“Hati-hati,” tegur Bima melihat Anya brjalan cepat menaiki anak tangga. Pria itu paham, Anya bukan bergegas karena takut pada Rama apalagi hendak menyambut melainkan menghindar. Alih-alih ikut menghindar Bima malah sengaja menunggu di sofa ruang depan.Rama menatap heran mendapati sepupunya saat membuka pintu.“Apa aku menjadi lawan yang berat sampai kamu frustasi dan harus mabuk semalaman lalu datang lagi ke club? Bagaimana kalau Anya tahu ulah suaminya, ia pasti punya alasan lain untuk bercerai.”“Omong kosong dan aku malas berdebat denganmu,” sahut Rama. Bahkan ia sudah melangkah menjauh saat Bima Kembali bersuara.“Apa kamu cari wanita lagi, yang seperti Selly? Kalau begitu, segera tinggalkan Anya.” Bima tidak peduli kalau ucapannya ini akan membuat Rama menduga dia memang ada hubungan dengan Anya. Sudah terlanjur basah.Rama menoleh, tatapannya datar. Merasa Bima hanya sedang memprovokasi meskipun ingin sekali menanggapi.“Bukan urusanmu. Kenapa tidak kamu cari istri, bukannya us
Bima senyum smirk mengingat perdebatan tadi. Semakin kelihatan bagaimana Rama dan Malika sangat tidak mendukung dan menyudutkan dirinya. Kehadirannya tidak diharapkan karena menjadi saingan Rama. Mungkin Denis mengajaknya dating hanya untuk sandiwara karena ulahnya mulai terkuak.“Tunggu saja saatnya, kalian terpuruk dan aku akan sangat senang melihat itu.”Mobil yang dikendarai sudah terparkir di basement. Bima berjalan sambil bersiul dengan tangan kanan menenteng paper bag berisi sarapan sehat untuk ibu hamil. Siapa lagi kalau bukan untuk Anya.Tidak sarapan dan sengaja pergi lebih awal hanya untuk menunjukan kalau pernikahannya sedang bermasalah, Bima sangat mendukung keputusan Anya tersebut. Itulah mengapa dia terlihat senang pagi ini. Meskipun perdebatan saat sarapan cukup sengit. Namun, moodnya masih bagus karena Anya.“Mas Bima,” panggil seseorang saat Bima keluar dari lift.“Yup.”“Hm. Nanti makan siang bareng ya, aku mau--”“Wah, kebetulan saya sudah ada janji. Sorry ya,” uja
Selly memang sudah ditalak, tapi dia masih sekretaris Rama. Pria itu bisa bersikap profesional, bekerja seperti biasa. Namun, tidak untuk Selly. Ia tidak rela statusnya kini janda dari Rama. Apalagi pernikahan mereka hanya secara siri, tidak bisa menuntut apapun.Kurang fokus karena memikirkan nasib, membuat Selly melakukan kesalahan. Tentu saja Rama marah dan menegurnya, semakin membuat Selly tidak terima. Ia bertekad harus mendapatkan Rama kembali.“Mau kemana?” tanya Selly yang sudah berdiri karena Rama sudah berdiri di hadapannya, lengkap dengan jas kerja. Biasanya pria itu akan melepas dan menggantung jas di belakang kursinya selama berada di ruangan.“Pulang, waktu kerja sudah selesai lagipula tidak ada urusan lagi. Biasakan panggil aku pak, selama di kantor.”Selly mengangguk pelan dan menelan saliva, entah sudah berapa kali teguran Rama hari ini.“Bisa kita bicara?” Selly mohon izin.“Tentang apa?” tanya Rama sambil melirik arloji di tangannya. “Kalau urusan pribadi, aku tidak
Rama memijat pelipisnya. Hari ini sangat menguras emosi, dimulai di meja makan saat sarapan sampai tadi saat Selly mengajaknya bicara. Ia harus pikirkan cara dan alasan untuk memindahkan Selly atau pecat sekalian. Dengan kompensasi nominal yang lumayan mungkin saja berhasil membuat wanita itu menghilang dan tutup mulut selamanya.“Suntuk amat sih," ujar pria di samping Rama. Rama berdecak dan menggeser gelasnya yang sudah kosong pada bartender. Saat ini ia sudah berada di club, masih terlalu sore karena sahabat-sahabatnya belum tiba. Hanya ada seorang yang memang manager tempat tersebut.“Kayaknya berat masalah lo, kalau nggak mana mungkin tiap malam nongkrong di sini lagi.”“Berisik,” sentak Rama lalu menenggak isi gelas sampai tandas.Kemumetan Rama bukan hanya urusan Selly dan Anya, tapi juga posisinya terancam oleh Bima. Apalagi Denis sudah mengultimatum agar bersiap untuk pertarungan dengan saudaranya sendiri. Seperti masa lalu.Sempat penasaran ada apa dengan kisah orang tuanya
Siapapun itu yang menghubungi Rama, Anya sangat berterima kasih. Sepertinya Rama memang membedakan dering ponsel untuk orang-orang tertentu karena ia langsung terdiam dan mengumpat pelan lalu menjauh dari tubuh Anya dan merogoh kantong celana mengeluarkan ponselnya.Mendapati celah, Anya langsung beringsut menjauh. Bersandar pada headboard dengan kedua kaki ditekuk dan selimut ia tarik menutupi tubuhnya.“Hm,” ucap Rama saat menjawab panggilan dan pandangannya tertuju pada sang istri yang terlihat ketakutan membuatnya mengernyitkan dahi. Padahal Rama hanya ingin mendapatkan haknya kenapa Anya bersikap seolah ia ingin menodai.“Selly mencari anda di club,” ujar seseorang di ujung sana dan Rama kembali mengumpat. Apa ancamannya kurang jelas sampai dihiraukan begitu. Ternyata Selly masih punya nyali.“Ikuti saja, kabarkan aku perkembangannya. Kalau dia mulai mencari informasi tentangku, hentikan saja!”“Oke.”Panggilan diakhiri, tapi fokus Rama masih pada ponselnya. Ada pesan dari Denis
Anya sengaja tidak tidur, takut Rama memaksa masuk ke kamarnya. Sempat tertidur, tapi tidak lama. Suara apapun membuatnya terjaga. Alhasil pagi ini wajahnya terlihat lelah dan mata panda.Baru pukul enam pagi dia sudah keluar dari kamar bahkan menyeret koper sambil melangkah pelan dan hati-hati, berharap Rama tidak keluar. Sempat ke dapur hanya membuat susu hamil yang diakui ke asisten rumah tangga sebagai susu bubuk biasa.“Pakai tumbler saja bik, aku mau berangkat.”“Loh, mbak Anya tidak ikut sarapan? Lagian ini masih pagi, Mbak.”“Nggak Bik, aku ada banyak kerjaan. Kemarin malas lembur.” Anya beralasan hanya karena menghindari Rama juga mertuanya.Tidak akan mudah melepaskan dari hubungan dengan keluarga Hardana, apalagi orang tuanya juga tidak mendukung pilihannya untuk berpisah dengan Rama. Kejadian semalam membuat Anya yakin kalau dia harus pergi, Rama sangat menyeramkan dengan gairahnya.“Astaga,” pekik Anya ketika membuka pintu utama dan ada Bima duduk di sofa beranda.Bima me
“Sebaiknya jaga sikapmu,” ujar Rama lagi. “Posisi kamu akan digantikan dengan yang lain, tenang saja kami tidak memecatmu hanya mutasi.”Selly masih bergeming di tempatnya sambil memandang Rama dengan raut wajah takut. Ada apa dengan Rama, pria itu seperti orang lain. Sebelumnya dia bisa dengan mudah membuat Rama bertekuk lutut di hadapannya.Mutasi lebih baik daripada dipecat. Apalagi nominal gaji Selly saat ini masih lumayan dari pada dia harus mencari pekerjaan baru. Dana kompensasi karena Rama menalaknya juga masih bisa digunakan beberapa tahun ke depan. Masih ada cadangan perhiasan dan tas branded dengan surat lengkap dan bisa dijual sewaktu-waktu.“Jadi, jangan pernah berpikir untuk cari gara-gara dengan keluarga Hardana. Kamu mengerti?”Mulut Selly seakan terkunci, lidahnya kelu. Ia hanya sanggup mengangguk pelan.“Apartemen silahkan kamu tempati, aku sudah proses balik nama untukmu,” jelas Rama kemudian melambaikan tangan seakan mengusir wanita itu.“Aku perlu tahu,” ucap Sell
Untungnya koper belum Anya turunkan masih di bagasi. Dia tidak diterima di rumah, malah diminta pulang ke Rama untuk selesaikan masalah. Intinya dia diusir. Bagai tertusuk pisau, hatinya begitu sakit. Berharap akan mendapatkan perlindungan, nyatanya ia salah.Citra yang sesama perempuan bahkan tidak berempati apalagi simpati ketika Anya mengatakan dia tidak bahagia dan Rama menikah lagi. Ujung-ujungnya malah dirinya yang disalahkan.Sudah berada dalam mobil, tapi belum jalan. Anya sedang menenangkan hatinya. Sejak tadi air mata seakan tidak terkontrol untuk terus mengalir.“Aku harus ke mana,” gumam Anya lalu menyalakan mesin mobil. Setelah meninggalkan kawasan tempat tinggal Ayahnya, Anya sempat menepi lalu membuka ponsel.Ternyata banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Dari Naina menanyakan kenapa dia pergi, Anya abaikan untuk sementara. Lalu Rama, dari pesan berisi minta maaf sampai menanyakan di mana posisinya juga diabaikan.Ada pesan dari Denis, meski ragu Anya membuka dan
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.