Author : nggak napa-napa neng. Bima : Halah, bukan cepet satuin gue sama Anya
Rama sempat menyapa orang tuanya yang masih berada di ruang keluarga, wajar saja karena masih sore untuk langsung istirahat setelah mereka makan malam. Tujuannya langsung ke kamar, ia ingin menghubungi Selly, aneh karena ponselnya sepi dari gangguan wanita itu. Gangguan, apa ia merasa diganggu oleh Selly. Sedangkan alasan mereka menikah siri adalah cinta. Namun, ia dan Anya juga menikah, tanpa ada cinta.Sampai kamar, Rama langsung ke balkon khawatir percakapannya didengar oleh Anya. Dua kali panggilan baru dijawab oleh Selly dan anehnya tidak ada pekikan atau rengekan manja agar ia segera menemui wanita itu.“Hm, tidurlah. Sampai ketemu di kantor, besok,” ucap Rama sebelum mengakhiri panggilan.“Aneh,” gumamnya. “Mungkin dia mulai sadar.”Setelah memastikan pintu balkon sudah tertutup rapat, Rama menghempaskan tubuhnya di sofa karena menunggu toilet yang masih ada Anya di dalamnya. Sempat mengecek pesan-pesan yang masuk termasuk juga percakapan grup chat dari beberapa urusan, sambil m
"Aku kasih tahu aja ya,” ujar Bima menggeser kursinya mendekat ke Anya. “Perempuan yang sudah buat aku menggila adalah ….”“Mas Bima, Mbak Anya, kita mau briefing,” ujar rekan satu tim mereka.Anya langsung beranjak meninggalkan Bima. Ia merasa seakan diselamatkan dari tingkah Bima yang juga membuatnya gila.“Hei, Anya. Aku belum selesai.”Briefing kali ini membicarakan rencana raker yang akan diadakan beberapa hari lagi, hampir semua tim antusias dan semangat kecuali Anya. Baginya raker atau bukan intinya tetap bekerja, meski kegiatan tersebut biasanya dilakukan di tempat yang tidak biasa, biasanya bertempat di villa atau hotel.Alasan Anya adalah Bima. Membatasi pertemuan bahkan kalau perlu tidak lagi bertemu dengan pria itu, nyatanya semesta mendukung ia terus dekat dengan Bima. Ditambah sekelilingnya sangat memuja Bima dengan kharisma dan wajah tampannya, tidak bisa disangkal Bima memang menarik dan mempesona.Tubuh tegap dan gagah pria itu terkadang mengingatkan Anya kejadian satu
Rama masih terpaku seakan tidak percaya dengan yang disampaikan oleh Denis. Pria itu, papanya yang ia kenal begitu bertanggung jawab dan berwibawa mengakui kesalahannya di masa lalu. Didikannya tidak ada cela, sangat baik dan menjadi teladan sebagai orang tua. Namun, pengakuannya cukup mengejutkan.Sebagai putra tunggal, ia sangat bangga dan bisa dikatakan besar kepala. Fasilitas mewah sejak ia lahir dan kedepannya ia akan menggantikan Denis menjalankan kepemimpinan dan mewarisi semua aset dan perusahaan. Nyatanya, apa yang ada didepan mata ternyata tidak sepenuhnya milik mereka, ada hak orang lain di sana. Milik Danar--Ayah Bima“Setelah mengganti dengan surat wasiat palsu, Papa usir dia dan ancam agar tidak menunjukan wajahnya lagi. Sebelumnya hubungan Papa dan Danar itu sangat akrab dan solid, tapi Papa dengan kejam dan tidak berperasaan membuangnya.”Denis menghela nafasnya sebelum melanjutkan cerita.“Bahkan sebelum pergi, Danar sempat menepuk bahu Papa dan tersenyum. Dia bilang
Lepas urusannya dengan sang Papa yang menguak misteri di masa lalu, Rama menuju apartemen. Tepatnya apartemen yang ditempati oleh Selly. Pikirannya kalut membayangkan kalau ia menjadi bawahan Bima, paling parah ia didepak oleh Bima seperti Denis menyingkirkan Danar.Hal itu tidak boleh terjadi, memikirkannya saja membuat Rama bergidik. Lebih menyeramkan dibandingkan iblis pesugihan. Rama butuh merilekskan hati dan pikirannya, mungkin sedikit minum dan melakukan kegiatan menyenangkan bersama Selly.Sambil mengemudi, Rama menghubungi Selly dengan loudspeaker panggilan. Berdering, tapi tidak kunjung dijawab. Beruntung malam ini Rama tidak terjebak macet, tidak lama ia tiba di apartemen. Setelah parkir, ia mengetik pesan untuk Anya bahwa malam ini tidak pulang dan dihapus lagi. Mereka tidak dalam hubungan yang mengharuskan memberi kabar satu sama lain.Dalam benak Rama, saat ini Denis akan mengerti kegundahannya setelah mendengar rahasia keluarga mereka. Kembali menghubungi Selly dan tida
Bima menyantap makan malamnya dalam diam, meski sudah menduga kemungkinan apa yang dialami oleh Ayahnya dulu adalah rekayasa dan kejahatan seseorang dan kini bukti tersebut semakin jelas. Sangat mengusik hati.Kerasnya hidup Bima membuat ia ingin sekali membalaskan dendam dengan langsung memberi pelajaran pada Denis juga Rama, tapi hatinya berusaha untuk tetap sabar. Apalagi ada Anya di antara ia dan keluarga tersebut, membuat hati dan perasaan Bima melembut dan memperhatikan langkah berikutnya secara matang.“Kamu sudah makan?” tanya Bima dan Anya hanya mengangguk. Dari raut wajah wanita itu menunjukan pertanyaan atau penasaran apa yang Bima alami hari ini sampai terlihat sedih dan sendu.“Bukan masalah berarti, tapi membuat aku rindu mereka, orang tuaku.” Anya kembali merespon dengan mengangguk pelan.Beres dengan makan malamnya, Bima beranjak dari meja makan menuju dapur. Tidak lama kembali dengan gelas berisi coklat hangat.“Untukmu. Katanya minum yang hangat sebelum tidur apalag
Anya sudah berganti piyama dan memilih sofa yang kebetulan cukup besar dan luas untuknya berbaring, tapi kalau Rama yang berbaring di sana tentu saja tidak nyaman karena ukuran tubuh Rama dan Anya berbeda.Menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan sudah memunggungi arah ranjang dimana Rama berada. Ponselnya di silent, karena tadi masih ada pesan masuk dari Bima yang menanyakan file dan dokumen rapat. Sudah pasti hanya alasan.Kadang ia merasa aneh kenapa Bima rese dan terlalu kepo akan hubungannya dengan Rama. Bahkan terang-terangan menunggu perceraian mereka. Apa mungkin Bima serius dengan tanggung jawab yang ia maksud. Mendadak hati Anya menghangat mengingat bagaimana Bima membelanya termasuk gombalan receh ala playboy.Jangan Anya, jangan jatuh cinta apalagi dengan Bima. Hidupmu akan semakin rumit kalau itu terjadi, batin Anya.“Hah, lebih baik tidur,” gumamnya kembali memejamkan mata.Sedangkan di ranjang, Rama memperhatikan Anya yang berbaring di sofa. Ada rasa kasihan dan be
Setelah kepergian Rama dan Selly, Anya masih menyendiri di kamarnya. Bima menunggu di luar tidak jauh, sambil merokok memperhatikan pintu kamar yang masih tertutup. Terlalu ekstrem kalau dia sampai mendatangi kamar Anya. Bisa-bisa wanita itu malah digosipkan macam-macam dan Bima tidak ingin itu terjadi.Lewat maghrib dan tidak lama lagi waktu makan malam, Bima menghubungi Anya. Panggilan pertama tidak dijawab, panggilan kedua akhirnya dijawab meski cukup lama.“Halo.” Suara Anya di ujung sana, lirih dan berat.“Kamu tidur?”“Hm.”Bima menghela nafas lega, ia menduga Anya menangis atau meratapi kesedihan karena bentakan dan teriakan Selly.“Bersiaplah, tidak lama lagi makan malam dan acara penutupan. Lalu--"“Aku tidak ikut,” sahut Anya menyela ucapan Bima.“Kalau tidak ikut, kenapa tidak pulang saja dengan suamimu. Kita harus merayakan kemenangan tim, lagipula aku tidak mau sendirian menghadapi perempuan-perempuan di sana. Mereka terlalu agresif,” keluh Bima. “Cepat, aku tunggu di lua
Menyebalkan. Itu yang Rama rasakan. Entah pada Selly atau situasi. Yang jelas kejadian tadi tidak diharapkan. Rasanya tiada hari tanpa berdebat atau bertengkar dengan Selly. Apapula yang wanita itu ributkan. Ia bersama Anya, sah-sah saja. Jadi, rasa sebal dan kesal yang dirasakan ini sebenarnya karena tabiat Selly yang emosi atau momen bersama Anya terganggu. Entahlah.Makin ke sini, Rama memang senang menggoda Anya. Seakan menjadi kesenangan tersendiri. Sepertinya dia harus setuju dengan Bima kalau Anya itu berlian. Tunggu, kalau berlian terlalu memukau mungkin emas dua puluh empat karat. Tidak kalah bersinar dengan berlian.Ingat Bima, ia jadi teringat lagi masa lalu orangtua mereka. Bima tidak boleh mengambil kembali miliknya, dia harus tetap bodoh dan merasa nyaman dengan apa yang dicapainya sekarang. Namun, tim di mana ada Bima-lah yang memenangkan proyek marketing produk baru mereka. Sepertinya Rama harus memikirkan cara lain untuk melindungi kekayaan dan perusahaannya, karena B
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da