Siapapun itu yang menghubungi Rama, Anya sangat berterima kasih. Sepertinya Rama memang membedakan dering ponsel untuk orang-orang tertentu karena ia langsung terdiam dan mengumpat pelan lalu menjauh dari tubuh Anya dan merogoh kantong celana mengeluarkan ponselnya.Mendapati celah, Anya langsung beringsut menjauh. Bersandar pada headboard dengan kedua kaki ditekuk dan selimut ia tarik menutupi tubuhnya.“Hm,” ucap Rama saat menjawab panggilan dan pandangannya tertuju pada sang istri yang terlihat ketakutan membuatnya mengernyitkan dahi. Padahal Rama hanya ingin mendapatkan haknya kenapa Anya bersikap seolah ia ingin menodai.“Selly mencari anda di club,” ujar seseorang di ujung sana dan Rama kembali mengumpat. Apa ancamannya kurang jelas sampai dihiraukan begitu. Ternyata Selly masih punya nyali.“Ikuti saja, kabarkan aku perkembangannya. Kalau dia mulai mencari informasi tentangku, hentikan saja!”“Oke.”Panggilan diakhiri, tapi fokus Rama masih pada ponselnya. Ada pesan dari Denis
Anya sengaja tidak tidur, takut Rama memaksa masuk ke kamarnya. Sempat tertidur, tapi tidak lama. Suara apapun membuatnya terjaga. Alhasil pagi ini wajahnya terlihat lelah dan mata panda.Baru pukul enam pagi dia sudah keluar dari kamar bahkan menyeret koper sambil melangkah pelan dan hati-hati, berharap Rama tidak keluar. Sempat ke dapur hanya membuat susu hamil yang diakui ke asisten rumah tangga sebagai susu bubuk biasa.“Pakai tumbler saja bik, aku mau berangkat.”“Loh, mbak Anya tidak ikut sarapan? Lagian ini masih pagi, Mbak.”“Nggak Bik, aku ada banyak kerjaan. Kemarin malas lembur.” Anya beralasan hanya karena menghindari Rama juga mertuanya.Tidak akan mudah melepaskan dari hubungan dengan keluarga Hardana, apalagi orang tuanya juga tidak mendukung pilihannya untuk berpisah dengan Rama. Kejadian semalam membuat Anya yakin kalau dia harus pergi, Rama sangat menyeramkan dengan gairahnya.“Astaga,” pekik Anya ketika membuka pintu utama dan ada Bima duduk di sofa beranda.Bima me
“Sebaiknya jaga sikapmu,” ujar Rama lagi. “Posisi kamu akan digantikan dengan yang lain, tenang saja kami tidak memecatmu hanya mutasi.”Selly masih bergeming di tempatnya sambil memandang Rama dengan raut wajah takut. Ada apa dengan Rama, pria itu seperti orang lain. Sebelumnya dia bisa dengan mudah membuat Rama bertekuk lutut di hadapannya.Mutasi lebih baik daripada dipecat. Apalagi nominal gaji Selly saat ini masih lumayan dari pada dia harus mencari pekerjaan baru. Dana kompensasi karena Rama menalaknya juga masih bisa digunakan beberapa tahun ke depan. Masih ada cadangan perhiasan dan tas branded dengan surat lengkap dan bisa dijual sewaktu-waktu.“Jadi, jangan pernah berpikir untuk cari gara-gara dengan keluarga Hardana. Kamu mengerti?”Mulut Selly seakan terkunci, lidahnya kelu. Ia hanya sanggup mengangguk pelan.“Apartemen silahkan kamu tempati, aku sudah proses balik nama untukmu,” jelas Rama kemudian melambaikan tangan seakan mengusir wanita itu.“Aku perlu tahu,” ucap Sell
Untungnya koper belum Anya turunkan masih di bagasi. Dia tidak diterima di rumah, malah diminta pulang ke Rama untuk selesaikan masalah. Intinya dia diusir. Bagai tertusuk pisau, hatinya begitu sakit. Berharap akan mendapatkan perlindungan, nyatanya ia salah.Citra yang sesama perempuan bahkan tidak berempati apalagi simpati ketika Anya mengatakan dia tidak bahagia dan Rama menikah lagi. Ujung-ujungnya malah dirinya yang disalahkan.Sudah berada dalam mobil, tapi belum jalan. Anya sedang menenangkan hatinya. Sejak tadi air mata seakan tidak terkontrol untuk terus mengalir.“Aku harus ke mana,” gumam Anya lalu menyalakan mesin mobil. Setelah meninggalkan kawasan tempat tinggal Ayahnya, Anya sempat menepi lalu membuka ponsel.Ternyata banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Dari Naina menanyakan kenapa dia pergi, Anya abaikan untuk sementara. Lalu Rama, dari pesan berisi minta maaf sampai menanyakan di mana posisinya juga diabaikan.Ada pesan dari Denis, meski ragu Anya membuka dan
Niat mencari hiburan ia malah menjadi bulan-bulanan dan hiburan Doni dengan hujatannya. Akhirnya Selly pulang ke apartemen. Menangis bukan gayanya, tapi merenung dan meratapi hidup juga tidak akan mengembalikan semua sesuai keinginan.Berharap cepat terlelap dan terjaga seakan semua yang terjadi hanya mimpi, nyatanya ia malah tidak bisa memejamkan mata.“Hah.” Selly beranjak duduk. Kepalanya sudah mumet dengan masalah Rama, pekerjaan dan juga Doni.Satu-satunya solusi adalah ia segera mendapatkan surat tugas mutasi dan memulai semuanya dari awal. Kalaupun harus hidup sederhana, setidaknya tiada yang mengenal.Sedangkan di tempat berbeda. Hampir tengah malam saat Bima tiba di kediaman Denis setelah sesorean mencari keberadaan Anya. Tentu saja dia khawatir, apalagi Anya sedang hamil. Berharap menemukan di café, nyatanya tidak ada.Masih berada di beranda sambil menikmati sebatang rokok saat mobil memasuki gerbang. Ternyata bukan hanya dia yang pulang terlambat, Rama juga. Apa Rama menca
Rama tidak menyangka kalau Anya sebenci itu dengan dirinya. Menghindar sampai tidak melihat situasi. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tubuh Anya terpental setelah tertabrak. Apalagi ia tidak bisa merengkuh untuk mencegah kejadian itu, membuat rasa bersalah semakin menjadi.“Anya, astaga.” Rama memeluk tubuh Anya yang sudah tidak sadar, ada darah di wajah wanita itu. Entah luka di bagian mana.“Ambulance, panggil ambulance!”Perasaan Rama semakin tidak karuan, apalagi Anya tidak merespon saat petugas medis mencoba menyadarkannya. Beruntung letak rumah sakit tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Rama masih mendampingi saat brankar yang membawa Anya menuju ke UGD.“Bapak tunggu di luar.”“Saya suaminya, biar saya--”“Maaf Pak, tunggu di luar saja.”Rama harus pasrah menunggu di luar UGD meski resah luar biasa. Bahkan ia sampai menyugar rambutnya.“Anya, maafkan aku,” gumam pria itu. Segera ia menghubungi orang tuanya menyampaikan kondisi Anya.Tidak sampai tiga puluh menit, Denis dan Malika
“Sayang,”panggil Bima menghampiri Anya yang terkejut dengan kehadiran pria itu.Anya menatap ke arah pintu kamar, memastikan tidak ada Rama.“Kamu … kenapa ke sini?” tanya Anya khawatir berusaha beranjak duduk, tapi ditahan oleh Bima agar tetap berbaring.“Ck. Kenapa tidak mengabariku? Seharusnya tidak begini, kalau kamu kasih kabar.” “Aku sedang menghindar dari keluarga Mas Rama dan juga keluargaku,” jelas Anya lirih. “Sebaiknya kamu pergi, situasinya tidak memungkinkan. Mas Rama akan--"“Aku tetap di sini. Rama harus tahu kalau kamu mengandung anakku.” Bima mengusap perut Anya. “Dia … baik-baik saja ‘kan?”“Dokter bilang masih dalam observasi. Kecelakaan kemarin aku … Mas Rama sebentar lagi datang, kamu pergi dulu. Paling tidak besok pagi saja datang lagi. Keadaan sudah kacau, jangan menambah masalah.”“Ck. Ponselmu, jangan abaikan aku!”Anya mengangguk pelan, menduga Bima akan lekas pergi nyatanya pria itu malah mendekat lalu mencium keningnya.“Ada orang yang akan mengawasimu, j
Rama pamit meninggalkan kamar saat ibu mertuanya datang. Niat hati hendak pergi agak jauh, tapi urung karena ingin tahu interaksi kedua wanita di dalam kamar.“Bu,” panggil Anya. Wajar seorang anak ingin menyampaikan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.Bukannya mendapat perlakuan yang baik, Ibu Anya malah berdiri bersedekap menatap putrinya dengan luka perban di dahi dan lengan. Lalu berdecak dan menggeleng pelan.“Makanya nurut sama orangtua. Disuruh balik ke Rama malah kabur, kayak gini jadinya. Bikin malu saja.”“Ibu nggak ngerti perasaan aku.”“Justru karena Ibu dan Ayah tahu yang terbaik untuk kamu, tinggal patuh aja. Rama itu sudah yang terbaik untuk kamu, sampai kamu tua nanti.”Rama yang mendengarkan percakapan dari balik pintu, tersenyum mendengar hal itu. Ternyata meskipun brengsek masih ada orangtua yang mempercayakan putrinya. Yah, sudah pasti karena tingkat sosial mereka.“Aku harus pisah dengan Mas Rama, aku nggak pantas untuk dia … Bu.” Suara Anya terdengar lirih dan
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar
Selly sudah menawarkan sesuatu, tapi Anya menolak. Dia menanyakan kondisi orang tuanya apalagi Rama. Melarikan diri dari keluarga Hardana sepertinya sudah rencana yang matang. Meninggalkan semua kemewahan yang pernah dirasakan sama seperti dirinya.Meski sudah bekerja dan tinggal jauh dari Jakarta, tapi Selly masih berada dalam salah satu anak cabang Hardana Company. Hari ini dia diminta datang ke kantor pusat, beruntung bukan ke kantor cabang di mana Rama berada.Berangkat sangat pagi dan tiba di jakarta pukul delapan, sempat memperbaiki penampilan riasan di wajahnya. Selly harus menemui bagian operasional dan melaporkan beberapa proyek yang sudah selesai.“Oke, nanti kami kabari kalau ada temuan. Tinggal tunggu LPJ saja,” ucap perwakilan yang menerima dokumen-dokumen yang dibawa Selly.”“Baik, terima kasih.” Setelah bersalaman, Selly pun meninggalkan tempat itu. Sekarang hampir jam makan siang, cukup lama pertemuan mereka. Agak lama menunggu lift yang kosong, karena sudah masuk jam
“Kamu kabur dari Rama?” tanya Selly dan Anya mengangguk dan menceritakan tuntutan agar bercerai dan bagaimana Rama selalu menjanjikan itu, tapi tidak dikabulkan.Anya merasa Selly bukan lagi rival apalagi musuh. Entah mengapa ia merasa nyaman saja bercerita dengan wanita itu.“Semua karena aku,” ucap Selly lirih. “Kalian bisa lanjutkan pernikahan, aku tidak akan menuntut apa-apa lagi dari Rama.”“Bukan, bukan karena kamu. Dari awal kami memang tidak saling mencintai. Mas Rama sudah mengajukan kesepakatan di awal pernikahan kami.”“Tapi kamu hamil, bagaimana anak kalian nanti?” Selly berusaha meyakinkan Anya kalau langkahnya salah jika tetap bercerai dari Rama. Sepertinya rasa bersalah masih Selly rasakan.Anya mengusap perutnya dan menghela pelan. Tidak mungkin menceritakan kalau bukan Rama ayah dari bayi di kandungannya. Mereka belum sedekat itu.“Berpisah adalah yang terbaik untuk kami,” ujar Anya mengakhiri perdebatan itu.Selly tidak lagi membujuk Anya yang terlihat nekat dan bisa
Bima merasa kali ini tidak akan mudah menemukan Anya. Kesalahpahaman diantara mereka cukup fatal. Meski Rama sudah mengalah dan berjanji akan menceraikan Anya setelah melahirkan. Hanya Bima yang memang pantas untuk Anya.Sudah seminggu Anya menghilang dan orang-orang yang disebar untuk mencari belum memberikan kabar yang jelas. Mendeteksi dari GPS gagal karena ponsel Anya sengaja ditinggal, juga dari penarikan rekening bank belum ada titik terang. Anya belum melakukan transaksi keuangannya.Kondisi di perusahaan juga agak runyam. Rama melawan Denis, membuat pria itu ikut campur di perusahaan.“Om Denis, anda sudah tidak ada peran lagi di sini,” cetus Bima ketika adik dari ayahnya itu berada di ruang kerjanya.“Dulu ini ruang kerjaku, kamu jangan merasa hebat. Hardana Company berjaya karena kerja kerasku.”“Kerja keras para karyawan. Semua memiliki peran masing-masing,” sahut Bima lagi.Sepertinya Denis frustasi karena kepergian Anya bisa membuyarkan rencananya untuk merebut kembali po
“Anya, tunggu!” Rama urung berangkat, lebih memilih mengejar Anya setelah Denis dan Malika meninggal rumah. Ia harus bicara dengan istrinya.Tidak ingin tergesa dan tergelincir saat menaiki tangga, ternyata Anya menuju pintu samping.“Anya, kita harus bicara,” ujar Rama mengekor langkah Anya yang sudah hampir sampai di gazebo tidak jauh dari kolam renang.“Tidak ada yang harus dibicarakan. Mas Rama sebaiknya berangkat,” seru Anya menatap arah kolam, lebih tepatnya melamun.“Sumpah aku tidak ingin memanfaatkan kamu,” tutur Rama dan sudah duduk di samping Anya yang masih cuek. “Situasi yang buat kita begini. Aku sudah minta izin Papa untuk melepaskan kamu dan ya … begitu.”“Kita boleh cerai setelah aku melahirkan dan kalian dapatkan warisan itu?”Pertanyaan Anya sukses membuat Rama terdiam, memang begitu kenyataannya. Denis menyarankan hal itu.“Bagaimana kalau Papa kamu tahu ini bukan anakmu? Bagaimana kalau papa kamu tahu ini anak …Bima?”“Jangan sampai dia tahu,” sahut Rama. “Untuk k
“Mas Rama, kamu janjikan perceraian setelah aku melahirkan. Setelah kalian dapatkan saham itu?”“Tidak Anya.”“Memang begitu,” seru Bima. “Memang begitu niatmu dari awal.” Tangan Bima menunjuk wajah Rama.“Memang itu niatku, tapi aku menawarkan kehidupan normal untuk kami berdua. Memulai semua dari awal. Aku tanya siapa ayah kandung bayi itu, untuk menyelesaikan masalah ini.” Entah hanya sekedar pembelaan atau memang niat Rama tulus. Anya menggeleng pelan lalu mengusap pipinya dari air mata.“Bima. Kamu tawarkan rencana untuk menghentikan rencana Mas Rama dan juga menguntungkan dirimu sendiri. Begitu ‘kan?” kali ini pertanyaan Anya ditujukan untuk Bima.“Tidak dan kamu tahu aku tidak begitu. Aku memang ingin menggagalkan rencana mereka bukan untuk diriku, tapi menyelamatkan kamu. Aku akan bertanggung jawab Anya, percaya aku!”Bima hendak mendekat, tapi tangan Anya tertahan agar tidak melakukan itu.“Ini skandal, sebaiknya kalian tutup mulut dari pada keluarga Hardana menanggung malu.