Bima menyantap makan malamnya dalam diam, meski sudah menduga kemungkinan apa yang dialami oleh Ayahnya dulu adalah rekayasa dan kejahatan seseorang dan kini bukti tersebut semakin jelas. Sangat mengusik hati.Kerasnya hidup Bima membuat ia ingin sekali membalaskan dendam dengan langsung memberi pelajaran pada Denis juga Rama, tapi hatinya berusaha untuk tetap sabar. Apalagi ada Anya di antara ia dan keluarga tersebut, membuat hati dan perasaan Bima melembut dan memperhatikan langkah berikutnya secara matang.“Kamu sudah makan?” tanya Bima dan Anya hanya mengangguk. Dari raut wajah wanita itu menunjukan pertanyaan atau penasaran apa yang Bima alami hari ini sampai terlihat sedih dan sendu.“Bukan masalah berarti, tapi membuat aku rindu mereka, orang tuaku.” Anya kembali merespon dengan mengangguk pelan.Beres dengan makan malamnya, Bima beranjak dari meja makan menuju dapur. Tidak lama kembali dengan gelas berisi coklat hangat.“Untukmu. Katanya minum yang hangat sebelum tidur apalag
Anya sudah berganti piyama dan memilih sofa yang kebetulan cukup besar dan luas untuknya berbaring, tapi kalau Rama yang berbaring di sana tentu saja tidak nyaman karena ukuran tubuh Rama dan Anya berbeda.Menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut dan sudah memunggungi arah ranjang dimana Rama berada. Ponselnya di silent, karena tadi masih ada pesan masuk dari Bima yang menanyakan file dan dokumen rapat. Sudah pasti hanya alasan.Kadang ia merasa aneh kenapa Bima rese dan terlalu kepo akan hubungannya dengan Rama. Bahkan terang-terangan menunggu perceraian mereka. Apa mungkin Bima serius dengan tanggung jawab yang ia maksud. Mendadak hati Anya menghangat mengingat bagaimana Bima membelanya termasuk gombalan receh ala playboy.Jangan Anya, jangan jatuh cinta apalagi dengan Bima. Hidupmu akan semakin rumit kalau itu terjadi, batin Anya.“Hah, lebih baik tidur,” gumamnya kembali memejamkan mata.Sedangkan di ranjang, Rama memperhatikan Anya yang berbaring di sofa. Ada rasa kasihan dan be
Setelah kepergian Rama dan Selly, Anya masih menyendiri di kamarnya. Bima menunggu di luar tidak jauh, sambil merokok memperhatikan pintu kamar yang masih tertutup. Terlalu ekstrem kalau dia sampai mendatangi kamar Anya. Bisa-bisa wanita itu malah digosipkan macam-macam dan Bima tidak ingin itu terjadi.Lewat maghrib dan tidak lama lagi waktu makan malam, Bima menghubungi Anya. Panggilan pertama tidak dijawab, panggilan kedua akhirnya dijawab meski cukup lama.“Halo.” Suara Anya di ujung sana, lirih dan berat.“Kamu tidur?”“Hm.”Bima menghela nafas lega, ia menduga Anya menangis atau meratapi kesedihan karena bentakan dan teriakan Selly.“Bersiaplah, tidak lama lagi makan malam dan acara penutupan. Lalu--"“Aku tidak ikut,” sahut Anya menyela ucapan Bima.“Kalau tidak ikut, kenapa tidak pulang saja dengan suamimu. Kita harus merayakan kemenangan tim, lagipula aku tidak mau sendirian menghadapi perempuan-perempuan di sana. Mereka terlalu agresif,” keluh Bima. “Cepat, aku tunggu di lua
Menyebalkan. Itu yang Rama rasakan. Entah pada Selly atau situasi. Yang jelas kejadian tadi tidak diharapkan. Rasanya tiada hari tanpa berdebat atau bertengkar dengan Selly. Apapula yang wanita itu ributkan. Ia bersama Anya, sah-sah saja. Jadi, rasa sebal dan kesal yang dirasakan ini sebenarnya karena tabiat Selly yang emosi atau momen bersama Anya terganggu. Entahlah.Makin ke sini, Rama memang senang menggoda Anya. Seakan menjadi kesenangan tersendiri. Sepertinya dia harus setuju dengan Bima kalau Anya itu berlian. Tunggu, kalau berlian terlalu memukau mungkin emas dua puluh empat karat. Tidak kalah bersinar dengan berlian.Ingat Bima, ia jadi teringat lagi masa lalu orangtua mereka. Bima tidak boleh mengambil kembali miliknya, dia harus tetap bodoh dan merasa nyaman dengan apa yang dicapainya sekarang. Namun, tim di mana ada Bima-lah yang memenangkan proyek marketing produk baru mereka. Sepertinya Rama harus memikirkan cara lain untuk melindungi kekayaan dan perusahaannya, karena B
Rama rasanya ingin sekali menghajar orang, terutama Bima. Setelah drama perdebatannya dengan Selly semalam dan sampai tadi pagi wanita itu masih saja dengan aksi tutup mulut mengabaikannya. Malas untuk membujuk wanita yang sedang merajuk dan Rama menilai Selly mudah dibujuk jika diiming-imingi dengan uang. Definisi materialistis.Melihat wajah Bima semakin membuat emosinya kian bertambah, apalagi Anya terlihat nyaman dan wajahnya meski tidak sepenuhnya tersenyum terlihat semburat merona. Apa yang dikatakan Bima sampai membuat Anya bersikap tidak biasa.Rasanya Rama ingin langsung mengajak Bima berduel. Bukan duel fisik, karena dari postur tubuh jelas ia kalah jauh. Kepintaran atau strategi berbisnis misalnya dan Rama yakin ia lebih baik dibandingkan Bima.“Mas, lepas. Ini sakit,” ucap Anya dan Rama tersadar lalu melepaskan cengkraman tangannya.“Masuk!” titah Rama karena mereka masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah terbuka setelah bibi membawakan koper. Kamar Bima hanya berjar
“Mau kemana?” tanya Bima.Mencekal tangan Anya bahkan tubuh wanita itu menempel dengan tubuhnya. Sungguh sikap kekanak-kanakan, tapi Bima ingin Anya tahu kalau ia serius peduli dan menunjukkan perasaannya.“Makan atau entahlah, aku pun malas pergi. Lepaskan tanganku, jangan sampai ada yang lihat. Aku tidak ingin Mas Rama berpikir kita ada hubungan apalagi dikira selingkuh.”Bima pun melepaskan tangan Anya.“Bukannya malam itu kita memang … selingkuh,” lirih Bima.“Terpaksa karena aku tidak sadar. Lagi pula aku pikir melakukan dengan Mas Rama.”Bima tergelak. “Nyatanya kamu melakukan denganku dan baru pertama kalinya.”Anya enggan membahas lagi kejadian malam itu. Segera pergi dari rumah itu adalah yang terbaik. Kedua pria ini semakin membuatnya serba salah.“Hei, jangan minum alkohol. Mana tahu benihku mulai tumbuh.”Melangkah cepat meninggalkan Bima sambil menggelengkan kepala karena tidak ingin mendengar ocehan pria itu.“Lama sekali,” keluh Rama yang sudah menunggu di beranda.Anya
“Hei, sayang, kita belum selesai.”Anya mengurungkan niat menuju dapur. Lebih baik langsung ke kamar, khawatir Bima semakin nekat.“Dia sangat meresahkan,” ucap Anya sudah berada di kamar dan menutup pintu bahkan langsung menguncinya.“Siapa?”DegPelan-pelan Anya berbalik, seperti bocah yang ketahuan mencuri. Tidak menyangka, apa yang baru saja dia gumamkan ternyata didengar oleh Rama yang baru keluar dari walk in closet menuju ranjang.“Apanya?” tanya Anya pura-pura bodoh.“Kamu bilang meresahkan.”“Oh, aku mau lanjut nonton drama. Menunggu kelanjutannya sangat meresahkan.” Berharap alasannya tadi cukup masuk akal. Sepertinya iya, karena Rama tidak lagi bertanya. Setelah melepas sepatu dan meletakan tas di meja rias, Anya menuju toilet.Ia menduga Rama sudah terlelap saat ia selesai dengan urusan menjelang tidur. Sempat bersih-bersih, berganti piyama bahkan mengoleskan serum di wajah. Nyatanya Rama masih sangat sadar.“Kenapa?” tanya Rama saat Anya menatapnya sambil bersedekap.“Ma
Minggu pagi, waktunya bermalasan. Bima malah sudah rapi dengan gaya casualnya. Sudah ada janji dengan Umar -- orang kepercayaannya. Kediaman Denis, tampak sepi. Tuan rumah sedang keluar kota, hanya ada Anya dan Rama juga pekerja di rumah.Sempat menatap pintu kamar Anya dan Rama, masih tertutup rapat.“Apa semalam mereka kerja keras, jam segini belum bangun,” gurutu Bima lalu menuju lantai bawah.Ingin sekedar mengambil air di lemari es, tapi langkahnya semakin tergesa mendengar suara yang begitu dia kenal. Suara Anya di dapur, bersahutan dengan suara para asisten rumah tangga. “Kurang apa Bik?”“Enak Mbak. Mbak Anya berbakat jadi chef nih.”“Yah, pekerjaan saya terancam nih.”“Apa sih bik, cuma tom yam doang. Semua juga bisa kali,” sahut Anya.“Selamat pagi, para wanita cantik,” sapa Bima sudah memasuki area dapur.“Eh, MAs Bima. Mau kemana sih udah ganteng aja?”“Pengennya kencan bik, tapi yang diajak kencan pasti nolak. Hm, wangi sekali. Masak apa sih?”“Nah, cobain dulu dong. Ini
Semalaman tidak tidur dengan pikiran yang entah membuat penampilan Rama berantakan, terlihat sangat lelah. Selly yang tadi keluar membeli sarapan sudah kembali dengan membawa tiga porsi bubur ayam. Menawarkan pada Rama dan Bima.Rama hanya berdehem, sedangkan Bima sedang menemani Anya sarapan. Sesekali pria itu mengeluarkan rayuan dan candaannya. Mendengar hal itu Rama hanya berdecak, bukan karena cemburu melainkan kesal ia tidak bisa melakukan hal itu pada perempuan lain. Saat ini statusnya mungkin masih seorang suami, tapi kesepian.Menoleh ke samping, Selly sedang menikmati sarapannya sambil fokus pada ponsel. Sesekali ia tersenyum, mungkin saja berbalas pesan dengan Mas Sena. Siapa pria itu semakin membuat Rama penasaran.“Makan dulu, terus mandi atau cuci muka. Penampilan kamu udah kayak orang sakit,” ujar Selly, tapi pandangannya tetap pada ponsel.Rama mengambil porsi miliknya.“Pacaran mulu,” ejeknya lirih, nyatanya didengar oleh Selly yang langsung melirik ke arahnya.“Siapa
Anya cemberut sedangkan Bima terkekeh, sejak tadi berhasil menggoda dan mengeluarkan rayuan gombal.“Gombal, nggak mempan di aku,” seru Anya masih dengan wajah cemberut.“Bagus deh kalau nggak mempan, karena aku nggak pandai ngegombal,” sahut Bima.Anya melirik jam dinding, sudah cukup lama tidak melihat Selly. Bima mengatakan sedang pergi keluar, tapi kemana.“Ada apa?” tanya Bima melihat wajah Anya mendadak resah.“Selly kemana? Apa pulang ya.”“Keluar, terus si Rama nyusul. Biarin aja, mana tahu lagi pedekate lagi mau CLBK,” ejek Bima lalu tergelak.“Ih, ngaco. Bisa aja Selly udah ada pacar atau calon suami, kenapa malah dijodohkan sama Mas Rama lagi.”“Emang Selly bilang sudah ada gantinya Rama?” Anya hanya bisa menjawab dengan gelengan. Semenjak bertemu, Selly tidak pernah menceritakan masalah pribadinya.Sedang dibicarakan, orangnya malah muncul. Selly datang bersama Rama dan langsung menjadi bahan candaan oleh Bima sampai Anya harus menegurnya.“Biarin aja, biar dia senang keta
“Jangan negatif dulu, apa yang terjadi tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Bima dan Selly hanya menggeleng.“Aku tidak mengerti dan tidak tahu, itu urusan kalian.”“Nah, bagus. Memang seharusnya begitu, jangan mengusik kehidupan orang lain.” Bima bicara pada Selly, tapi pandangannya tetap tertuju pada Rama dan Anya. “Bicarakan apa dia, kenapa berbisik begitu,” keluhnya membuat Selly ikut menatap ke arah Rama.Akhirnya Bima dan Selly malah memperhatikan dua orang lainnya yang berada di kamar itu. Rama beranjak dari duduknya karena ponselnya bergetar, ternyata panggilan dari kantor. Sebenarnya hari ini ada jadwal rapat dan dia menjanjikan akan melakukan teleconference.Di sofa, Rama sibuk rapat online dan Bima fokus pada tablet. Anya tetap berbaring dan Selly keluar mencari angin. Satu ruangan dengan Rama membuat dadanya sesak, entah penyesalan atau memang masih ada perasaan pada pria itu.Duduk di kursi taman tidak jauh dari kamar perawatan Anya, Selly menatap orang yang lalu lala
“Tunggu di sini, aku harus tanya dulu apa Anya mau bertemu denganmu atau tidak.” Selly melarang Rama ikut masuk ke dalam kamar rawat inap. “Jangan mengintip, duduk saja disitu!” titah Selly karena Rama akan melongokan kepalanya saat pintu dibuka.“Iya,” sahut Rama kemudian duduk. Entah mengapa dia begitu patuh pada Selly. Padahal bisa saja ia memaksa masuk.Selly merapatkan pintu, menuju lemari cabinet di samping ranjang menyimpan kain dan pakaian ganti untuk Anya. Bima masih setia duduk di samping ranjang, sedangkan Anya terlihat memejamkan matanya.“Dia tidur?” tanya Selly.“Hm. Tadi dokter visit lalu disuntik obat, tidak lama dia bilang ngantuk.” Bima bicara lirih agar tidak mengganggu Anya yang sedang terlelap.“Pak Bima, kemari!” Selly menunjuk sofa untuk mengajak pria itu bicara. Tentu saja membicarakan kedatangan Rama. Selly menduga Bima akan terkejut atau panik mendengar Rama datang, nyatanya tidak terduga.“Sudah datang dia, aku pikir tidak akan sampai sini.”“Loh, kalian mem
“Anya, mana yang sakit?” tanya Bima panik.Selly langsung menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Tidak ingin ulahnya diketahui pihak rumah sakit dan menjadi masalah. Bima gegas membuka nametag palsu juga jubah dokternya dan dihempaskan ke atas sofa.“Sakit,” keluh Anya sambil meringis.Bima terus menanyakan mana yang sakit sambil mengusap perut Anya.“Ya perutnya yang sakit, memang pak Bima pikir apa yang sakit?”“Ish, mana dokternya,” keluh Bima berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan masuklah dokter dengan seorang perawat.“Sakit dok, katanya sakit,” ujar Bima lalu bergeser membiarkan dokter memeriksa Anya.“Sus, cek pendarahannya.” Perawat meminta Bima dan Selly menjauh lalu menarik tirai dan melakukan pemeriksaan.“Kenapa kita tidak boleh lihat,” gumam Bima.“Ck. Sudah deh, tunggu aja apa kata dokter.”Bima menoleh dan menatap Selly lalu mengernyitkan dahinya. “Kamu siapa sih? Kayaknya nggak asing.”“Bukan siapa-siapa, bagus kalau bapak nggak kenal saya.”Dokter menyara
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar