Rama sudah rapi dengan setelan kerja dan siap berangkat. Namun, tertahan lalu mengurus Anya yang mengalami morning sickness. Meski sudah boleh turun ke toilet, tapi pria itu tetap berdiri tidak jauh.Sedang membungkuk mengeluarkan isi perutnya, Wajah Anya terlihat pucat. Tangan Rama terus memijat pelan tengkuk wanita itu. Bahkan mengambilkan handuk kecil saat Anya mencuci muka berkumur.“Ayo, balik ke ranjang. Kamu pasti lemas.”Anya hanya bisa pasra saat Rama memapahnya kembali untuk berbaring, apalagi kepalanya berdenyut membuat ingin segera memejamkan mata.“Mau makan apa? Sarapanmu sudah keluar lagi.”“Nanti saja, Mas.”Baru kali ini Rama menyaksikan langsung ternyata memiliki keturunan tidak mudah dirasakan oleh perempuan. Ini baru morning sickness bagaimana kelanjutannya nanti. Pantas saja orang tuanya tidak memberikan dia adik, mungkin dimasa lalu mereka terlalu sibuk.“Mas berangkat saja, aku nggak pa-pa.”“Hm.” Rama jadi ingin punya keturunan sendiri, darah dagingnya.Meliha
Denis dan para kuasa hukum sudah meninggalkan ruangan meeting. Begitu pula dengan Pram dan Rama. Bima diikuti oleh Umar menuju ruangannya. Umar heran dengan sikap Bima yang terlihat begitu resah bahkan berjalan mondar-mandir di ruangannya.“Sebaiknya anda duduk!”“Kau dengar tadi, tua bangka serakah itu bilang kalau posisiku bisa terancam setelah dia memiliki 45% saham. Dia memang sengaja ingin menguasai sendiri, kematian Ayah sudah pasti karena dia. Dari awal aku yakin dia sudah tahu isi surat itu, lalu dia rubah dan usir Ayah.”“Dari awal anda tidak minat dengan isi wasiat, kenapa sekarang terdengar … berbeda?”“Bukan berapa bagianku yang jadi masalah, tapi mereka sudah senang duluan. Merasa dengan Anya hamil lalu 30% itu akan menjadi milik mereka. Rama tutup mata dengan hal ini, padahal ….”“Padahal apa?” tanya Umar. “Hei, mau kemana?” tanya pria itu lagi saat Bima malah keluar dari ruangannya. Berjalan cepat menuju ruangan Rama.Brak.Rama yang sedang bicara dengan ibu Rahma sekre
Brak.Selly melempar tas kerja ke atas kasur, nyatanya mental dan ke pinggir terkena lampu tidur di pinggir kasur. Bukan tanpa arti, sejak tadi siang Selly menahan kesabarannya. Malah dilampiaskan di rumah dan berhasil memecahkan bohlam.“Ck, jadi kerjaan deh. Harus beli bohlam baru, mana udah sore,” keluh Selly.Mau tidak mau, ia keluar dari rumah kontrakan hendak ke toko atau minimarket dan itu berarti harus menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit berkendara dengan mobilnya.“Hah, sepertinya aku harus beli motor,” gumam Selly memandang ke arah jalan.Mengganti wedges dengan sandal dan membawa dompet serta ponsel, Selly berjalan menuju jalan utama meski bukan jalan raya.Terlihat penghuni kamar petak di bangunan depan rumah kontrakan dirinya, cukup ramai. Bahkan beberapa tinggal bersama keluarga termasuk anak mereka.“Mau kemana Mbak?” tanya seorang ibu yang sedang menggendong sambil menyuapi anaknya yang masih batita. “Mau ke depan,” jawab Selly sambil meringis, entah depan
Ternyata sulit keluar dari kediaman Denis, ada beberapa pekerja yang ditugaskan mengawasi Anya. Sejak tadi, ia tidak melihat celah bisa melarikan diri. Berada di beranda menatap sekeliling sambil berpura-pura fokus dengan ponselnya.Malika pagi tadi pamit keluar dan tersenyum melihat gelang melingkar di pergelangan tangan Anya. Padahal setelah wanita itu pergi, segera Anya lepas dan simpan di kantongnya.“Bik,” panggil Anya.Bibi tergopoh-gopoh menghampiri. Ada tiga wanita yang mengurus rumah dan semua Anya panggil bibi.“Ada apa mbak Anya, butuh sesuatu?”“Kayaknya enak makan bakso. Keluar yuk,” ajak Anya.“Biar saya belikan, Mbak Anya tunggu sini saja.”Sesuai dugaanku, tidak akan mudah. Solusi itu yang akan ditawarkan oleh bibi, batin Anya. “Nggak enak kalau dibungkus. Makan langsung di tempat lebih nikmat, ayo Bik.”“Jangan Mbak, saya tidak berani. Nyonya pasti marah. Mbak Anya di rumah saja, apalagi belum sehat. Lihat itu luka perbannya.”Anya tidak memaksa, ia mengurungkan niat
Bima sudah tiba di apartemennya. Bergegas masuk dan mendapati Anya di sofa.“Anya, are you okay?” tanyanya sambil memindai wanita itu.“I’m okay,” jawab Anya. “Ada hal penting yang harus kita bicarakan.“Ada yang ikuti kamu kemari?” Jangan sampai ada yang datang menjemput Anya, bagaimanapun wanita itu masih istri pria lain. Rasanya Bima ingin segera mengakhiri hubungan Anya dan Rama lalu segera menikahi wanita itu.“Aku sudah tinggalkan benda yang mungkin saja ada pelacaknya. Kemari pun aku sembunyi-sembunyi. Mungkin sekarang yang di rumah sudah tahu kalau aku kabur. Setelah menghubungi kamu, aku matikan ponsel.”Bima mengangguk pelan. Ia memastikan dulu keadaan Anya dan meminta orang kepercayaannya selain Umar untuk belanja kebutuhan Anya.“Kita harus bicara, ini penting.”“Tenang, kamu istirahat dulu. Kita pasti bicara. Tempat ini seharusnya aman untuk kamu, bukan atas namaku jadi tidak mungkin terlacak.” Bima berbicara sambil fokus dengan ponselnya karena laporan dari Umar.“Rama s
“Aku coba cari. Mungkin di apartemenku atau temannya. Dengan kondisi Anya sekarang, tidak mungkin dia sendirian.”“Ya sudah, carilah!” titah Malika. “Pastikan anak kalian baik-baik saja. Kalau bukan sedang mengandung, rasanya Mama ingin menjambak rambut Anya. Dikasih hidup enak kok malah kabur, bodoh sekali dia.”Denis bergeming, meskipun masih kesal dengan putranya. Rama bergegas meninggalkan pasangan yang sudah melahirkannya ke dunia. Tidak ingin mendengarkan makian atau teriakan dari sang Papa.“Sial! Kemana si Anya,” gumam Rama sudah berada di dalam mobil. Pria itu menuju apartemen yang pernah ditempati bersama Anya. Nyatanya tidak ada siapapun, tampak hening dan sepi. Bahkan tanda-tanda pernah didatangi Anya pun nihil.Rama menghubungi Bagas, mertuanya sudah tahu kalau Anya ternyata kabur lagi. Mungkin dapat info dari Denis.“Ayah juga sedang cari, anak itu memang bikin masalah saja,” keluh Bagas di ujung sana. Rama mendengus mendengar ucapan Bagas. Belum tentu pria itu benar men
Rama fokus mendengarkan Anya. Meski yang dipilih adalah rencana pertama, sangat menguntungkan di masa depannya. Namun, syarat yang disampaikan cukup membuatnya menarik nafas.Anya ingin diberikan kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan ayah sang bayi dan Rama tidak boleh bertanya siapa pria itu sampai bayi lahir dan mereka bercerai.“Kalau Mas keberatan, aku akan menggugat cerai dan aku pastikan setelah ini kalian tidak akan bisa menemukanku.” Ancaman Anya sangat beresiko. Denis bisa mengamuk kalau tahu Anya kabur lagi. Kerajaan bisnis keluarga Hardana ada di tangan sang bayi.Yang membuat kepala Rama pusing karena bayi itu bukan anaknya, tapi akan dimanfaatkan. Bagaimana kalau dimasa depan akan jadi masalah.“Anya--"“Aku tidak mau negosiasi. Take it or leave it.” Anya sudah berdiri, Rama tidak percaya kalau dia sekarang berada di bawah tekanan wanita itu. “Aku tidak ingin melakukan ini, tapi Mas yang paksa aku. Kita tidak akan melewati ini, kalau mas talak aku sebelum pisah denga
“Apa Anya tahu soal surat wasiat itu?” tanya Denis kala Rama baru saja duduk.“Kamu nggak cerita masalah ini ke Anya ‘kan?” tanya Malika lagi.Rama menatap bergantian kedua orangtuanya, kenapa mereka hanya memperdulikan soal surat wasiat saja. Padahal yang mereka tahu kalau Anya mengandung anaknya atau cucu mereka.“Sepertinya tidak. Aku tidak pernah bahas masalah itu. Kalaupun tahu bisa dipastikan bukan dari aku. Anya bukan perempuan matre, kalau dia tahu menjadi kunci masalah ini. Bisa-bisa dia minta mundur, niat cerainya akan kembali bulat.”“Bagus kalau dia tidak tahu. Masalah saham hanya kita dan Bima yang tahu, kuasa hukum sudah pasti tidak akan membocorkan.”“Apa Bima bisa dipercaya? Bagaimana kalau dia kasih tahu Anya?” Malika masih mengkhawatirkan masalah saham.“Apa manfaatnya Bima kasih tahu hal ini ke Anya, hanya akan merugikan dirinya,” pikir Denis. “Pastikan istrimu di rumah saja, tidak usah terlibat dengan urusan perusahaan.”Rama mengangguk pelan.“Mulai minggu depan p
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da