“Mau kemana?” tanya Bima.Mencekal tangan Anya bahkan tubuh wanita itu menempel dengan tubuhnya. Sungguh sikap kekanak-kanakan, tapi Bima ingin Anya tahu kalau ia serius peduli dan menunjukkan perasaannya.“Makan atau entahlah, aku pun malas pergi. Lepaskan tanganku, jangan sampai ada yang lihat. Aku tidak ingin Mas Rama berpikir kita ada hubungan apalagi dikira selingkuh.”Bima pun melepaskan tangan Anya.“Bukannya malam itu kita memang … selingkuh,” lirih Bima.“Terpaksa karena aku tidak sadar. Lagi pula aku pikir melakukan dengan Mas Rama.”Bima tergelak. “Nyatanya kamu melakukan denganku dan baru pertama kalinya.”Anya enggan membahas lagi kejadian malam itu. Segera pergi dari rumah itu adalah yang terbaik. Kedua pria ini semakin membuatnya serba salah.“Hei, jangan minum alkohol. Mana tahu benihku mulai tumbuh.”Melangkah cepat meninggalkan Bima sambil menggelengkan kepala karena tidak ingin mendengar ocehan pria itu.“Lama sekali,” keluh Rama yang sudah menunggu di beranda.Anya
“Hei, sayang, kita belum selesai.”Anya mengurungkan niat menuju dapur. Lebih baik langsung ke kamar, khawatir Bima semakin nekat.“Dia sangat meresahkan,” ucap Anya sudah berada di kamar dan menutup pintu bahkan langsung menguncinya.“Siapa?”DegPelan-pelan Anya berbalik, seperti bocah yang ketahuan mencuri. Tidak menyangka, apa yang baru saja dia gumamkan ternyata didengar oleh Rama yang baru keluar dari walk in closet menuju ranjang.“Apanya?” tanya Anya pura-pura bodoh.“Kamu bilang meresahkan.”“Oh, aku mau lanjut nonton drama. Menunggu kelanjutannya sangat meresahkan.” Berharap alasannya tadi cukup masuk akal. Sepertinya iya, karena Rama tidak lagi bertanya. Setelah melepas sepatu dan meletakan tas di meja rias, Anya menuju toilet.Ia menduga Rama sudah terlelap saat ia selesai dengan urusan menjelang tidur. Sempat bersih-bersih, berganti piyama bahkan mengoleskan serum di wajah. Nyatanya Rama masih sangat sadar.“Kenapa?” tanya Rama saat Anya menatapnya sambil bersedekap.“Ma
Minggu pagi, waktunya bermalasan. Bima malah sudah rapi dengan gaya casualnya. Sudah ada janji dengan Umar -- orang kepercayaannya. Kediaman Denis, tampak sepi. Tuan rumah sedang keluar kota, hanya ada Anya dan Rama juga pekerja di rumah.Sempat menatap pintu kamar Anya dan Rama, masih tertutup rapat.“Apa semalam mereka kerja keras, jam segini belum bangun,” gurutu Bima lalu menuju lantai bawah.Ingin sekedar mengambil air di lemari es, tapi langkahnya semakin tergesa mendengar suara yang begitu dia kenal. Suara Anya di dapur, bersahutan dengan suara para asisten rumah tangga. “Kurang apa Bik?”“Enak Mbak. Mbak Anya berbakat jadi chef nih.”“Yah, pekerjaan saya terancam nih.”“Apa sih bik, cuma tom yam doang. Semua juga bisa kali,” sahut Anya.“Selamat pagi, para wanita cantik,” sapa Bima sudah memasuki area dapur.“Eh, MAs Bima. Mau kemana sih udah ganteng aja?”“Pengennya kencan bik, tapi yang diajak kencan pasti nolak. Hm, wangi sekali. Masak apa sih?”“Nah, cobain dulu dong. Ini
Tidak ingin terlihat gugup dan memperlihatkan rasa bersalah. Selly menghampiri Rama dengan tatapan pongah. “Masih peduli denganku, bukannya kamu sudah asyik dengan Anya.”“Jangan mengalihkan masalah, aku tanya dari mana kamu?”Selly khawatir dia salah menjawab, mungkin saja Rama bertanya karena sudah tahu apa yang ia lakukan. Tidak heran karena kebiasaan keluarga Hardana untuk menyewa mata-mata.“Jangan kekanakan dengan mengabaikan panggilan dariku.” Rama menatap penampilannya dari kepala sampai kaki. “Kamu terlihat, ck.”“Tidak suka lihat aku begini?" tanya Selly. "Semalam aku ke tempat biasa, minum dan haha hihi dengan temanku. Daripada di rumah dan terus memikirkan apa yang sedang kamu lakukan dengan Anya.”Selly meninggalkan Rama menuju kamarnya, tidak ingin pria itu menyadari atau mengendus sesuatu. Jejak percintaan semalam harus segera dibersihkan.“Selly.”“Aku mau mandi, sebaiknya kamu pesan makanan. Rasanya sangat lapar sampai ingin makan orang!” teriak Selly dari kamar.Rama
“Bro, lihat ….” Bima tidak jadi bertanya karena yang ingin ditanyakan ternyata ada di pantry. Tidak menemukan Anya di kubikel bahkan tidak melihatnya di kantin. Ternyata sedang makan siang di pantry, sendirian.“Saya tinggal dulu mas, nggak enak mbak Anya lagi makan," ucap office boy penghuni tetap pantry.“Hm,” sahut Bima pandanganya tertuju pada apa yang dinikmati oleh Anya. Salad buah dan rujak. Ia merasa menu yang dikonsumsi Anya akhir-akhir ini agak aneh.“Kamu sedang diet?”Anya hanya menggeleng pelan karena mulutnya sibuk mengunyah potongan buah sambil sesekali mendesis karena rasa pedas dari bumbu rujak. Bahkan air mineral botol di depan Anya sudah habis lebih dari setengah. Jelas makanan itu sangat pedas.“Pencernaanmu sepertinya ada masalah.”“Nope, ini makanan sehat. Tanpa pengawet dan penyedap rasa,” sahut Anya.Bima bahkan meringis saat Anya menggigit potongan mangga yang ia yakini belum terlalu matang dan rasanya sudah pasti asam.Apa mungkin Anya … mengidam, batin Bima.
Tumben sepi, batin Anya sempat melirik ke arah Bima yang fokus dengan layar di depannya. Sejak pria itu datang hanya menyapa sambil tersenyum lalu tidak ada pergerakan dan rayuan gombaln yang biasa dilakukan.Bahkan staf perempuan yang biasa datang untuk caper pun tidak berani dekat terlalu lama karena sikap dingin dan aura yang tercipta.Baru jam sepuluh pagi, tapi Anya sudah berkali-kali menguap dan Bima sepertinya terganggu.“Mau aku buatkan kopi?” Anya yang sudah menyandarkan kepalanya ke atas meja menjawab dengan gelengan pelan. Memejamkan mata dengan kepala menatap ke arah Bima.“Aku merem sebentar, kalau kelamaan bangunin ya.”“Hm.” Bima bukannya melanjutkan apa yang dikerjakan malah bersedekap menatap Anya.Sejak terbangun jam empat pagi karena telpon dari Umar, pikirannya mendadak penuh. Kematian oscar, mengingat pula bagaimana orang tuanya meninggalkan dia sendirian juga orang dibelakang kejadian itu dan sekarang dia harus menjaga yang satu ini. Anya. Bisa jadi kalau Anya ti
Beberapa hari ini Anya merasa tubuhnya semakin tidak baik. kantuk yang sering datang di jam produktif, pusing dan mulut yang terasa pahit membuat selera makannya hilang. Bukan hanya Bima yang mengatakan dia seperti orang sakit, bibi dan beberapa rekan satu tim pun mengatakan hal yang sama.“Ya ampun kepalaku,” Keluh Anya ketika bangun pagi ini. Memegang kepalanya yang berdenyut bahkan sampai terasa perutnya mual. “Apa masuk angin ya,” gumam Anya lagi.Sejak kemarin Rama dan Papanya berada di luar kota, entah ada schedule apa karena Selly tidak diajak. Dugaan Anya bukan urusan kantor, masalah pribadi atau keluarga dan dia tidak ingin ambil pusing.Dengan setelan blouse dan rok span, lengkap dengan flat shoes dan tas kerjanya. Rambutnya hanya diikat biasa, malas untuk menata bahkan wajahnya hanya dioles bedak dan lipgos untuk bibirnya. Bima berdiri bersandar pada mobil menatap ke arahnya.“Kalau sakit mending istirahat, mau ngapain ke kantor?”“Bim, aku malas berdebat. Kepalaku sakit, k
“Pecat dia kasih pesangan dan tanda tangan surat perjanjian. Jangan sampai jadi masalah di kemudian hari.”“Aku memang ingin melakukan itu, tapi tidak mudah Pah. Karena hubungan aku, SelLy dan Anya sangat rumit,” jelas Rama dan belum bisa dimengerti Denis.Denis bersedekap menunggu penjelasan Rama selanjutnya.“Aku sudah menikahi Selly secara siri.”“Bod0h,” umpat Denis pada putranya. “Apalagi yang kamu rahasiakan?”“Aku berjanji akan menceraikan Anya dan mengesahkan pernikahan dengan Selly.”“Itu sama saja kamu buang berlian dan pungut besi karatan,” ungkap Denis dan Rama menghela nafasnya. Bukan kali ini saja dia mendengar istilah Anya sebagai berlian, Bima pun mengatakan yang sama. “Setelah urusan perayaan kantor beres, kamu urus perempuan sundal itu.”“Tapi Pah, Selly tahu semuanya. Dia akan sebarkan masalah ini kalau ia merasa dirugikan.”“Nah ini, Papa tidak sangka kalau kamu ternyata benar-benar bod0h. Bagaimana bisa bisnis yang sudah lama dirintis ini papa berikan ke kamu, sed
Semalaman tidak tidur dengan pikiran yang entah membuat penampilan Rama berantakan, terlihat sangat lelah. Selly yang tadi keluar membeli sarapan sudah kembali dengan membawa tiga porsi bubur ayam. Menawarkan pada Rama dan Bima.Rama hanya berdehem, sedangkan Bima sedang menemani Anya sarapan. Sesekali pria itu mengeluarkan rayuan dan candaannya. Mendengar hal itu Rama hanya berdecak, bukan karena cemburu melainkan kesal ia tidak bisa melakukan hal itu pada perempuan lain. Saat ini statusnya mungkin masih seorang suami, tapi kesepian.Menoleh ke samping, Selly sedang menikmati sarapannya sambil fokus pada ponsel. Sesekali ia tersenyum, mungkin saja berbalas pesan dengan Mas Sena. Siapa pria itu semakin membuat Rama penasaran.“Makan dulu, terus mandi atau cuci muka. Penampilan kamu udah kayak orang sakit,” ujar Selly, tapi pandangannya tetap pada ponsel.Rama mengambil porsi miliknya.“Pacaran mulu,” ejeknya lirih, nyatanya didengar oleh Selly yang langsung melirik ke arahnya.“Siapa
Anya cemberut sedangkan Bima terkekeh, sejak tadi berhasil menggoda dan mengeluarkan rayuan gombal.“Gombal, nggak mempan di aku,” seru Anya masih dengan wajah cemberut.“Bagus deh kalau nggak mempan, karena aku nggak pandai ngegombal,” sahut Bima.Anya melirik jam dinding, sudah cukup lama tidak melihat Selly. Bima mengatakan sedang pergi keluar, tapi kemana.“Ada apa?” tanya Bima melihat wajah Anya mendadak resah.“Selly kemana? Apa pulang ya.”“Keluar, terus si Rama nyusul. Biarin aja, mana tahu lagi pedekate lagi mau CLBK,” ejek Bima lalu tergelak.“Ih, ngaco. Bisa aja Selly udah ada pacar atau calon suami, kenapa malah dijodohkan sama Mas Rama lagi.”“Emang Selly bilang sudah ada gantinya Rama?” Anya hanya bisa menjawab dengan gelengan. Semenjak bertemu, Selly tidak pernah menceritakan masalah pribadinya.Sedang dibicarakan, orangnya malah muncul. Selly datang bersama Rama dan langsung menjadi bahan candaan oleh Bima sampai Anya harus menegurnya.“Biarin aja, biar dia senang keta
“Jangan negatif dulu, apa yang terjadi tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Bima dan Selly hanya menggeleng.“Aku tidak mengerti dan tidak tahu, itu urusan kalian.”“Nah, bagus. Memang seharusnya begitu, jangan mengusik kehidupan orang lain.” Bima bicara pada Selly, tapi pandangannya tetap tertuju pada Rama dan Anya. “Bicarakan apa dia, kenapa berbisik begitu,” keluhnya membuat Selly ikut menatap ke arah Rama.Akhirnya Bima dan Selly malah memperhatikan dua orang lainnya yang berada di kamar itu. Rama beranjak dari duduknya karena ponselnya bergetar, ternyata panggilan dari kantor. Sebenarnya hari ini ada jadwal rapat dan dia menjanjikan akan melakukan teleconference.Di sofa, Rama sibuk rapat online dan Bima fokus pada tablet. Anya tetap berbaring dan Selly keluar mencari angin. Satu ruangan dengan Rama membuat dadanya sesak, entah penyesalan atau memang masih ada perasaan pada pria itu.Duduk di kursi taman tidak jauh dari kamar perawatan Anya, Selly menatap orang yang lalu lala
“Tunggu di sini, aku harus tanya dulu apa Anya mau bertemu denganmu atau tidak.” Selly melarang Rama ikut masuk ke dalam kamar rawat inap. “Jangan mengintip, duduk saja disitu!” titah Selly karena Rama akan melongokan kepalanya saat pintu dibuka.“Iya,” sahut Rama kemudian duduk. Entah mengapa dia begitu patuh pada Selly. Padahal bisa saja ia memaksa masuk.Selly merapatkan pintu, menuju lemari cabinet di samping ranjang menyimpan kain dan pakaian ganti untuk Anya. Bima masih setia duduk di samping ranjang, sedangkan Anya terlihat memejamkan matanya.“Dia tidur?” tanya Selly.“Hm. Tadi dokter visit lalu disuntik obat, tidak lama dia bilang ngantuk.” Bima bicara lirih agar tidak mengganggu Anya yang sedang terlelap.“Pak Bima, kemari!” Selly menunjuk sofa untuk mengajak pria itu bicara. Tentu saja membicarakan kedatangan Rama. Selly menduga Bima akan terkejut atau panik mendengar Rama datang, nyatanya tidak terduga.“Sudah datang dia, aku pikir tidak akan sampai sini.”“Loh, kalian mem
“Anya, mana yang sakit?” tanya Bima panik.Selly langsung menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Tidak ingin ulahnya diketahui pihak rumah sakit dan menjadi masalah. Bima gegas membuka nametag palsu juga jubah dokternya dan dihempaskan ke atas sofa.“Sakit,” keluh Anya sambil meringis.Bima terus menanyakan mana yang sakit sambil mengusap perut Anya.“Ya perutnya yang sakit, memang pak Bima pikir apa yang sakit?”“Ish, mana dokternya,” keluh Bima berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan masuklah dokter dengan seorang perawat.“Sakit dok, katanya sakit,” ujar Bima lalu bergeser membiarkan dokter memeriksa Anya.“Sus, cek pendarahannya.” Perawat meminta Bima dan Selly menjauh lalu menarik tirai dan melakukan pemeriksaan.“Kenapa kita tidak boleh lihat,” gumam Bima.“Ck. Sudah deh, tunggu aja apa kata dokter.”Bima menoleh dan menatap Selly lalu mengernyitkan dahinya. “Kamu siapa sih? Kayaknya nggak asing.”“Bukan siapa-siapa, bagus kalau bapak nggak kenal saya.”Dokter menyara
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar