Rasanya tubuh Anya seperti terhempas ke dasar bumi paling dalam saat melihat ketiga tespek menunjukan dua garis, meski salah satu stik terlihat samar. Jika dilihat dari petunjuk kemasan, jelas menandakan kalau hasil tersebut adalah positif.“Ini … aku hamil,” ucap Anya lirih.Kejadian malam itu ternyata meninggalkan jejak, ia mengandung. Mengandung anak pria yang bukan suaminya. Mengingat kejadian itu, Anya merasa sangat hina dan sekarang ia hamil rasanya seperti perempuan nakal.“Ya Tuhan, ini gimana,” gumam Anya terduduk di atas kloset dengan ketiga tespek di tangannya.Terdengar ketukan pintu.“Anya,” panggil Bima.Sudah cukup lama ia berada di sana hanya untuk sekedar mengambil urine dan mengeceknya. Bahkan ketukan pintu terdengar semakin keras.“Anya, buka pintunya,” teriak Bima. “Atau aku dobrak, aku serius Anya.”Ini masalah dan ia tidak ingin menambah masalah dengan mencari ribut atau berdebat dengan Bima. tespek dan kemasannya ia buang ke tempat sampah lalu mencuci tangan seb
“Aku ingin kita perbaiki hubungan ini.” Posisi mereka bicara masih sambil berdiri dan Rama melangkah mendekat untuk mengikis jarak, tiba-tiba tangan Anya menahannya.“Kita sudah bicarakan ini. Semua sudah terlambat, Mas. Aku tidak bisa dan aku menuntut janjimu. Izin menikah lagi harus kamu bayar dengan menceraikan aku,” tutur Anya dan memang itu yang Rama katakan pada Anya saat ia akan menikahi Selly.“Aku berubah pikiran, kita perbaiki hubungan ini. Hubunganku dengan Selly tidak berhasil.”Anya tertawa sinis dan mundur beberapa langkah.“Karena hubunganmu dengan Selly gagal lalu ingin mencoba denganku. Kalau kalian baik-baik saja maka aku akan dibuang, begitu maksudnya?”“Anya--"“Kamu pikir aku apa? Cadangan?” cecar Anya mulai kesal, seenaknya saja pria itu menawarkan apa yang sesuai dengan keinginan dan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain.“Keluarga kita tidak mungkin membiarkan perceraian ini.” “Tapi kita tidak mungkin terus menerus begini. Mas akan mudah mendapatk
“Membayangkannya saja aku tidak bisa,” ujar Bima sambil meremas rambutnya karena kesal. “Bukannya kalian tidak saling cinta malah mau cerai, tapi kenapa--"“Tidak ada yang terjadi, aku tidak pakai selimut memang benar karena aku tidur di … sofa.”“Hah!” Bima tenganga mendengar penjelasan Anya yang ternyata tidur di sofa. Jadi mereka tidak melakukan yang aneh-aneh seperti terlintas dalam pikirannya. “Kamu … tidak bohong ‘kan?”“Tidak, kenapa juga harus bohong. Aku sedang tidak menjaga hati siapapun. Minggir aku mau keluar. Perutku rasanya makin mual.”Anya mendorong tubuh Bima agar menjauh. Tangannya sudah menyentuh handle pintu saat terdengar ketukan pintu. Mereka berdua saling tatap, entah siapa di luar sana. Tentu saja Anya panik, tidak ingin orang berprasangka buruk menemukan dirinya di kamar Bima.Pandangannya tertuju pada balkon, tidak mungkin ia melompat atau berpindah ke kamarnya merayap di dinding.“Toilet,” ucap Bima. Anya pun gegas ke sana dan menutup pintunya. “Sebentar,” t
Rama termenung setelah kepergian orang kepercayaan Denis. Menatap foto-foto dan video yang masih diputar di tabletnya. Mencoba mengingat alasan yang membuatnya dulu jatuh cinta pada Selly. Makin diingat makin tidak ada hal spesial yang muncul, mungkin karena perasaannya sudah semakin terkikis ulah dari wanita itu sendiri.Dalam pemikirannya kalau pria memiliki banyak wanita, baik itu selingkuh atau simpanan itu hal yang wajar. Apalagi kalau si pria berkuasa, bertahta dan berharta. Kalau si wanita itu yang memiliki banyak pria, atau bercinta dengan lebih dari satu pria apalagi sudah bersuami rasanya menjijikan.Tidak peduli dia egois atau tidak,yang jelas perbuatan Selly tidak dibenarkan. Kepala Rama rasanya sudah penuh dengan banyak masalah. Denis akan semakin kecewa, apalagi kalau ia menyampaikan bahwa Anya menginginkan mereka berpisah. Entah seperti apa kemarahan Denis.“Mas Rama, ada Mbak Selly di depan,” ujar Bibi berada di tengah pintu.Sepertinya ia melamun sampai tidak sadar de
Anya bersembunyi di balik tembok tidak jauh dari tempatnya berada, tidak ingin dipergoki Rama kalau ia mencuri dengar.“Hah. Kenapa kacau begini,” keluh Anya ketika Rama sudah lewat setelah selesai bertelponan. “Aku hanya ingin pergi dan lepas dari Mas Rama,” gumamnya pelan.Cukup lama ia beada di luar, duduk di gazebo memikirkan masalahnya. Sempat mengusap perut yang masih rata dan ada kehidupan di sana.‘Maafkan bunda kamu berada dalam situasi begini, tapi tenang saja bunda akan mempertahankanmu. Kita akan berjuang bersama,” batin Anya.“Mbak Anya, ya ampun saya cari ke mana-mana.”“Kenapa Bi?”“Ada orangtua Mbak Anya, mereka mau bertemu,” ujar bibi lalu meraih tangan Anya agar ikut dengannya.“Mereka di mana?” tanya Anya karena bibi tidak mengajaknya masuk melainkan terus menyusuri koridor samping ke beranda.“Orangtua Mbak Anya menunggu di depan, sepertinya mau bicara serius. Jangan lama-lama ya mbak, makan malam mau dimulai.”Bibi meninggalkan Anya bertemu dengan orangtuanya. Bu
“Tenanglah pah! Aku yakin si Bima itu tidak tahu apa-apa. Dia bodoh, kita jalankan saja rencana awal Papa,” usul Rama.Denis melirik Rama lalu menghela pelan.“Menurutmu begitu?”“Hm. Kalau dia memang tahu Ayahnya punya hak di keluarga ini, kenapa tidak dari dulu dia datang.” Rama mengatakan menurut persepsinya. Tanpa memikirkan kemungkinan lain. Yang ada di pikirannya adalah ia harus lebih tinggi dan hebat dibandingkan Bima.Berbeda dengan Denis yang khawatir kalau Bima memiliki rencana lain. merebut semua miliknya atau entahlah.Namun, Rama berhasil menenangkan Denis. Pria paruh baya itu akan menjalankan apa yang sudah direncanakan. memberikan Bima sedikit posisi dan harta, berharap akan sibuk sendiri dan tidak memikirkan masa lalu sang ayah.‘Kalau dia macam-macam, aku bisa lakukan apa yang pernah aku perbuat pada Ayahnya dan juga Oscar,’ batin Denis.“Jadi, apa yang akan papa sampaikan di acara besok?” Rama berharap Denis berubah pikiran dan melupakan kesalahannya bersama Selly.
Rama sempat menghentikan langkahnya setelah menuruni anak tangga, mendengar suara Selly dan sang Mama. Maksudnya akan mengusir Selly agar kembali ke kantor, sepertinya urung karena wanita itu sedang bicara dengan Malika.“Iya tante, aku pasti datang. Pak Rama sering lupa, jadi aku harus dampingi terus.”“Iyakah? Maklum saja ya, namanya juga calon pewaris. Pasti banyak hal yang dipikirkan, ribuan karyawan akan menjadi tanggung jawabnya. Bukan hanya perut sendiri,” tutur Malika membanggakan putranya.“Baik tante, memang sudah tugas saya.”Rama berdiri mendengarkan percakapan dua wanita beda usia itu, dengan tangan berada di kantong celana menandakan dia santai menunggu mereka selesai.Malah rasanya Rama ingin tepuk tangan dengan akting Selly. wanita itu benar-benar licik dan manipulatif. Bicara dengan lemah lembut dan sangat santun pada Malika, sedangkan jika hanya berdua selalu menabuh genderang perang. “Eh, kemana Rama. Lama sekali dia.”“Mungkin sedang sibuk Tante, kemarin saya suda
“Sudah siap?” tanya Rama membuka pintu kamar.“Sebentar,” sahut Anya beranjak dari meja rias.Rama terpaku ditempat melihat penampilan istrinya. Waktu ia meninggalkan kamar, wanita itu masih mengenakan bathrobe dan mulai memoles wajahnya. Sekarang penampilannya sudah lengkap dan mempesona.Dengan gaun panjang one shoulders lengkap dengan hells dan warna senada dengan setelan pesta yang dikenakan Rama. Model rambut dengan gaya sanggul modern, membuat Anya terlihat sempurna.“Ayo,” ajak Anya karena Rama malah melamun. Bukan melamun melainkan terpana.“Hm, malam ini kita bermalam di sana. Kamu sudah--"“Sudah. Kopernya sudah dibawa ke hotel tadi siang.” Rama mengangguk pelan lalu pasangan itu keluar dari kamar.Malam ini adalah perayaan perusahaan. tepatnya ulang tahun perusahaan. Anya sebenarnya tidak antusias untuk hadir, tapi statusnya sebagai menantu keluarga Hardana membuatnya wajib hadir.Dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi, bahkan Anya menatap keluar jendela. Berbed
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da