menggeser kursinya mendekat ke Anya. “Perempuan yang sudah buat aku menggila adalah ….”“Mas Bima, Mbak Anya, kita mau briefing,” ujar rekan satu tim mereka.Anya langsung beranjak meninggalkan Bima. Ia merasa seakan diselamatkan dari tingkah Bima yang juga membuatnya gila.“Hei, Anya. Aku belum selesai.”Briefing kali ini membicarakan rencana raker yang akan diadakan beberapa hari lagi, hampir semua tim antusias dan semangat kecuali Anya. Baginya raker atau bukan intinya tetap bekerja, meski kegiatan tersebut biasanya dilakukan di tempat yang tidak biasa, biasanya bertempat di villa atau hotel.Alasan Anya adalah Bima. Membatasi pertemuan bahkan kalau perlu tidak lagi bertemu dengan pria itu, nyatanya semesta mendukung ia terus dekat dengan Bima. Ditambah sekelilingnya sangat memuja Bima dengan kharisma dan wajah tampannya, tidak bisa disangkal Bima memang menarik dan mempesona.Tubuh tegap dan gagah pria itu terkadang mengingatkan Anya kejadian satu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da
Rama tidak mengajak Selly keluar dari mobil. Hanya mematikan mesin dan membuka setengah kaca jendela. Apalagi langit mulai gelap, sepertinya akan turun hujan sesuai dengan prediksi Selly.Cukup lama keduanya terdiam tenggelam dengan perasaannya masing-masing. Kalau mau jujur, Selly ingin sekali tergelak menyadari keluguan mereka seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Padahal ia ingin langsung melompat ke pangkuan Rama dan mengalungkan tangan di leher pria itu lalu bercumbu.Oh tidak, Selly menggeleng pelan mengusir bayangan erotis yang mungkin saja mereka lakukan. Ia ingin hubungannya dengan Rama berjalan normal seperti pasangan pada umumnya dan melakukan hal lebih jauh kalau status mereka sudah berubah.“Ehem.” Rama berdehem, seakan mengusir rasa gugup.Ia bingung hendak memulai dari mana. Apa yang akan disampaikan akan menyakiti Selly, meski bertujuan untuk kebaikan mereka berdua. Dari raut wajah Selly terlihat kalau wanita itu senang dengan pertemuan ini, mungkin saja sudah dinant