Untungnya koper belum Anya turunkan masih di bagasi. Dia tidak diterima di rumah, malah diminta pulang ke Rama untuk selesaikan masalah. Intinya dia diusir. Bagai tertusuk pisau, hatinya begitu sakit. Berharap akan mendapatkan perlindungan, nyatanya ia salah.Citra yang sesama perempuan bahkan tidak berempati apalagi simpati ketika Anya mengatakan dia tidak bahagia dan Rama menikah lagi. Ujung-ujungnya malah dirinya yang disalahkan.Sudah berada dalam mobil, tapi belum jalan. Anya sedang menenangkan hatinya. Sejak tadi air mata seakan tidak terkontrol untuk terus mengalir.“Aku harus ke mana,” gumam Anya lalu menyalakan mesin mobil. Setelah meninggalkan kawasan tempat tinggal Ayahnya, Anya sempat menepi lalu membuka ponsel.Ternyata banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Dari Naina menanyakan kenapa dia pergi, Anya abaikan untuk sementara. Lalu Rama, dari pesan berisi minta maaf sampai menanyakan di mana posisinya juga diabaikan.Ada pesan dari Denis, meski ragu Anya membuka dan
Niat mencari hiburan ia malah menjadi bulan-bulanan dan hiburan Doni dengan hujatannya. Akhirnya Selly pulang ke apartemen. Menangis bukan gayanya, tapi merenung dan meratapi hidup juga tidak akan mengembalikan semua sesuai keinginan.Berharap cepat terlelap dan terjaga seakan semua yang terjadi hanya mimpi, nyatanya ia malah tidak bisa memejamkan mata.“Hah.” Selly beranjak duduk. Kepalanya sudah mumet dengan masalah Rama, pekerjaan dan juga Doni.Satu-satunya solusi adalah ia segera mendapatkan surat tugas mutasi dan memulai semuanya dari awal. Kalaupun harus hidup sederhana, setidaknya tiada yang mengenal.Sedangkan di tempat berbeda. Hampir tengah malam saat Bima tiba di kediaman Denis setelah sesorean mencari keberadaan Anya. Tentu saja dia khawatir, apalagi Anya sedang hamil. Berharap menemukan di café, nyatanya tidak ada.Masih berada di beranda sambil menikmati sebatang rokok saat mobil memasuki gerbang. Ternyata bukan hanya dia yang pulang terlambat, Rama juga. Apa Rama menca
Rama tidak menyangka kalau Anya sebenci itu dengan dirinya. Menghindar sampai tidak melihat situasi. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tubuh Anya terpental setelah tertabrak. Apalagi ia tidak bisa merengkuh untuk mencegah kejadian itu, membuat rasa bersalah semakin menjadi.“Anya, astaga.” Rama memeluk tubuh Anya yang sudah tidak sadar, ada darah di wajah wanita itu. Entah luka di bagian mana.“Ambulance, panggil ambulance!”Perasaan Rama semakin tidak karuan, apalagi Anya tidak merespon saat petugas medis mencoba menyadarkannya. Beruntung letak rumah sakit tidak jauh dari lokasi kecelakaan. Rama masih mendampingi saat brankar yang membawa Anya menuju ke UGD.“Bapak tunggu di luar.”“Saya suaminya, biar saya--”“Maaf Pak, tunggu di luar saja.”Rama harus pasrah menunggu di luar UGD meski resah luar biasa. Bahkan ia sampai menyugar rambutnya.“Anya, maafkan aku,” gumam pria itu. Segera ia menghubungi orang tuanya menyampaikan kondisi Anya.Tidak sampai tiga puluh menit, Denis dan Malika
“Sayang,”panggil Bima menghampiri Anya yang terkejut dengan kehadiran pria itu.Anya menatap ke arah pintu kamar, memastikan tidak ada Rama.“Kamu … kenapa ke sini?” tanya Anya khawatir berusaha beranjak duduk, tapi ditahan oleh Bima agar tetap berbaring.“Ck. Kenapa tidak mengabariku? Seharusnya tidak begini, kalau kamu kasih kabar.” “Aku sedang menghindar dari keluarga Mas Rama dan juga keluargaku,” jelas Anya lirih. “Sebaiknya kamu pergi, situasinya tidak memungkinkan. Mas Rama akan--"“Aku tetap di sini. Rama harus tahu kalau kamu mengandung anakku.” Bima mengusap perut Anya. “Dia … baik-baik saja ‘kan?”“Dokter bilang masih dalam observasi. Kecelakaan kemarin aku … Mas Rama sebentar lagi datang, kamu pergi dulu. Paling tidak besok pagi saja datang lagi. Keadaan sudah kacau, jangan menambah masalah.”“Ck. Ponselmu, jangan abaikan aku!”Anya mengangguk pelan, menduga Bima akan lekas pergi nyatanya pria itu malah mendekat lalu mencium keningnya.“Ada orang yang akan mengawasimu, j
Rama pamit meninggalkan kamar saat ibu mertuanya datang. Niat hati hendak pergi agak jauh, tapi urung karena ingin tahu interaksi kedua wanita di dalam kamar.“Bu,” panggil Anya. Wajar seorang anak ingin menyampaikan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.Bukannya mendapat perlakuan yang baik, Ibu Anya malah berdiri bersedekap menatap putrinya dengan luka perban di dahi dan lengan. Lalu berdecak dan menggeleng pelan.“Makanya nurut sama orangtua. Disuruh balik ke Rama malah kabur, kayak gini jadinya. Bikin malu saja.”“Ibu nggak ngerti perasaan aku.”“Justru karena Ibu dan Ayah tahu yang terbaik untuk kamu, tinggal patuh aja. Rama itu sudah yang terbaik untuk kamu, sampai kamu tua nanti.”Rama yang mendengarkan percakapan dari balik pintu, tersenyum mendengar hal itu. Ternyata meskipun brengsek masih ada orangtua yang mempercayakan putrinya. Yah, sudah pasti karena tingkat sosial mereka.“Aku harus pisah dengan Mas Rama, aku nggak pantas untuk dia … Bu.” Suara Anya terdengar lirih dan
“Aku harus bagaimana?” tanya Anya.“Ya, katakan saja yang sebenarnya. Kalau aku yang sudah menghamilimu.”“Jangan bercanda, posisiku sekarang serba salah dan akan tambah masalah.”Bima tidak terlalu peduli masalah Rama yang penasaran siapa pria yang sudah menggagahi sang istri. Yang jelas dia merasa lebih hebat dari Rama. Meski statusnya suami, tapi tidak pernah mau menyentuh Anya.Lebih tertarik membahas kondisi kandungan dan luka-luka yanga da disekujur tubuh Anya, terutama di dahi wanita itu.“Kenapa kemari?” tanya Anya.“Ck, aku sudah dari tadi bahkan hampir tertidur. Baru tanya alasan kemarin,” jawab Bima lalu menggeser kursi semakin dekat ke ranjang.“Yang jelas aku mau pastikan kamu dan bayi kita dalam keadaan aman.”“Bukannya kalian sekarang satu kantor. Gimana kalau Mas Rama cari kamu dan bisa saja Mas Rama tiba-tiba pulang.”“Tidak akan. Dia sedang sibuk. Dua hari kemarin nggak nongol di kantor, banyak yang ditunda dan sekarang lagi mumet di meja kerjanya. Kerjaan setumpuk d
Rama sudah rapi dengan setelan kerja dan siap berangkat. Namun, tertahan lalu mengurus Anya yang mengalami morning sickness. Meski sudah boleh turun ke toilet, tapi pria itu tetap berdiri tidak jauh.Sedang membungkuk mengeluarkan isi perutnya, Wajah Anya terlihat pucat. Tangan Rama terus memijat pelan tengkuk wanita itu. Bahkan mengambilkan handuk kecil saat Anya mencuci muka berkumur.“Ayo, balik ke ranjang. Kamu pasti lemas.”Anya hanya bisa pasra saat Rama memapahnya kembali untuk berbaring, apalagi kepalanya berdenyut membuat ingin segera memejamkan mata.“Mau makan apa? Sarapanmu sudah keluar lagi.”“Nanti saja, Mas.”Baru kali ini Rama menyaksikan langsung ternyata memiliki keturunan tidak mudah dirasakan oleh perempuan. Ini baru morning sickness bagaimana kelanjutannya nanti. Pantas saja orang tuanya tidak memberikan dia adik, mungkin dimasa lalu mereka terlalu sibuk.“Mas berangkat saja, aku nggak pa-pa.”“Hm.” Rama jadi ingin punya keturunan sendiri, darah dagingnya.Meliha
Denis dan para kuasa hukum sudah meninggalkan ruangan meeting. Begitu pula dengan Pram dan Rama. Bima diikuti oleh Umar menuju ruangannya. Umar heran dengan sikap Bima yang terlihat begitu resah bahkan berjalan mondar-mandir di ruangannya.“Sebaiknya anda duduk!”“Kau dengar tadi, tua bangka serakah itu bilang kalau posisiku bisa terancam setelah dia memiliki 45% saham. Dia memang sengaja ingin menguasai sendiri, kematian Ayah sudah pasti karena dia. Dari awal aku yakin dia sudah tahu isi surat itu, lalu dia rubah dan usir Ayah.”“Dari awal anda tidak minat dengan isi wasiat, kenapa sekarang terdengar … berbeda?”“Bukan berapa bagianku yang jadi masalah, tapi mereka sudah senang duluan. Merasa dengan Anya hamil lalu 30% itu akan menjadi milik mereka. Rama tutup mata dengan hal ini, padahal ….”“Padahal apa?” tanya Umar. “Hei, mau kemana?” tanya pria itu lagi saat Bima malah keluar dari ruangannya. Berjalan cepat menuju ruangan Rama.Brak.Rama yang sedang bicara dengan ibu Rahma sekre
Semalaman tidak tidur dengan pikiran yang entah membuat penampilan Rama berantakan, terlihat sangat lelah. Selly yang tadi keluar membeli sarapan sudah kembali dengan membawa tiga porsi bubur ayam. Menawarkan pada Rama dan Bima.Rama hanya berdehem, sedangkan Bima sedang menemani Anya sarapan. Sesekali pria itu mengeluarkan rayuan dan candaannya. Mendengar hal itu Rama hanya berdecak, bukan karena cemburu melainkan kesal ia tidak bisa melakukan hal itu pada perempuan lain. Saat ini statusnya mungkin masih seorang suami, tapi kesepian.Menoleh ke samping, Selly sedang menikmati sarapannya sambil fokus pada ponsel. Sesekali ia tersenyum, mungkin saja berbalas pesan dengan Mas Sena. Siapa pria itu semakin membuat Rama penasaran.“Makan dulu, terus mandi atau cuci muka. Penampilan kamu udah kayak orang sakit,” ujar Selly, tapi pandangannya tetap pada ponsel.Rama mengambil porsi miliknya.“Pacaran mulu,” ejeknya lirih, nyatanya didengar oleh Selly yang langsung melirik ke arahnya.“Siapa
Anya cemberut sedangkan Bima terkekeh, sejak tadi berhasil menggoda dan mengeluarkan rayuan gombal.“Gombal, nggak mempan di aku,” seru Anya masih dengan wajah cemberut.“Bagus deh kalau nggak mempan, karena aku nggak pandai ngegombal,” sahut Bima.Anya melirik jam dinding, sudah cukup lama tidak melihat Selly. Bima mengatakan sedang pergi keluar, tapi kemana.“Ada apa?” tanya Bima melihat wajah Anya mendadak resah.“Selly kemana? Apa pulang ya.”“Keluar, terus si Rama nyusul. Biarin aja, mana tahu lagi pedekate lagi mau CLBK,” ejek Bima lalu tergelak.“Ih, ngaco. Bisa aja Selly udah ada pacar atau calon suami, kenapa malah dijodohkan sama Mas Rama lagi.”“Emang Selly bilang sudah ada gantinya Rama?” Anya hanya bisa menjawab dengan gelengan. Semenjak bertemu, Selly tidak pernah menceritakan masalah pribadinya.Sedang dibicarakan, orangnya malah muncul. Selly datang bersama Rama dan langsung menjadi bahan candaan oleh Bima sampai Anya harus menegurnya.“Biarin aja, biar dia senang keta
“Jangan negatif dulu, apa yang terjadi tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Bima dan Selly hanya menggeleng.“Aku tidak mengerti dan tidak tahu, itu urusan kalian.”“Nah, bagus. Memang seharusnya begitu, jangan mengusik kehidupan orang lain.” Bima bicara pada Selly, tapi pandangannya tetap tertuju pada Rama dan Anya. “Bicarakan apa dia, kenapa berbisik begitu,” keluhnya membuat Selly ikut menatap ke arah Rama.Akhirnya Bima dan Selly malah memperhatikan dua orang lainnya yang berada di kamar itu. Rama beranjak dari duduknya karena ponselnya bergetar, ternyata panggilan dari kantor. Sebenarnya hari ini ada jadwal rapat dan dia menjanjikan akan melakukan teleconference.Di sofa, Rama sibuk rapat online dan Bima fokus pada tablet. Anya tetap berbaring dan Selly keluar mencari angin. Satu ruangan dengan Rama membuat dadanya sesak, entah penyesalan atau memang masih ada perasaan pada pria itu.Duduk di kursi taman tidak jauh dari kamar perawatan Anya, Selly menatap orang yang lalu lala
“Tunggu di sini, aku harus tanya dulu apa Anya mau bertemu denganmu atau tidak.” Selly melarang Rama ikut masuk ke dalam kamar rawat inap. “Jangan mengintip, duduk saja disitu!” titah Selly karena Rama akan melongokan kepalanya saat pintu dibuka.“Iya,” sahut Rama kemudian duduk. Entah mengapa dia begitu patuh pada Selly. Padahal bisa saja ia memaksa masuk.Selly merapatkan pintu, menuju lemari cabinet di samping ranjang menyimpan kain dan pakaian ganti untuk Anya. Bima masih setia duduk di samping ranjang, sedangkan Anya terlihat memejamkan matanya.“Dia tidur?” tanya Selly.“Hm. Tadi dokter visit lalu disuntik obat, tidak lama dia bilang ngantuk.” Bima bicara lirih agar tidak mengganggu Anya yang sedang terlelap.“Pak Bima, kemari!” Selly menunjuk sofa untuk mengajak pria itu bicara. Tentu saja membicarakan kedatangan Rama. Selly menduga Bima akan terkejut atau panik mendengar Rama datang, nyatanya tidak terduga.“Sudah datang dia, aku pikir tidak akan sampai sini.”“Loh, kalian mem
“Anya, mana yang sakit?” tanya Bima panik.Selly langsung menekan tombol darurat untuk memanggil dokter. Tidak ingin ulahnya diketahui pihak rumah sakit dan menjadi masalah. Bima gegas membuka nametag palsu juga jubah dokternya dan dihempaskan ke atas sofa.“Sakit,” keluh Anya sambil meringis.Bima terus menanyakan mana yang sakit sambil mengusap perut Anya.“Ya perutnya yang sakit, memang pak Bima pikir apa yang sakit?”“Ish, mana dokternya,” keluh Bima berbarengan dengan pintu kamar terbuka dan masuklah dokter dengan seorang perawat.“Sakit dok, katanya sakit,” ujar Bima lalu bergeser membiarkan dokter memeriksa Anya.“Sus, cek pendarahannya.” Perawat meminta Bima dan Selly menjauh lalu menarik tirai dan melakukan pemeriksaan.“Kenapa kita tidak boleh lihat,” gumam Bima.“Ck. Sudah deh, tunggu aja apa kata dokter.”Bima menoleh dan menatap Selly lalu mengernyitkan dahinya. “Kamu siapa sih? Kayaknya nggak asing.”“Bukan siapa-siapa, bagus kalau bapak nggak kenal saya.”Dokter menyara
Bima mengernyitkan dahi, mengingat-ingat apa dia mengenal wanita itu. Mendadak wanita di hadapannya seperti terkejut lalu gegas menutup pintu.“Dia kenapa?” tanya Bima dan Umar hanya mengedikan bahu.Tangan Bima menekan handle pintu kamar ternyata dikunci dari dalam.“Hei, kenapa dikunci,” keluh Bima kembali menekan-nekan handle pintu.Sedangkan di dalam, Selly menghampiri Anya dengan raut wajah bingung.“Kenapa? Kayaknya ada yang teriak,” ucap Anya beranjak duduk. “Apa ada pasien baru?” tanyanya karena pasien satu kamar dengannya sudah boleh pulang belum lama.“Anya, di depan ada … Pak Bima.”“Hah, yang bener kamu?” Selly menjawab dengan anggukan kepala.“Gimana ini, dia pasti maksa masuk. Kita nggak bisa kunci pintu seterusnya dan sembunyi di sini.”“Aku pikir nggak akan ketemu, kok bisa ya.”“Hei, buka pintunya.” Terdengar teriakan lagi dan ketukan pintu. Anya dan Selly sama-sama menatap ke arah pintu.“Gimana?” tanya Selly dengan raut wajah bingung.Tidak ingin menjadi keributan,
Pagi itu Rama mendapat kabar dari sekretarisnya kalau Bima tdk ada di kantor, padahal hari ini ada jadwal bertemu. Bukan hanya urusan bisnis, Rama juga akan berdiskusi masalah Anya. Namun, tidak adanya Bima di kantor membuatnya penasaran untuk menghubungi langsung sepupu yang sekarang menjadi atasannya.Dua kali panggilan tidak dijawab, Rama pun menghubungi Umar. Nyatanya mereka sedang berada di luar kota. Meski tidak menanyakan ada urusan apa karena rasanya tidak elok, tapi Rama curiga jangan-jangan ada hubungannya dengan Anya.“Nanti siang aku hubungi lagi, semoga saja benar Anya sudah ditemukan,” gumam pria itu.Sampai di bawah, Rama harus menghela nafasnya mendapati Denis yang mengoceh tidak karuan. Sudah biasa seperti itu, tapi akhir-akhir ini lebih parah bahkan Malika kadang tidak bisa menghentikan suaminya.“Pah, udah pah,” ucap Rama. “Papa bisa stroke kalau begini terus.”“Gimana papa nggak stroke, kemana istri kamu pergi bawa cucuku? Dia yang akan bantu kita, Rama.”“Pah, aku
“Sabar ya, sebentar lagi kita sampai,” ucap Selly sambil fokus dengan kemudi. Sesekali pandangannya menatap Anya yang masih meringis melalui center mirror.“Kok bisa jatuh sih,” gumam Selly meski bukan bertanya secara langsung.“Kepleset, kayaknya aku nggak hati-hati.”‘Memang seharusnya kamu nggak sendirian, harusnya kamu ada di tengah keluarga,’ batin Selly.“Pas aku datang, udah lama kamu jatuh?” Selly bertanya lagi, paling tidak ia bisa menjelaskan kondisi Anya pada petugas medis saat mereka sudah tiba di rumah sakit.“Mungkin lima atau sepuluh menit, aku nggak berani langsung bangun.”Selly kembali fokus dengan jalanan. Meski tidak macet seperti di Jakarta, tapi di sini banyak jalan belum rata dan berlubang. Jadi, dia harus menghindar atau memilih jalan yang baik agar Anya tidak semakin kesakitan.“Oke, belokan depan terus kita sampai. Langsung ke UGD, aku akan panggil perawat. Kamu masih oke?” tanya Selly lagi dan Anya hanya menjawab dengan ringisan.Mobil berhenti tepat di depa
Pencarian Anya dengan mengawasi tempat tinggal semua kerabatnya tidak menemukan pencerahan. Bima rasanya frustasi mendapati kenyataan Anya tidak terdeteksi. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.Keluarga Anya pun seperti tidak peduli, malah semangat untuk mendekatkan Alya dengannya.Namun Bima tidak putus asa, berbulan-bulan pencarian Anya tetap dilakukan sambil fokus dengan tugasnya menjadi presdir di Hardana Company. Kerinduan dan kegalauannya semakin terasa saat malam. Seperti saat ini.“Anya,” ucap Bima sambil menatap langit-langit kamarnya.Kalau tidak salah perhitungan, Anya akan melahirkan bulan depan. Artinya saat ini sudah memasuki trimester ketiga. Perut Anya sudah pasti sedang membola karena kehamilan yang semakin tua.“Dimana kamu, sayang,” gumam Bima. Berharap Anya selalu sehat dimanapun ia berada.Akhirnya ngantuk pun datang, Bima hampir terlelap saat mendengar dering ponselnya. Jika panggilan biasa mungkin ia akan abaikan, tapi dering yang terdengar