Menyebalkan. Itu yang Rama rasakan. Entah pada Selly atau situasi. Yang jelas kejadian tadi tidak diharapkan. Rasanya tiada hari tanpa berdebat atau bertengkar dengan Selly. Apapula yang wanita itu ributkan. Ia bersama Anya, sah-sah saja. Jadi, rasa sebal dan kesal yang dirasakan ini sebenarnya karena tabiat Selly yang emosi atau momen bersama Anya terganggu. Entahlah.Makin ke sini, Rama memang senang menggoda Anya. Seakan menjadi kesenangan tersendiri. Sepertinya dia harus setuju dengan Bima kalau Anya itu berlian. Tunggu, kalau berlian terlalu memukau mungkin emas dua puluh empat karat. Tidak kalah bersinar dengan berlian.Ingat Bima, ia jadi teringat lagi masa lalu orangtua mereka. Bima tidak boleh mengambil kembali miliknya, dia harus tetap bodoh dan merasa nyaman dengan apa yang dicapainya sekarang. Namun, tim di mana ada Bima-lah yang memenangkan proyek marketing produk baru mereka. Sepertinya Rama harus memikirkan cara lain untuk melindungi kekayaan dan perusahaannya, karena B
Rama rasanya ingin sekali menghajar orang, terutama Bima. Setelah drama perdebatannya dengan Selly semalam dan sampai tadi pagi wanita itu masih saja dengan aksi tutup mulut mengabaikannya. Malas untuk membujuk wanita yang sedang merajuk dan Rama menilai Selly mudah dibujuk jika diiming-imingi dengan uang. Definisi materialistis.Melihat wajah Bima semakin membuat emosinya kian bertambah, apalagi Anya terlihat nyaman dan wajahnya meski tidak sepenuhnya tersenyum terlihat semburat merona. Apa yang dikatakan Bima sampai membuat Anya bersikap tidak biasa.Rasanya Rama ingin langsung mengajak Bima berduel. Bukan duel fisik, karena dari postur tubuh jelas ia kalah jauh. Kepintaran atau strategi berbisnis misalnya dan Rama yakin ia lebih baik dibandingkan Bima.“Mas, lepas. Ini sakit,” ucap Anya dan Rama tersadar lalu melepaskan cengkraman tangannya.“Masuk!” titah Rama karena mereka masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah terbuka setelah bibi membawakan koper. Kamar Bima hanya berjar
“Mau kemana?” tanya Bima.Mencekal tangan Anya bahkan tubuh wanita itu menempel dengan tubuhnya. Sungguh sikap kekanak-kanakan, tapi Bima ingin Anya tahu kalau ia serius peduli dan menunjukkan perasaannya.“Makan atau entahlah, aku pun malas pergi. Lepaskan tanganku, jangan sampai ada yang lihat. Aku tidak ingin Mas Rama berpikir kita ada hubungan apalagi dikira selingkuh.”Bima pun melepaskan tangan Anya.“Bukannya malam itu kita memang … selingkuh,” lirih Bima.“Terpaksa karena aku tidak sadar. Lagi pula aku pikir melakukan dengan Mas Rama.”Bima tergelak. “Nyatanya kamu melakukan denganku dan baru pertama kalinya.”Anya enggan membahas lagi kejadian malam itu. Segera pergi dari rumah itu adalah yang terbaik. Kedua pria ini semakin membuatnya serba salah.“Hei, jangan minum alkohol. Mana tahu benihku mulai tumbuh.”Melangkah cepat meninggalkan Bima sambil menggelengkan kepala karena tidak ingin mendengar ocehan pria itu.“Lama sekali,” keluh Rama yang sudah menunggu di beranda.Anya
“Hei, sayang, kita belum selesai.”Anya mengurungkan niat menuju dapur. Lebih baik langsung ke kamar, khawatir Bima semakin nekat.“Dia sangat meresahkan,” ucap Anya sudah berada di kamar dan menutup pintu bahkan langsung menguncinya.“Siapa?”DegPelan-pelan Anya berbalik, seperti bocah yang ketahuan mencuri. Tidak menyangka, apa yang baru saja dia gumamkan ternyata didengar oleh Rama yang baru keluar dari walk in closet menuju ranjang.“Apanya?” tanya Anya pura-pura bodoh.“Kamu bilang meresahkan.”“Oh, aku mau lanjut nonton drama. Menunggu kelanjutannya sangat meresahkan.” Berharap alasannya tadi cukup masuk akal. Sepertinya iya, karena Rama tidak lagi bertanya. Setelah melepas sepatu dan meletakan tas di meja rias, Anya menuju toilet.Ia menduga Rama sudah terlelap saat ia selesai dengan urusan menjelang tidur. Sempat bersih-bersih, berganti piyama bahkan mengoleskan serum di wajah. Nyatanya Rama masih sangat sadar.“Kenapa?” tanya Rama saat Anya menatapnya sambil bersedekap.“Ma
Minggu pagi, waktunya bermalasan. Bima malah sudah rapi dengan gaya casualnya. Sudah ada janji dengan Umar -- orang kepercayaannya. Kediaman Denis, tampak sepi. Tuan rumah sedang keluar kota, hanya ada Anya dan Rama juga pekerja di rumah.Sempat menatap pintu kamar Anya dan Rama, masih tertutup rapat.“Apa semalam mereka kerja keras, jam segini belum bangun,” gurutu Bima lalu menuju lantai bawah.Ingin sekedar mengambil air di lemari es, tapi langkahnya semakin tergesa mendengar suara yang begitu dia kenal. Suara Anya di dapur, bersahutan dengan suara para asisten rumah tangga. “Kurang apa Bik?”“Enak Mbak. Mbak Anya berbakat jadi chef nih.”“Yah, pekerjaan saya terancam nih.”“Apa sih bik, cuma tom yam doang. Semua juga bisa kali,” sahut Anya.“Selamat pagi, para wanita cantik,” sapa Bima sudah memasuki area dapur.“Eh, MAs Bima. Mau kemana sih udah ganteng aja?”“Pengennya kencan bik, tapi yang diajak kencan pasti nolak. Hm, wangi sekali. Masak apa sih?”“Nah, cobain dulu dong. Ini
Tidak ingin terlihat gugup dan memperlihatkan rasa bersalah. Selly menghampiri Rama dengan tatapan pongah. “Masih peduli denganku, bukannya kamu sudah asyik dengan Anya.”“Jangan mengalihkan masalah, aku tanya dari mana kamu?”Selly khawatir dia salah menjawab, mungkin saja Rama bertanya karena sudah tahu apa yang ia lakukan. Tidak heran karena kebiasaan keluarga Hardana untuk menyewa mata-mata.“Jangan kekanakan dengan mengabaikan panggilan dariku.” Rama menatap penampilannya dari kepala sampai kaki. “Kamu terlihat, ck.”“Tidak suka lihat aku begini?" tanya Selly. "Semalam aku ke tempat biasa, minum dan haha hihi dengan temanku. Daripada di rumah dan terus memikirkan apa yang sedang kamu lakukan dengan Anya.”Selly meninggalkan Rama menuju kamarnya, tidak ingin pria itu menyadari atau mengendus sesuatu. Jejak percintaan semalam harus segera dibersihkan.“Selly.”“Aku mau mandi, sebaiknya kamu pesan makanan. Rasanya sangat lapar sampai ingin makan orang!” teriak Selly dari kamar.Rama
“Bro, lihat ….” Bima tidak jadi bertanya karena yang ingin ditanyakan ternyata ada di pantry. Tidak menemukan Anya di kubikel bahkan tidak melihatnya di kantin. Ternyata sedang makan siang di pantry, sendirian.“Saya tinggal dulu mas, nggak enak mbak Anya lagi makan," ucap office boy penghuni tetap pantry.“Hm,” sahut Bima pandanganya tertuju pada apa yang dinikmati oleh Anya. Salad buah dan rujak. Ia merasa menu yang dikonsumsi Anya akhir-akhir ini agak aneh.“Kamu sedang diet?”Anya hanya menggeleng pelan karena mulutnya sibuk mengunyah potongan buah sambil sesekali mendesis karena rasa pedas dari bumbu rujak. Bahkan air mineral botol di depan Anya sudah habis lebih dari setengah. Jelas makanan itu sangat pedas.“Pencernaanmu sepertinya ada masalah.”“Nope, ini makanan sehat. Tanpa pengawet dan penyedap rasa,” sahut Anya.Bima bahkan meringis saat Anya menggigit potongan mangga yang ia yakini belum terlalu matang dan rasanya sudah pasti asam.Apa mungkin Anya … mengidam, batin Bima.
Tumben sepi, batin Anya sempat melirik ke arah Bima yang fokus dengan layar di depannya. Sejak pria itu datang hanya menyapa sambil tersenyum lalu tidak ada pergerakan dan rayuan gombaln yang biasa dilakukan.Bahkan staf perempuan yang biasa datang untuk caper pun tidak berani dekat terlalu lama karena sikap dingin dan aura yang tercipta.Baru jam sepuluh pagi, tapi Anya sudah berkali-kali menguap dan Bima sepertinya terganggu.“Mau aku buatkan kopi?” Anya yang sudah menyandarkan kepalanya ke atas meja menjawab dengan gelengan pelan. Memejamkan mata dengan kepala menatap ke arah Bima.“Aku merem sebentar, kalau kelamaan bangunin ya.”“Hm.” Bima bukannya melanjutkan apa yang dikerjakan malah bersedekap menatap Anya.Sejak terbangun jam empat pagi karena telpon dari Umar, pikirannya mendadak penuh. Kematian oscar, mengingat pula bagaimana orang tuanya meninggalkan dia sendirian juga orang dibelakang kejadian itu dan sekarang dia harus menjaga yang satu ini. Anya. Bisa jadi kalau Anya ti
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.