Author : Bisa aja lo, Bim Bima : Namanya juga usaha
Rama merelakan Anya ikut bersama Bima, dengan alasan tuntutan pekerjaan dan tetap pada rencananya kalau sore mereka akan ke butik. Entah mengapa ia tidak menyukai sang istri terlalu dekat dengan Bima. Padahal sebelumnya tidak ada beban meninggalkan begitu saja dan mempercayakan Anya pada sepupunya itu.Dalam perjalanan, Rama sempat berkirim pesan pada Selly untuk menyiapkan sarapan. Terburu-buru dan melewatkan sarapan di rumah untuk segera pergi dengan Anya yang nyatanya zonk. Sambil fokus dengan kemudi, Rama heran karena belum ada pesan balasan apalagi panggilan dari Selly merespon permintaannya.Menduga kalau wanita itu mungkin dalam perjalanan sama seperti dirinya. Nyatanya sampai di kantor bahkan sudah berdiri di depan ruang kerjanya, meja Selly masih kosong dan rapi. Menunjukkan kalau penghuninya belum hadir.“Dia belum datang,” gumam Rama lalu memasuki ruangannya sendiri.Rama melakukan panggilan pada Selly dengan loudspeaker, sambil melepas jas dan menggantungkan di hanger lalu
Bima sempat misuh-misuh saat Anya pamit duluan karena sudah ada Rama menunggu di lobby. Kalaupun ada ide untuk menahan kepergian Anya sudah pasti tidak akan berhasil. Kejadian tadi pagi menjadi perhatian Anya akan keisengan dan kejahilannya. Ketika Anya sampai di lobby, Rama sedang bicara dengan manager HRD yang pernah menjadi pimpinan Anya sebelum dipindah tugas ke divisi marketing. Sepertinya pertemuan itu tidak disengaja. Bahkan saat ia menghampiri, langsung menjadi topik pembicaraan.“Kalau bukan permintaan langsung dari Pak Denis, mana mungkin saya setuju Anya dipindahkan. Kerjanya bagus, bisa-lah untuk menggantikan saya dan mendampingi Pak Rama saat Pak Denis pensiun.”“Iya, pak. Sepertinya itu juga alasan Papa.”“Oke, kalau begitu saya duluan,” pamit pria itu yang dijawab oleh Rama dengan senyuman. Anya pun ikut mengangguk.“Ayo,” ajak Rama.“Mas Rama … sendiri?”“Memang harus bawa siapa?” Rama balik bertanya, meski ia tahu yang ditanyakan Anya tentu saja Selly.“Istrimu,” sah
Rama sempat menyapa orang tuanya yang masih berada di ruang keluarga, wajar saja karena masih sore untuk langsung istirahat setelah mereka makan malam. Tujuannya langsung ke kamar, ia ingin menghubungi Selly, aneh karena ponselnya sepi dari gangguan wanita itu. Gangguan, apa ia merasa diganggu oleh Selly. Sedangkan alasan mereka menikah siri adalah cinta. Namun, ia dan Anya juga menikah, tanpa ada cinta.Sampai kamar, Rama langsung ke balkon khawatir percakapannya didengar oleh Anya. Dua kali panggilan baru dijawab oleh Selly dan anehnya tidak ada pekikan atau rengekan manja agar ia segera menemui wanita itu.“Hm, tidurlah. Sampai ketemu di kantor, besok,” ucap Rama sebelum mengakhiri panggilan.“Aneh,” gumamnya. “Mungkin dia mulai sadar.”Setelah memastikan pintu balkon sudah tertutup rapat, Rama menghempaskan tubuhnya di sofa karena menunggu toilet yang masih ada Anya di dalamnya. Sempat mengecek pesan-pesan yang masuk termasuk juga percakapan grup chat dari beberapa urusan, sambil m
"Aku kasih tahu aja ya,” ujar Bima menggeser kursinya mendekat ke Anya. “Perempuan yang sudah buat aku menggila adalah ….”“Mas Bima, Mbak Anya, kita mau briefing,” ujar rekan satu tim mereka.Anya langsung beranjak meninggalkan Bima. Ia merasa seakan diselamatkan dari tingkah Bima yang juga membuatnya gila.“Hei, Anya. Aku belum selesai.”Briefing kali ini membicarakan rencana raker yang akan diadakan beberapa hari lagi, hampir semua tim antusias dan semangat kecuali Anya. Baginya raker atau bukan intinya tetap bekerja, meski kegiatan tersebut biasanya dilakukan di tempat yang tidak biasa, biasanya bertempat di villa atau hotel.Alasan Anya adalah Bima. Membatasi pertemuan bahkan kalau perlu tidak lagi bertemu dengan pria itu, nyatanya semesta mendukung ia terus dekat dengan Bima. Ditambah sekelilingnya sangat memuja Bima dengan kharisma dan wajah tampannya, tidak bisa disangkal Bima memang menarik dan mempesona.Tubuh tegap dan gagah pria itu terkadang mengingatkan Anya kejadian satu
Rama masih terpaku seakan tidak percaya dengan yang disampaikan oleh Denis. Pria itu, papanya yang ia kenal begitu bertanggung jawab dan berwibawa mengakui kesalahannya di masa lalu. Didikannya tidak ada cela, sangat baik dan menjadi teladan sebagai orang tua. Namun, pengakuannya cukup mengejutkan.Sebagai putra tunggal, ia sangat bangga dan bisa dikatakan besar kepala. Fasilitas mewah sejak ia lahir dan kedepannya ia akan menggantikan Denis menjalankan kepemimpinan dan mewarisi semua aset dan perusahaan. Nyatanya, apa yang ada didepan mata ternyata tidak sepenuhnya milik mereka, ada hak orang lain di sana. Milik Danar--Ayah Bima“Setelah mengganti dengan surat wasiat palsu, Papa usir dia dan ancam agar tidak menunjukan wajahnya lagi. Sebelumnya hubungan Papa dan Danar itu sangat akrab dan solid, tapi Papa dengan kejam dan tidak berperasaan membuangnya.”Denis menghela nafasnya sebelum melanjutkan cerita.“Bahkan sebelum pergi, Danar sempat menepuk bahu Papa dan tersenyum. Dia bilang
Lepas urusannya dengan sang Papa yang menguak misteri di masa lalu, Rama menuju apartemen. Tepatnya apartemen yang ditempati oleh Selly. Pikirannya kalut membayangkan kalau ia menjadi bawahan Bima, paling parah ia didepak oleh Bima seperti Denis menyingkirkan Danar.Hal itu tidak boleh terjadi, memikirkannya saja membuat Rama bergidik. Lebih menyeramkan dibandingkan iblis pesugihan. Rama butuh merilekskan hati dan pikirannya, mungkin sedikit minum dan melakukan kegiatan menyenangkan bersama Selly.Sambil mengemudi, Rama menghubungi Selly dengan loudspeaker panggilan. Berdering, tapi tidak kunjung dijawab. Beruntung malam ini Rama tidak terjebak macet, tidak lama ia tiba di apartemen. Setelah parkir, ia mengetik pesan untuk Anya bahwa malam ini tidak pulang dan dihapus lagi. Mereka tidak dalam hubungan yang mengharuskan memberi kabar satu sama lain.Dalam benak Rama, saat ini Denis akan mengerti kegundahannya setelah mendengar rahasia keluarga mereka. Kembali menghubungi Selly dan tida
Bima menyantap makan malamnya dalam diam, meski sudah menduga kemungkinan apa yang dialami oleh Ayahnya dulu adalah rekayasa dan kejahatan seseorang dan kini bukti tersebut semakin jelas. Sangat mengusik hati.Kerasnya hidup Bima membuat ia ingin sekali membalaskan dendam dengan langsung memberi pelajaran pada Denis juga Rama, tapi hatinya berusaha untuk tetap sabar. Apalagi ada Anya di antara ia dan keluarga tersebut, membuat hati dan perasaan Bima melembut dan memperhatikan langkah berikutnya secara matang.“Kamu sudah makan?” tanya Bima dan Anya hanya mengangguk. Dari raut wajah wanita itu menunjukan pertanyaan atau penasaran apa yang Bima alami hari ini sampai terlihat sedih dan sendu.“Bukan masalah berarti, tapi membuat aku rindu mereka, orang tuaku.” Anya kembali merespon dengan mengangguk pelan.Beres dengan makan malamnya, Bima beranjak dari meja makan menuju dapur. Tidak lama kembali dengan gelas berisi coklat hangat.“Untukmu. Katanya minum yang hangat sebelum tidur apalag
Anya sudah berganti piyama dan memilih sofa yang kebetulan cukup besar dan luas untuknya berbaring, tapi kalau Rama yang berbaring di sana tentu saja tidak nyaman karena ukuran tubuh Rama dan Anya berbeda.Menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan sudah memunggungi arah ranjang dimana Rama berada. Ponselnya di silent, karena tadi masih ada pesan masuk dari Bima yang menanyakan file dan dokumen rapat. Sudah pasti hanya alasan.Kadang ia merasa aneh kenapa Bima rese dan terlalu kepo akan hubungannya dengan Rama. Bahkan terang-terangan menunggu perceraian mereka. Apa mungkin Bima serius dengan tanggung jawab yang ia maksud. Mendadak hati Anya menghangat mengingat bagaimana Bima membelanya termasuk gombalan receh ala playboy.Jangan Anya, jangan jatuh cinta apalagi dengan Bima. Hidupmu akan semakin rumit kalau itu terjadi, batin Anya.“Hah, lebih baik tidur,” gumamnya kembali memejamkan mata.Sedangkan di ranjang, Rama memperhatikan Anya yang berbaring di sofa. Ada rasa kasihan dan be
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.