Rama sempat menghentikan langkahnya setelah menuruni anak tangga, mendengar suara Selly dan sang Mama. Maksudnya akan mengusir Selly agar kembali ke kantor, sepertinya urung karena wanita itu sedang bicara dengan Malika.“Iya tante, aku pasti datang. Pak Rama sering lupa, jadi aku harus dampingi terus.”“Iyakah? Maklum saja ya, namanya juga calon pewaris. Pasti banyak hal yang dipikirkan, ribuan karyawan akan menjadi tanggung jawabnya. Bukan hanya perut sendiri,” tutur Malika membanggakan putranya.“Baik tante, memang sudah tugas saya.”Rama berdiri mendengarkan percakapan dua wanita beda usia itu, dengan tangan berada di kantong celana menandakan dia santai menunggu mereka selesai.Malah rasanya Rama ingin tepuk tangan dengan akting Selly. wanita itu benar-benar licik dan manipulatif. Bicara dengan lemah lembut dan sangat santun pada Malika, sedangkan jika hanya berdua selalu menabuh genderang perang. “Eh, kemana Rama. Lama sekali dia.”“Mungkin sedang sibuk Tante, kemarin saya suda
“Sudah siap?” tanya Rama membuka pintu kamar.“Sebentar,” sahut Anya beranjak dari meja rias.Rama terpaku ditempat melihat penampilan istrinya. Waktu ia meninggalkan kamar, wanita itu masih mengenakan bathrobe dan mulai memoles wajahnya. Sekarang penampilannya sudah lengkap dan mempesona.Dengan gaun panjang one shoulders lengkap dengan hells dan warna senada dengan setelan pesta yang dikenakan Rama. Model rambut dengan gaya sanggul modern, membuat Anya terlihat sempurna.“Ayo,” ajak Anya karena Rama malah melamun. Bukan melamun melainkan terpana.“Hm, malam ini kita bermalam di sana. Kamu sudah--"“Sudah. Kopernya sudah dibawa ke hotel tadi siang.” Rama mengangguk pelan lalu pasangan itu keluar dari kamar.Malam ini adalah perayaan perusahaan. tepatnya ulang tahun perusahaan. Anya sebenarnya tidak antusias untuk hadir, tapi statusnya sebagai menantu keluarga Hardana membuatnya wajib hadir.Dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi, bahkan Anya menatap keluar jendela. Berbed
Anya senyum-senyum mengingat ulah Bima tadi. Bahkan jantungnya masih berdebar karena ucapan pria itu. sepertinya ia mulai gila karena bersimpati pada pria lain, jelas-jelas statusnya adalah istri orang. Penampilan Bima malam ini tanpa cela. Terlihat gagah, berwibawa dan tentu saja tampan mempesona. Hanya rayuan gombal receh, tapi berhasil membuat hati Anya kembang kempis. “Dari mana kamu?”Anya menoleh, Rama sudah berdiri di belakangnya. Berharap pria itu tidak melihat bagaimana ia tadi salah tingkah dan senyum-senyum tidak jelas.“Toilet, memang aku bisa kemana di ruangan ini,” jawab Anya.“Rama, kamu kenapa sih buru-buru terus. Aku panggil juga cuek aja,” seru Selly.“Ayo, kamu harus dampingi aku temui tamu,” ajak Rama dengan malas. Kalau bukan karena Denis yang memerintahkan agar dia bersikap baik sebagai tuan rumah, tidak mungkin ia lakukan.Rama merasakan hidupnya sedang berat-beratnya. Hubungannya dengan Anya dan Selly, lalu kehadiran Bima dan menjadi saingan tunggal. Ia pikir
“Bima.”“Sstttt. Aku sudah muak melihat Rama mengasari mu malam ini. Kalau ikut emosi, rasanya sudah ingin aku hajar dia. Tapi tidak aku lakukan karena hanya akan menyusahkan kamu.”Anya menatap Bima sambil bersandar pada pintu, mereka sudah berada dalam kamar yang disiapkan untuk Bima.“Sepertinya perjuangan kita akan lebih berat,” seru Bima masih dengan kedua tangan berada di sisi kiri dan kanan Anya mengurungnya agar tidak bisa kemanapun.“Perjuangan kita?” tanya Anya lirih, tidak mengerti maksud Bima.“Hm. Kita sedang sama-sama berjuang. Kamu lepas dari Rama dan aku mengambilmu dari Rama. kamu terlalu baik untuk dia yang jahat.”“Jadi kamu mau rebut aku dari Mas Rama, bukan hal yang jahat?”Bima berdecak karena pertanyaan Anya.“Beda cerita. Dia jahat karena sudah menyakiti perempuan, udah kayak banc1 aja beraninya sama perempuan. Kalau aku, lelaki sejati,” tutur Bima sambil menepuk dadanya.“MInggir, aku harus pergi.”Tangan Bima sudah turun tidak lagu mengungkung Anya, tapi tubu
Selly mengepalkan kedua tangannya mendengar keputusan Rama. Berharap yang dia dengar itu salah. Nyatanya Rama dengan yakin mengatakan kalau ia akan mengucapkan kata talak. Artinya mereka akan berpisah.Sepertinya Rama mulai mencintai Anya, itu yang terpatri dalam benak Selly tanpa memikirkan kalau dia sebenarnya tidak setia dan Rama sudah mengetahuinya.“Anya, karena dia ‘kan?”“Jangan libatkan orang lain, ini antara kamu dan aku.”Selly mendengus. “Jangan libatkan orang lain, jelas-jelas karena Anya. Dia ingin menjadi istri kamu satu-satunya. Mana janjimu Rama, kamu bilang akan menjadikan aku satu-satunya wanita di hidupmu.” Selly bicara dengan nada tinggi.“Seharusnya aku tidak percaya dengan mulutmu. Sebaiknya tarik ucapanmu tadi atau aku akan labrak Anya. Biarkan orang tuamu tahu hubungan kita.”“Aku bilang jangan libatkan Anya, ini tentang aku dan kamu.”Mendengar pembelaan Rama untuk Anya, Selly tertawa sinis dan membuang pandangan sekilas lalu kembali menatap tajam suaminya.“K
Anya masih senyum-senyum mengingat kebersamaan bersama Bima, sambil memegang dada merasakan debaran jantungnya.“Aku kok gini sih,” gumamnya,Ia merasa ada perasaan lain, entah cinta atau hanya kagum. Karena memang belum pernah merasakan cinta yang sesungguhnya, hanya cinta monyet saat jaman sekolah. Namun, ia juga tahu kalau ini salah.Bukan cintanya yang salah, tapi situasinya yang tidak memungkinkan. Ia istri Rama dan sekarang jatuh cinta pada Bima, parahnya ia pun sedang hamil anak pria itu.“Mas Rama harus segera menceraikan aku.”Anya membuka kopernya lalu mengambil pakaian ganti. Masih ada satu acara lagi dan ia harus bertemu dengan keluarga besar Hardana. Setelah membersihkan diri, gaun dan piyama milik Bima ia simpan rapi di dalam koper. Bisa gawat kalau Rama menemukan piyama laki-laki yang bukan miliknya.Sudah hampir jam enam pagi dan Rama belum juga datang. Anya sudah dua kali menghubungi, tapi tidak dijawab. Kalau pria itu tidak muncul saat sarapan, tentu saja Denis akan
“Kita bicara di rumah, ayo pulang!”Anya masih bergeming, tapi Rama menarik tangannya karena tidak sabar.“Tunggu-tunggu!” Bima berdiri, tidak tahan dengan apa yang dia lihat dan harus ditengahi. Meskipun ingin sekali ia langsung menghajar Rama yang lagi-lagi hanya berani pada perempuan. “Ini tempat umum, apa tidak malu seorang Hardana bersikap kasar pada perempuan,” ejek Bima yang berusaha menahan emosinya. Rama berusaha tenang, yang juga sudah emosi karena Denis menyudutkan dan meragukannya. Ditambah urusan dengan Selly, ia masih harus berhati-hati mana tahu wanita itu ada rencana lain di kemudian hari dan merugikan dirinya. Ia menatap Anya seakan bertitah, ayo pergi dari sini.Anya meninggalkan Rama dan Bima yang masih dalam aura permusuhan. Semakin yakin kalau dia berada di keluarga yang salah. Harta dan tahta, semua selalu berdasarkan dua hal tersebut. Melarikan diri mungkin solusi akhir kalau Rama masih saja tidak mengabulkan permintaan dan memenuhi janjinya. TErkait hubungan
“Hati-hati,” tegur Bima melihat Anya brjalan cepat menaiki anak tangga. Pria itu paham, Anya bukan bergegas karena takut pada Rama apalagi hendak menyambut melainkan menghindar. Alih-alih ikut menghindar Bima malah sengaja menunggu di sofa ruang depan.Rama menatap heran mendapati sepupunya saat membuka pintu.“Apa aku menjadi lawan yang berat sampai kamu frustasi dan harus mabuk semalaman lalu datang lagi ke club? Bagaimana kalau Anya tahu ulah suaminya, ia pasti punya alasan lain untuk bercerai.”“Omong kosong dan aku malas berdebat denganmu,” sahut Rama. Bahkan ia sudah melangkah menjauh saat Bima Kembali bersuara.“Apa kamu cari wanita lagi, yang seperti Selly? Kalau begitu, segera tinggalkan Anya.” Bima tidak peduli kalau ucapannya ini akan membuat Rama menduga dia memang ada hubungan dengan Anya. Sudah terlanjur basah.Rama menoleh, tatapannya datar. Merasa Bima hanya sedang memprovokasi meskipun ingin sekali menanggapi.“Bukan urusanmu. Kenapa tidak kamu cari istri, bukannya us
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da